Sabtu, 28 Mei 2016

Ideas

10 ide inilah yang terlintas di kepalaku saat Bu Rina, kepala sekolah kami, memberi kami tugas untuk mencari ide non fiksi. Check this out..😃😃😃

1. Bimbingan Konseling
2. Self Help untuk remaja
3. Parenting
4. Psikologi populer
5. Sekolah Inklusi
6. IQ, EQ, SQ
7. Pendidikan anak usia dini
8. Pernikahan
9. Memasak
10. Tanaman hias.


Kamis, 26 Mei 2016

The Reason



“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Pramoedya Ananta Toer, House of Glass
 

Ada banyak alasan yang bisa disebutkan orang-orang ketika ditanya mengapa mereka manulis. Mulai dari alasan yang super duper logis, religius, sampai yang paling absurd. Untukku pribadi, dulu saat aku ditanya kenapa menulis? Jawabannya selalu karena aku suka. Sudah. Sesimpel itu saja. Menurutku, kita nggak perlu alasan logis untuk menulis. Mau menulis ya nulis aja. Tapi sekarang aku punya alasan lain. Kalau ada yang bertanya untuk apa aku menulis. Maka dengan mantap aku mengatakan, bahwa alasan mengapa aku menulis adalah untuk melukis sejarah. Wuihhhhh... kece kan? Hahaha 


Serius! Dengan menulis, kita sedang melukis sejarah loh. Sejarah siapa? Bisa siapa saja. Ya, minimal sejarah kita sendiri. Coba bayangkan betapa senangnya anak cucu kita nanti mendapati tulisan ibu atau neneknya berseliweran baik di dunia nyata maupun di dunia maya.


Alasan lainnya, dengan menulis aku juga bisa terus belajar. Sudah pernah dengar pepatah penulis selalu gemar membaca? Well, itu pepatah abal-abal ala aku sih. :D pada intinya tidak ada satupun penulis di dunia ini, atau yang pernah hidup di dunia ini, tidak suka membaca. Seorang penulis yang tidak bersahabat dengan buku bisa dipastikan memiliki tulisan yang jauh dari kata keren. So, menulis itu membuatku rajin membaca. ^_^ 

Palangkaraya
Kamis, 26 Mei 2016


Minggu, 22 Mei 2016

Elegi Sunyi Sepotong Hati (9)



“Dek,kita makan yuk” kata mas Prabu di sebrang sana.


“Mas masih istirahat ya?” jawabku sembari melirik jam tanganku.


“Iya, mas jemput ya?”


“Iya, aku nunggu di Foto copyan dekat kampus ya mas?”


Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas, aku pun kembali asik sibuk menyusun lembaran foto copyan tugas makalahku. Gini neh kalau menunda-nunda mengerjakan tugas. Akhirnya kewalahan sendiri. Tanpa ku sadari seorang laki-laki telah berdiri di sampingku. Aroma parfumnya terasa familiar. Tiba-tiba laki-laki itu berkata, “sibuk banget sih dek.”


Reflek aku pun menoleh. “Mas?? Kok di sini?” tanyaku bingung. 


“Kan kamu tadi minta dijemput di sini dek?”


“Loh?” aku masih bingung. 

Mas Prabu tersenyum senang dengan tampang bingungku. Tangan kanannya memegang kepalaku yang sejajar dengan bahunya. “mas tadi sudah dekat sini waktu nelpon kamu dek.”


“Owh, pantes. Ya udah tunggu sebentar ya mas.”


Tak berapa lama kami pun telah sampai di sebuah restoran cepat saji. Waktu istirahat mas Prabu tidak terlalu panjang, aku juga harus segera pulang. Sore ini ada jadwal privat anak-anak. Jadi kami memutuskan untuk makan yang cepat penyajiannya dan praktis. 

Restoran yang terkenal dengan ayam goreng tepungnya itu tidak terlalu ramai. Mungkin karena sudah lewat dari jam makan siang. Hanya ada beberapa pengunjung yang dengan santai menikmati hidangannya. Beberapa meja nampaknya belum sempat dibersihkan. Terlihat begitu berantakan. Meja itu dipenuhi tisu bekas, kertas pembungkus nasi, ceceran saos, es krim dan tumpahan air minum dimana-mana. Sepertinya tadinya meja itu dipakai sebuah keluarga yang membawa anak kecil. 


Aku teringat protes Lisa padaku beberapa bulan lalu tentang meja yang kotor itu.


“Kenapa sih Al? Kan nanti ada pelayan sini yang mbersihin?” tanyanya padaku yang sibuk membereskan peralatan makan kami. Semua piring kotor ku tumpuk menjadi satu dan ku letakkan di atas nampannya bersama gelas minuman dan tisu-tisu bekas yang telah kami gunakan. 


“Ya nggak papa Lis. Biar mbak-mbaknya nanti mudah. Tinggal angkat aja.”


“Ya ampun. Ngapain sih repot-repot? Membersihkan meja ini kan memang sudah jadi tugasnya? Mereka kan sudah dibayar juga.”


“Ya ampun sahabatku sayang, mempermudah pekerjaan orang lain apa salahnya sih? Lagian aku nggak ngerasa repot kok. Sebentar doang. Neh, udah bersih kan?” kataku sambil memamerkan karyaku.


“Dek, mas mau ngomong sesuatu.” Kata  mas Prabu membuyarkan lamuananku. Wajahnya serius. Aku tak menyadari hilangnya senyum jenaka ramah khas milik Mas Prabu yang biasanya menghiasi wajah tirusnya itu. 


“Mau ngomong apa sih mas? Ngomong aja. Kok kayaknya serius sekali.” Kataku sembari mengaduk-aduk mocca floatku.


“Mas tadi dipanggil atasan mas.”


“Ada proyek lagi ya? Atau mas disuruh pelatihan keluar kota lagi?” tanyaku lagi.


“Dek, kita nikah yuk.”


“Uhukk” aku melongo. Mas Prabu menghembuskan napas perlahan. Berat.


“Mas dimutasi dek.”


“Hah? Kemana? Kok mendadak?”


“Solo. Sebenarnya nggak mendadak dek. Dari tiga bulan yang lalu Pak Benny memang sudah bilang kalau akan ada rolling besar-besaran. Tapi mas nggak berpikir kalau mas bakal kena rolling makanya mas santai aja.”


“Jadi?” tiba-tiba saja aku tak lagi bernafsu menghabiskan spaghetti pesananku yang sedari tadi wanginya menggoda sel laparku.


“Ayo kita menikah dek.”


Mendengar kalimat itu aku justru teringat pada Kak Khalil yang tak pernah lagi menghubungiku semenjak penolakanku waktu itu. Apa yang sedang kau pikirkan Kak?


“Dek, kok malah ngelamun sih.” kata mas Prabu sambil menggoyang-goyang tanganku. Aku tersadar. Aduh Alya, fokus. Di hadapanmu ini mas Prabu.



“ Dek?”


Aku hanya menghembuskan napas panjang. Kali ini selera makanku sempurna menghilang. Kolaborasi suara Ariel dan almarhum Crisye yang menghentak dari speaker restoran ini seakan menyindirku.


Bila rindu ini masih milikmu
Kuhadirkan sebuah tanya
Harus berapa lama Aku menunggumu... aku menunggumu..


***

Palangkaraya
22 Mei 2016
#OneDayOnePost

Elegi Sunyi Sepotong Hati (8)



Semangkok bakso spesial Bu Lan selalu menjadi pilihan terbaik untuk menguraikan rasa lapar yang ku tahan sejak mata kuliah kedua tadi. Siang ini, kantin Bu Lan yang berada persis di belakang kampusku padat dipenuhi para mahasiswa yang sama kelaparannya denganku. 


Sambil menunggu Asty, Lisa, dan bakso spesialku,  aku menikmati es teh favoritku. Aku sengaja memilih tempat agak di pojokan. Selain menghindari keriuhan para mahasiswa kelaparan itu. Meja di bagian pojokan ini juga sangat strategis untuk mendapatkan oksigen yang lebih murni dalam jumlah lebih banyak. Di kantin ini posisi sangat penting untuk menentukan keberlangsungan hidup kita. 


Tak berapa lama Asty pun datang, hampir bersamaan dengan pesananku.


“Mhmm, kayaknya ada yang beda deh”, kataku menyelidik sahabat baikku yang wajahnya tampak lebih bercahaya itu.


“Apa?” tanya Asty sambil terus mempertahankan senyumnya.


“Kamu kebanyakan senyum hari ini As. Kamu lagi jatuh cinta ya?” tembakku langsung. 


“Uhukk”Asty yang sedang meminum es teh tiba-tiba tersedak. Wajahnya yang merona semakin membuatku curiga.


“Mhmm.. menurutmu bagaimana kalau aku menikah?”


“Uhukk” sekarang giliran aku yang tersedak. Ini anak salah sarapan atau bagaimana sih? 


“Kenapa tiba-tiba sekali?”


“Nggak tiba-tiba kok. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku memang bercita-cita untuk menikah di usia muda.” Katanya pelan. Wajahnya yang dibingkai hijab ungu itu terlihat cantik sekali di mataku.


“Kamu sudah punya calon? Siapa? Aku sama Lisa tau nggak orangnya? Anak mana? Kerja? Atau masih kuliah?”


“Alya.. nanyanya satu-satu dong.”katanya memprotes berondongan pertanyaanku.


“Maaf, aku terlalu bersemangat. Selama ini kan kamu nggak pernah terlihat dekat dengan cowok mana pun?”


“Aku memang nggak mau pacaran. Aku percaya ada jalan lain yang lebih baik untuk mengekspresikan cinta. Dan itu adalah dengan menikah.”


“Iya sih, tapi.. ah, sudahlah. Sekarang ceritakan padaku. Siapa laki-laki yang beruntung itu?” kataku lagi.


“Aku belum bisa cerita banyak. Nanti saja ya aku ceritanya.”


“Oke, setidaknya ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu? Apa dia langsung menembakmu?"


Asty tertawa kecil. “Ya, nggak lah Al. Aku juga baru bertemu dua kali dengan beliau.”


“Beliau? Dua kali? Apa ini semacam love at first sight?” aku mengerenyitkan dahi. Asty tersenyum lagi.


“Aku bahkan belum merasa mencintainya. Aku hanya.. entah mengapa merasa begitu  yakin beliau adalah laki-laki yang baik yang bisa memimpinku, membangun sebuah rumah tangga yang diridhoi Allah.”


Mata Asty terlihat bersinar. Di telingaku kata-kata Asty terdengar begitu idealis.Begitu indah.


“Memangnya bisa menikah dengan laki-laki yang bahkan kamu nggak tahu bagaimana sifat dan sikap kesehariannya? Laki-laki yang tidak kita cintai?”


“Alya sayang, aku percaya cinta itu ditumbuhkan. Dibangun.”


“Ya.. ya.. whatever lah yang jelas aku ikut bahagia untukmu Asty sayang..” kataku sambil memegang tangannya.

"Kamu mendukungku Al?"

"Tentu saja. Meskipun menurutku akan lebih baik kalau menyelesaikan kuliah dulu. Tapi karna kamu sudah begitu yakin apalagi yang bisa ku lakukan selain mendukungmu?"


“Makasih ya. Tapi Al, sebenarnya aku sedikit ragu.” Kata Asty, sinar di matanya sedikit meredup.


“Loh? Kenapa ragu?”


“Entahlah.. hanya sedikit ragu. Jangan-jangan beliau sudah punya calon? Aku takut beliau menolak.”


“Loh, jadi kamu yang duluan mengajukan lamaran padanya?” tanyaku takjub. Walaupun ini era modern, dimana emansipasi wanita begitu dijunjung tinggi, tetap saja adalah hal yang tidak biasa bagi seorang gadis untuk mengajukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak laki-laki.


”Bukankah sudah sewajarnya  kita tidak menyia-nyiakan laki-laki baik? Daripada keduluan perempuan lain?”


“Wuaahh.. kamu keren sekali Asty. Bagaimana caramu melamarnya? Nggak mungkin seperti di TV-TV itu kan?” kataku bersemangat.


“Ya nggak lah Al. Sebenarnya nggak bisa disebut melamar juga sih. Aku meminta tolong pada Guru Ali untuk menanyakan pada beliau apakah beliau ingin menikahku?”


“Owh..” aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Guru Ali adalah pemilik pesantren tempat Asty mengajar.


“Jangan ragu sayang. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padaku niat baik selalu memiliki jalannya sendiri. Sekarang kita hanya harus kuat-kuat berdoa agar Allah membuat hatinya berpihak padamu. Bahkan sekalipun ternyata nanti Si Beliau itu menolak, aku yakin itu artinya ada laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia untuk sahabatku yang cantik ini.” kataku sembari memeluknya.


“Alya makasih banget ya..” katanya membalas pelukanku.


Tiba-tiba terdengar suara cempreng Lisa, “hai semua.. wait.. apakah aku ketinggalan sesuatu?”


Aku dan Asty saling berpandangan, lalu tertawa bersama.


***

*Di Banjar para ulama maupun  pemimpin pesantren biasanya dipanggil Guru bukan Kyai seperti di tanah Jawa.

Palangkaraya
22Mei 2016
#OneDayOnePost


Elegi Sunyi Sepotong Hati (7)




Google Image

“Tumben mbak Alya yang belanja? Bu Rina kemana?” tanya bu RT pagi itu saat aku sedang sibuk memilih sayuran segar milik Amang Anang. Penjual sayur keliling langganan. Aku tersenyum. 


“Ibu lagi nggak enak badan Bu RT. Mungkin masuk angin.” Kataku sekenanya.


“Loh, Mbak Alya. Lama nggak keliatan. Belanja ya?” tanya Bu Nita, tetangga sebelah rumahku yang terkenal suka bergosip. Ya iyalah aku belanja. Mang aku tampak seperti sedang apa saat ini? Aku ngedumel dalam hati. 


Well, aku memang kurang suka berkumpul dengan para ibu-ibu ini. Mereka kepo sekali dengan semua hal tentang keluargaku. Mungkin karena kedudukan Ayah  sebagai imam masjid di kampung ini. Atau mungkin karena ibuku yang cantik jelita itu selalu aktif di pengajian ya? 

Ah, yang jelas aku dan keluargaku kerap kali menjadi bahan pembicaraan ibu – ibu di sini. Dari yang positif sampai yang kejam. Lebih sering yang kejam deng. Bahkan bisa lebih kejam dari infotainment yang seliweran di TV itu.


Menurutku mereka mulai menjadi kepo-er gitu sejak kejadian 3 tahun yang lalu. Aku ingat sekali, saat itu aku baru lulus SMA. Sedang sibuk-sibuknya mendaftar kuliah. Ayah yang saat itu dipercaya menjadi ketua Masjid, mengusulkan untuk melakukan renovasi besar-besaran karena bangunan masjid yang dulu dirasa sudah terlalu tua, dan tidak lagi dapat menampung seluruh warga kampung Kenanga yang semakin banyak. 


Karena sebuah kesalahpahaman antara Ayah dan panitia pembangunan masjid,  Ayah dikira telah menyelewengkan uang sumbangan pembangunan dari masyarakat. Entah bagaimana tiba-tiba beritanya cepat sekali beredar. Ditambahi di sana-sini. Dibumbui macam-macam hingga ceritanya jauh berbeda dari kejadian yang sebenarnya. 


“Wah, sok-sok aja tuh Ayahnya jadi imam masjid. Ibunya ikut pengajian ternyata sama uang sumbangan juga doyan.”


“Jangan-jangan Alya bisa kuliah itu karena make uang itu.”


Kalimat-kalimat senada juga sering ku dengar dari tetangga-tetangga yang lain. Belum lagi tatapan sinis mencemooh. Aku tak tahu. Bagaimana cara Ayah dan Ibu menghadapi mereka yang tadinya bertetangga  baik dengan kami itu, tiba-tiba terlihat seperti monster yang mengerikan. 


Beberapa warga bahkan ada yang nekad datang ke rumah. Berniat mengusir kami dari kampung. Yah, ini wajar. Mengingat, kita memang masayarakat yang mudah terprovokasi bukan? Mudah disulut. Bahkan untuk sesuatu yang belum jelas kebenarannya. 


Untungnya dengan kewibawaan Ayah, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, situasi dapat dikendalikan dan tidak sampai terjadi hal-hal anarkis lainnya. Meski sudah memberikan klarifikasi, berita tersebut terlanjur menyebar dan sulit sekali meredamnya.
Karena kejadian itu, aku sempat mendapat cap sebagai anak koruptor selama berbulan-bulan. Padahal di mataku, ayah itu orang paling jujur yang pernah ku kenal. 

Setidaknya dari kejadian itu, aku belajar betapa sebuah bisik-bisik iseng saja bisa berubah menjadi hal semengerikan itu.


“Eh, katanya Pak Khalil mau nikah lo mbak Alya. Bener nggak tuh?”  tiba-tiba Bu Ana yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumahku bertanya.


Aku kaget. Ya ampun ibu-ibu ini. Aku geram, tapi sebisa mungkin tetap memasang wajah manisku. Alya Adriana, kamu harus jaga image! Tekadku dalam hati.


“Oh ya? Saya malah baru tahu bu.”


“Loh bukannya Pak Khalil itu pacarnya mbak Alya? Tak kirain malah mau nikah sama mbak Alya!” kejar bu Ana lagi.


Aku mulai merasa jengah. Namun belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba bu Haryono yang suaminya juga seorang guru di sekolah yang sama dengan kak Khalil berkata, “ Ya nggak mungkin lah pak Khalil nikah sama Mbak Alya. Lha wong Pak Khalil itu kan sudah PNS. Pastinya ya nyari yang sama-sama PNS. Yang dewasa. Lha sementara Mbak Alya itu kan masih kuliah?”


Aku hanya tersenyum kecut. Malas berkomentar. Bu Haryono memang terkenal bermulut pedas dan ceplas-ceplos.


“Amang berapa semuanya?” Kataku sembari memperlihatkan semua belanjaanku. Aku segera membayar. Hanya demi kesopanan, aku pun berpamitan pada kumpulan ibu-ibu itu.


Syukurlah aku bisa cepat melarikan diri. Siapa yang tahu apa yang akan ku lakukan kalau aku berusaha bertahan lebih lama? 


Bisa nggak sih ibu-ibu itu berhenti bergosip sebentar saja? Ya ampun memangnya mereka nggak punya kerjaan lain ya? Ngapain kek? Belajar merajut kek sana. Lebih menghasilkan. Lebih bermanfaat. Huh, lagian memangnya kenapa kalau dia PNS? Memangnya apa hebatnya PNS?? Mas Prabu lebih hebat! Dia pegawai BUMN! Kataku bersungut-sungut dalam hati. Aaargh, kenapa sih pagi ini panas banget??


***
*Amang : Paman, Paklek
Palangkaraya


#OneDayOnePost

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...