“Wuaahh.. ternyata ada sebanyak itu ya?” kataku takjub. Mataku membulat.
Kening Dewa berkerut, heran.
“Yaa.. Selama ini ku pikir kopi itu hanya ada dua jenis.” Sambungku lagi
sambil mengangkat bahu.
“Oh, memang selama ini yang lebih umum dikenal masyarakat hanya kopi arabika dan kopi robusta.” Sahut
laki-laki jangkung bermata indah di hadapanku itu.
“Bukan itu maksudku.” Jawabku sembari memnyeruput kopi pesananku. Aku
mengerenyit sedikit ketika pahitnya kopi menyentuh lidahku.
“Lalu apa?” tanya laki-laki itu lagi.
Aku terdiam sejenak. Mempertimbangkan.
“Mhmm.. selama ini ku pikir kopi itu hanya ada dua. Kopi hitam sama kopi
susu.” Jawabku pelan.
Sedetik, dua detik. “Huwahahahahahahaha...” ia terbahak-bahak. Kemudian memegangi
perutnya.
Seketika wajahku memerah bak tomat matang. Segera saja aku menyesali
keputusanku. Ku edarkan pandangan. Para pengunjung kafe yang tadinya asik dengan
dunianya masing-masing itu nampak terkejut dan langsung memperhatikan kami.
“Eh, Dewa.. ssstt.. diem..kita diliatin tuh.”
Sayangnya Dewa tak mendengarku dan tetap tertawa. Aku pun menundukkan
kepala. Berusaha menutupi wajah dengan rambut panjangku. Tak sia-sia aku
memelihara rambut panjangku selama ini. tak lama. Karena ternyata aku lebih suka melihat
laki-laki itu tertawa. Aku pun ikut tertawa. Dan aku pun mulai menyadari, ini
adalah pertama kalinya aku bisa tertawa lepas sejak kejadian itu.
Tiba-tiba, seorang perempuan berpakaian formal, datang menghampiri meja
kami. Diletakkannya beberapa cup kopi yang dibawanya di atas meja kami. Lalu ia
pun mengalihkan pandangannya padaku,
“Ayu kan?” tanyanya.
Dewa menghentikan tawanya dan memandang perempuan itu. Aku mengerenyitkan
kening. Berpikir. Wajahnya seakan tak asing. Tapi otakku tak memberikan sebuah
nama pun.
“Iya.” Kataku sembari tersenyum kaku.
“Lupa ya? Aku Iren. Kita satu tim waktu olimpiade fisika. Mewakili SMADA.”
Jelasnya dengan mata berbinar.
Mendengarnya, otakku langsung menampilkan fragmen-fragmen kebersamaanku dengan
perempuan itu 12 tahun yang lalu.
“Ah iya.. apa kabar Iren?” kataku sembari memeluknya hangat. Selalu
menyenangkan bertemu sahabat lama.
“Wah.. ternyata setelah menikah kamu nggak berubah ya? Tetap cantik. Aduh,
maaf ya? Kemaren aku nggak bisa dateng. Pas androidku juga lagi eror, jadi
nggak bisa ngasih kabar. Ini suamimu ya?” tanya Iren sembari menyodorkan
tangannya pada Dewa.
Dewa semakin bingung tapi tak urung menjabat tangan Iren. Seketika wajahku
kaku. Tak tahu harus memasang ekspresi macam apa.
“Bukan, dia temanku,” kataku pendek sembari tersenyum. Mencoba semanis
mungkin. Walaupun aku yakin hasilnya adalah senyum aneh.
“Iren,” seorang teman yang ku kenali sebagai teman satu kelasku saat SMA dulu,
menepuk bahu Iren. Aku mengenalnya sebagai ratu gosip di grup alumni kami.
“Maaf ya Yu. Kami duluan.”katanya sembari menarik tangan Iren untuk segera
pergi.
“Kenapa sih Nit, aku masih mau ngobrol sama Ayu.” Kata Iren berusaha
bertahan.
Nita berbisik pelan, “pernikahannya dibatalkan”. Lalu mendelikkan matanya,
memberi isyarat yang artinya “nanti ku jelaskan dan sekarang ayo cepat pergi”.
***
Saat itu sebenarnya aku sedang dipingit di rumah. Tidak boleh keluar. Pamali,
kata Ibuk. Tapi Mas Arya mengirimiku pesan singkat untuk bertemu di sebuah restauran tempat kami biasa
menghabiskaan waktu bersama. Ku pikir
tadinya ada masalah dengan reservasi gedungnya. Ah, sepertinya kami salah
menentukan tanggal.
“Aduh maaf mas, jalan macet banget, karena festival. Mana tadi sempat
ngeyel-ngeyelan dulu sama Ibuk. Kata Ibuk nggak ilok calon pengantin keluar
sehari sebelum acara. Udah lama ya mas nunggunya?” Tanyaku sembari menyeruput
Latte yang telah dipesankan Mas Arya sebelumnya.
“Enggak kok,” Mas Arya tersenyum tipis.
“Ada apa mas? Gedungnya udah oke kan? Apa ganti? Apa karena desain
pelaminannya?” tanyaku tak sabar.
Untuk sejenak Mas Arya terdiam. Aku merasa diliputi keheningan yang aneh.
“Maaf, tapi aku tidak bisa menikah denganmu Yu.” Kata Mas Arya pelan.
Aku seakan tak dapat mempercayai apa yang baru saja ku dengar. Tetiba saja otakku lumpuh tak mampu mencerna.
Untuk beberapa lama kami terdiam.
“Tt..Tapi kenapa? Bagaimana bisa mas membatalkan pernikahan kita sehari
sebelum acara? Jangan becanda!! Ini nggak lucu mas!!“ tanyaku nyaris histeris.
Dengan wajah datar, laki-laki berkaca mata itu menjawab, “Maaf, tapi aku
memang tak bisa menikah denganmu. Aku tidak suka caramu tersenyum.”
Aku terperangah. Lalu untuk beberapa saat aku menyadari, aku tak bisa
melakukan apapun untuk mengubah keputusannya. Aku pun beranjak pergi. Setiap
langkah yang memberi jarak di antara kami, aku berharap ia akan memanggil
namaku. Atau mengejarku, memelukku, dan meminta maaf telah bercanda seperti
itu. Aku berharap ini semua tidak nyata. Tapi tak ada suara yang memanggil. Tak
ada langkah kaki yang mengejar.
Bagai kehilangan seluruh kekuatan, di depan kafe aku pun terduduk lemas dan
menepuk-nepuk dada. Berharap rasa sesaknya sedikit menghilang. Aku baru tahu, bahkan bernapas pun bisa
sedemikian menyakitkan. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Hatiku terlalu hancur
untuk menangis.Tak ku pedulikan tatapan aneh para pejalan kaki siang itu. Mereka
tak kan mengerti apa yang ku rasakan saat ini. Tak kan pernah bisa. Aku gemetar
dalam ketakutan. Aku baru saja mati, pikirku.
Setelahnya, duniaku menikung tak terkendali. Mimpi-mimpi terburuk
membekapku. Memberitahukan pembatalan pernikahan itu kepada keluarga besar
sendiri sudah merupakan hal yang tersulit. Ibuk pingsan. Pakde dan Bude meradang,
mengancam untuk menyeret Mas Arya apapun yang terjadi. Mengkonfirmasi kepada
semua teman dan sahabat yang telah menerima undangan juga sangat melelahkan.
Semua orang selalu bertanya. Berusaha mencari tahu. Yang bagiku serasa menabur
garam di atas lukaku. Berhari-hari kemudian, telpon rumahku tak berhenti
berdering. Buket mawar putih cantikku pun teronggok sia-sia di sudut kamar.
Layu. Lalu mengering.
Untuk berbulan-bulan, aku dan ibuk menjadi buah bibir. Jadi bahan
pergunjingan, tertawaan, cemoohan, ibu-ibu sekomplek.
“Umurnya tak lagi muda. Dia pasti jadi perawan tua.”
“Kasian ya..”
“Kenapa kasian? Kalau sampai pernikahan mereka dibatalkan itu artinya si
Ayu itu ada apa-apanya. Pasti ada sesuatu yang membuat pihak laki-lakinya
membatalkan pernikahan sehari sebelumnya.”
“Oh iya ya.. jangan-jangan karna....”
Begitu seterusnya hingga kabar yang beredar sungguh tak masuk akal.
Bagaimana bisa mereka justru menyalahkanku? Padahal jelas-jelas akulah
korbannya. Di kantor pun tak jauh beda. Ada yang memandangiku dengan kasihan, lalu
berbisik-bisik dibelakangku. Di group-grup alumni. Ada yang bersimpati, lalu
menyesalkan semua yang terjadi. Ada yang merasa bingung dengan pembatalan
tersebut lalu mencemooh. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya, aku tak lagi
punya tempat.
Ibuk terlihat begitu tertekan. Aku pun sibuk menyembunyikan lukaku. Mengangguk pada setiap
kata penghiburan yang anehnya dengan mendengarnya sering kali aku justru lebih
merasa sakit. Memasang senyum palsu. Hingga akhirnya aku benar-benar tak lagi
tersenyum. Hatiku mati.
***
Bumi sendu. Langit Kelabu. Satu demi satu bulir air mata langit
berlompatan. Orang-orang di sekitarku mulai membuka payungnya. Beberpa berlari
mencari tempat berteduh. Tapi aku tetap berjalan dengan pandangan kosong. Pertemuanku
yang tak terduga dengan Iren tadi telah berhasil menarikku kembali pada sebuah
kenyataan. Bahwa aku adalah seorang perempuan yang tidak diinginkan. Tidak
cukup berharga untuk dinikahi. Seorang perempuan yang bahkan senyumku pun
membuat orang yang ku cintai pergi. Meninggalkanku. Sehari sebelum pernikahan
kami.
Ku pikir sekarang aku sudah jauh lebih kuat, ku pikir aku tak lagi
tersakiti. Ku pikir ini saatnya aku mulai menata hidupku lagi. Apalagi kedekatanku
dengan Dewa beberapa minggu terakhir ini memang sempat mengalihkan duniaku. Tapi
nyatanya, hanya karena satu pertanyaan saja, aku kembali jatuh. Apa yang sedang
dipikirkan Mas Arya sekarang? Apa dia juga terluka sepertiku? Apakah dia bisa
hidup dengan baik? Apa dia menangis? Ku harap dia menangis kesakitan. Ah,
seharusnya aku menghajarnya. Atau setidaknya mendaratkan satu tamparan di
wajahnya. Sudah sebelas bulan berlalu, tapi luka dan sakitnya seakan masih segar di
hatiku. Di ingatanku.
“Yu.. Ayu.. Ayu..”
Sepertinya ada yang memanggilku. Tapi bagiku terdengar terlalu samar. Tiba-tiba seorang lelaki jangkung menghadangku.
Memayungiku dengan jaketnya. “Apa yang kau lakukan? Hujannya akan semakin
lebat.” Katanya khawatir.
Aku kenal wajahnya. Itu wajah Dewa. Tapi lagi-lagi aku hanya diam,
menatapnya dengan tatapan kosong. Tanpa perlawanan dituntunnya aku masuk ke
mobilnya. Benarlah, hujan pun turun menumpahkan berjuta-juta titik air. Selama
perjalanan, aku terus memandangi titik-titik air yang jatuh pada sisi jendela,
hingga tak menyadari mobil telah berhenti di depan sebuah rumah bergaya
minimalis. Dewa membukakan pintu. Aku keluar dengan diam. Nampaknya hanya
gerimis kecil yang menyentuh kawasan perumahan ini.
Aku melihat rumah berlantai dua yang memiliki taman kecil yang cantik di
hadapanku itu. Ah, ini bukan rumahku. Aku pun berbalik hendak pergi. Dewa
menarik tanganku.
“Masuklah dulu..” pintanya.
Aku masih diam. Dibawanya aku memasuki rumah itu, melewati ruang tamu
dengan sofa besar berwarna putih. Lalu ruang tengah yang dihiasi sebuah lukisan
sembilan ekor ikan koi dengan latar gradasi warna merah dan kuning. Lalu dapur
yang juga bertema minimalis dengan aksen warna perpaduan hitam dan putih.
“Duduklah di sini.” katanya sembari mendudukkanku. Aku menurut. Ia pun pergi. Menaiki
tangga yang berada di sudut ruangan. Aku
menghembuskan napas berat. Tak lama, Dewa kembali membawa sebuah handuk putih
besar dan menyelimutiku.
“Keringkan rambutmu. Kau bisa kena flu nanti.” Handuk itu menyeruakkan
aroma maskulin. Aku tersadar.
“Sebaiknya aku pulang saja.” Kataku sembari hendak menarik handuk itu.
“Akhirnya kau bicara juga. Aku sudah takut kalau kau kehilangan kemampuan
berbicaramu secara permanen.” Jawab Dewa sambil mengerlingkan matanya. Menggodaku.
Aku tersenyum mendengarnya.
“Aku akan membuatkanmu kopi. Kau belum pernah dibuatkan kopi oleh pemilik
kafe yang tampan sepertiku kan?”
Aku pun tersenyum lagi. Urung beranjak pergi.
“Kopi apa? Kalau kopi sachet aku punya banyak di rumah.” sahutku.
Dewa tersenyum. Memang terlihat tampan, batinku. Laki-laki berdarah Jawa - Jepang-
Jerman itu memiliki garis dagu yang tegas juga sepasang mata yang indah.
“Bukanlah. Ini spesial. Salah satu kopi favoritku. Cita rasanya khas dan
unik. Kopi Kalosi. Temanku dari Makassar yang membawakannya. Dipetik langsung
dari perkebunan di Bone – Bone. Sebuah desa di kaki pegunungan Latimojong,
Sulawesi Selatan.” Jelasnya panjang lebar sembari menyeduh kopi.
“Seperti yang ku ceritakan di kafe tadi, sebenarnya Indonesia ini memiliki
banyak jenis kopi yang mendunia. Kau tahu, kopi ini pernah ditetapkan sebagai kopi
Arabika terbaik nasional, loh.” Sambungnya lagi.
Ah, mendengarkannya berbicara tentang kopi selalu menarik. Sebulan yang
lalu, aku bertemu Dewa pertama kali di kafe D’ Secret Of Coffee. Katanya, kafe
itu menjual biji kopi asli Indonesia. Desain interiornya yang mengusung
kehangatan dan kenyamanan seperti sebuah rumah, membuat kafe itu selalu
dipadati pengunjung. Mana aku peduli, rutukku dalam hati. Aku masih sangat
mengantuk pagi itu. dan yang kubutuhkan hanyalah segelas kafein agar bisa
memaksa mataku tetap terbuka. Karenanya, aku mampir ke kafe yang searah dengan
kantorku itu. Belakangan ini baru aku
tahu kafe itu adalah miliknya. Kalau saja saat itu aku tak menabrak dan
menumpahkan kopiku ke kemeja putihnya, mungkin aku takkan berteman baik
dengannya seperti sekarang ini.
“Oke, kopinya sudah siap. Silahkan nona,” katanya lagi sembari menyodorkan
secangkir kopi beraroma menggoda.
Aku tersenyum lagi.
“Kau cantik kalau tersenyum.” Katanya lagi.
Aku terperanjat. Lalu melihat ke dalam mata obsidiannya. Mata itu
menyiratkan kejujuran.
“Hanya dirimu yang beranggapan seperti itu.” jawabku
sembari hendak meminum kopi yang disodorkannya itu.
“Hei, hati-hati itu masih panas.”pekik Dewa. Terlambat.
“Ssshh..” aku mengerenyit. Panas kopi telah menyakiti indera perasaku.
Lidahku mati rasa. Buru-buru ku letakkan kopi itu.
“Kau tidak fokus Ayu! Kau tak apa?” tanyanya khawatir sembari menyentuh
bahuku. Aku bertanya-tanya sejak kapan posisi kami sedekat ini.
“Iya, aku tak apa. Mungkin sebenarnya aku lebih membutuhkan air
mineral ketimbang kopi.” Candaku sembari
menarik tubuhku. Menciptakan jarak.
Dewa mengerti. Ia pun duduk di kursi sebelahku.
“Seperti kopi, hidup juga punya sisi pahitnya. Kita tidak bisa menikmati
kopi jika diminum terburu-buru seperti tadi. Itu hanya akan menyakiti kita
sendiri. Kita juga tak perlu menahannya lama-lama di mulut. Karena itu hanya
akan membuat kita merasakan kepahitan. Kita harus menyeruputnya perlahan-lahan,
lalu membiarkannya mengaliri tenggorokan untuk merasakan manisnya. Hanya karena
warnanya yang hitam pekat, kita juga tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu
yang selalu tidak baik. Pun demikian halnya dengan kehidupan. Jangan menyimpan
lukamu, Yu. Jangan menyesali yang telah pergi” Kata Dewa sembari meminum
kopinya perlahan-lahan.
Tanpa izin, air mataku pun mulai menganak sungai. Aku menghapusnya.
“Aneh, kenapa aku menangis? Biasanya aku tak secengeng ini.” Isakku sembari
tersenyum.
Tiba-tiba Dewa menarikku dalam pelukannya. “Tak apa.. Kau boleh menangis.Tak
apa.. Menangislah sepuasnya. Lalu berbahagialah bersamaku.” Bisiknya lembut
sembari mengelus rambutku.
Seperti anak
kecil yang terluka, aku pun menangis sesunggakan dalam pelukannya. Aroma kopi
menyeruak dari tubuhnya. Cahaya senja masuk melalui jendela-jendela berkaca
bening.
***
#Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
diselenggarakan oleh GIORDANO dan
Nulisbuku.com
#Palangkaraya
13 Agustus
2016