Senin, 31 Juli 2017

Enchantment Sunshine



“Vania Aurellyn Meyrinka.” 

Sebuah suara bernada tegas berhasil menghentikan langkah Aurin. Pada dasarnya Aurin tidak sedang berniat untuk membandingkan ketua kelasnya itu dengan ular. Sorot matanya sih mungkin mirip, pikir Aurin iseng. Hanya saja sepertinya gadis berusia 17 tahun itu menjadi teramat yakin kalau ketua kelasnya itu berkesempatan untuk menggigitnya, bisanya akan lebih beracun  dari ular!

Aurin menghembuskan napas dengan kesal. Kenapa juga tadi dia harus berpapasan dengan  cowok rese itu. Entah mengapa, Ryan selalu memanggilnya dengan nama lengkap. Seakan belum cukup menyebalkan, Ryan juga selalu bisa membuatnya terjebak bersamanya. Kali ini apalagi kalau bukan untuk mengerjakan tugas dari salah satu gurunya, Pak Rahmat. Mereka diminta untuk mengembalikan berbagai karya sastra yang mereka pinjam saat pelajaran bahasa tadi.

“Kau tidak sedang pura-pura lupa tugasmu kan?” tanya anak cowok berkaca mata itu sengit.

Aurin memilih mendengus sebal ketimbang menjawabnya. Heran deh, kok bisa sih ni anak begitu konsisten dengan tingkah sok kuasa menyebalkannya itu, pikir Aurin. Dan kenapa juga dia senang sekali mem-bully ku? Bukannya biasanya anak pindahan itu diperlakukan lebih istimewa ya? 

“Kapan kau sampai di perpustakaan kalau kau melamun seperti orang bodoh begitu?” lagi Ryan menyindirnya dengan ketus.

Sabar Aurin. Sabar Aurin. Sabar Aurin. Sebut Aurin dalam hati sembari menata novel-novel dan mengikuti langkah kaki ketua kelasnya itu. Setelah mengembalikan semua novel Aurin segera kabur terebih dahulu. Terlalu malas untuk pulang bersamaan dengan Ryan. Karena terlalu terburu-buru, aurin tidak memperhatikan jalan didepannya yang ternyata sedikit bolong. Pavingnya hilang entah kemana.

“Aakkhh..” dirasakannya sakit yang menjalar saat ia berusaha menggerakkan kakinya. Oh God.. what a perfect day! rutuknya dalam hati. Rina sahabat dekatnya, yang juga teman sebangkunya sudah pulang duluan karena harus mengantarkan beberapa proposal untuk acara ulang tahun sekolah mereka bulan depan. Dengan tertatih, sembari menahan sakit ia pun mulai melangkah pelan. 

Tidak lama. Karena beberapa siswi tiba-tiba datang menghadangnya. Aurin memicingkan mata. Mau apa Bella cs menghadangnya seperti ini? tanyanya dalam hati. 

“Inget ya Aurin, jangan sampai kamu berurusan sama Bella dan anak buahnya. Mereka itu center of power-nya sekolah ini. Mending cepat-cepat pergi deh, daripada jadi bulan-bulanan mereka selama sekolah di sini.” 

Aurin teringat salah satu wanti-wanti Rina saat ia menceritakan seluk-beluk sekolahnya. Then, gimana caranya aku bisa cepat-cepat pergi dengan kaki terkilir kek gini coba? Aurin menghembuskan napas berat.

“Ada apa ya?” tanyanya.

“Kamu Aurin kan? Murid pindahan yang sok keganjenan gitu sama Ryan.”

Aurin melongo. What? Ryan? Mereka ini dapat info darimana sih? Kok bisa aku ganjen sama Ryan? Yang ada juga aku tuh gedek sama tu anak, pikirnya.

“Keknya kalian salah deh.. aku..” belum sempat Aurin menyelesaikan kalimatnya. Salah seorang teman Bella mendorongnya. Meski dapat mempertahankan keseimbangannya, Aurin merasakan sakit yang bertambah-tambah di kaki kanannya.

“Halahh..nggak usah banyak alesan deh.” Tukasnya. Wajah putih mulusnya terlihat garang. 

                “Jangan main dorong dong.. kita bisa ngomong baik-baik kan?” tanya Aurin sambil menahan emosi. 

                “Eh, malah ngelunjak ni anak. Keknya perlu diajarin tuh mulut.” Bella maju dan bersiap mengangkat tangannya. Aurin bukan gadis lemah, kalau saja kakinya dalam keadaan sehat wal afiat sudah pasti mudah untuknya mengelak. Karenanya satu-satunya hal yang dapat di lakukannya adalah bersiap menerima tamparan dari Bella. 

                Tapi ternyata tangan Bella tertahan oleh tangan lain. 

                “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya pemilik tangan itu. Dingin. 

                Aurin menoleh. Pemilik suara dan tangan itu adalah Ryan! Si ketua kelas rese-nya. Penilaian negatifnya secepat angin mulai berterbangan.

                “Ryan.. kami cuma mau ngobrol kok sama Aurin.” Jawab Bella dengan manis. Terlalu manis malahan.

                Aurin melipat dahinya. Ajaib sekali pasal kehadiran ketua kelasnya itu. Kakak-kakak kelas yang tadinya nampak begitu garang dan sangar langsung berubah begitu imut. Hampir-hampir menyerupai Ruru. Kucing Anggora berbulu putih miliknya. 

                “Kamu nggak apa-apa?” tanya Ryan kali ini padanya. Tidak dengan ketus. Nada memerintah. Suara menghardik. Atau membentak seperti biasanya. Aurin menatap sepasang mata hitam dibalik lensa Essilor Ryan. Ia terpana. Ada yang berbeda dengan mata itu. Nampak.. mengingatkannya pada semburat sinar matahari pagi yang menenangkan. 

google image


Wake up Aurin! It’s not like your self to be so poetic about eyes! Aurin mengerjapkan matanya.

                “Ya.. aku nggak apa-apa kok.” jawabnya cepat.

                Ryan kembali mengarahkan pandangannya pada para kakak kelas yang kini wajahnya kembali masam.

                “Sorry, kita mau pulang. Kalau nggak ada urusan lagi, bisa minggir nggak?” kali ini suara Ryan kembali ketus.

                Keajaiban kedua, tiba-tiba saja mereka dengan suka rela memberi jalan. Walau dengan setengah hati sih. Dengan wajah meringis menahan sakit ia pun melangkah pelan. Ryan mengikutinya dengan tenang. Masih terdengar gerutuan. Untung saja mereka tak punya kekuatan mata laser seperti Scott Summers di film X-Men, kalau tidak bisa jadi punggungnya sudah bolong dari tadi. Terkena paparan tatapan bengis mereka yang diyakininya masih mengikuti langkahnya itu.

Setelah agak jauh, Aurin berhenti. Mencoba mengurangi rasa sakit. Ryan mensejajari posisinya dan menekukkan lengan kanan. Tangan kirinya membenarkan letak kaca mata minusnya. Walau nampak seperti kutu buku, sebenarnya Ryan bisa dimasukkan dalam kategori cowok kece. Dengan kulit bersih, tubuh jangkung, dan otak cerdasnya, pantas saja kakak-kakak kelas juga dibuatnya terpesona. Tanpa sikap menyebalkannya, sudah pasti Aurin juga akan dengan senang hati memasukkannya dalam kategori 10 cowok kece yang dikenalnya selama hidup di panet ini. Lalu  mencoret nama Ryan dari list nomor satu dari 10 cowok yang mesti dibumi hanguskan dari peradaban dunia.

Ragu-ragu Aurin menggamit lengan Ryan. Kali ini ia bisa berjalan sedikit lebih leluasa.

“Mhmm.. makasih ya untuk yang tadi.” Lirih Aurin. Kikuk.

“Kau masih saja belum bisa mengingatku?” 

“Hah? Emang kita pernah kenal sebelumnya ya?” tanya Aurin polos. Perasaan di sekolahnya yang dulu dia memang tidak pernah bertemu dengan mahluk semacam Ryan deh.

Ryan menghela napas. Wajahnya nampak tak karuan. Campuran dari sepertiga sebal, sepertiga gemas dan sepertiganya lagi jengkel. Tangan kirinya yang bebas, terangkat mendaratkan sebuah jitakan kecil di kepala Aurin.

“Aduh.” Aurin menjerit tertahan. Lalu memandang Ryan dengan tatapan protes.

“Aku Tama! Heran, bagaimana bisa kamu segitu lupanya denganku. Apa aku segitu nggak berartinya ya?”

“Hah??” Tama? Tama? Tama? Otak Aurin bekerja dengan kecepatan penuh. Satu-satunya temannya yang bernama Tama itu teman SD nya yang gendut, penakut, dan cengeng. Tama yang selalu berdiri di belakangnya saat melewati rumah tetangga mereka yang memiliki anjing galak yang suka menyalak sembarangan. Karena rumah mereka berdekatan mereka memang biasa berangkat ke sekolah atau bermain bersama. But wait, kok Tama bisa jadi Ryan sih? Otaknya masih berusaha mencerna. Meskipun ia pindah sekolah dan sudah bertahun-tahun tidak pulang ke kota kelahirannya ini, tapi membayangkan Tama teman SD-nya telah bertransformasi menjadi cowok sekeren Ryan itu menjadi keajaiban ketiganya hari ini.

“Kok bisa sih?” kali ini kalimatnya tercetus.

“Pletak” kali ini jitakan kedua kembali melayang.

“Aduh.” Aurin mengelus kepalanya. Mentang-mentang lebih tinggi seenak udel aja dia main jitak, awas saja nanti, Aurin menatapnya dengan sengit.

“Namaku Ryan Aditama! Kenapa? Kamu heran karena aku jadi keren begini? Cepetan jalannya. Ku antar pulang.”

Aurin bingung apakah harus senang karena bertemu sahabat masa kecilnya atau harus kembali sebal dengan sikap rese Tama. Tapi tak urung tetap melangkah bersama ketua kelasnya itu. Harusnya setelah ia minta maaf, Tama akan bersikap baik lagi padanya kan?

Catatan :
- sebenarnya saya membaca berbagai macam novel dengan berbagai genre sih. tapi tulisan di atas referensinya dari Orizuka (lupa judulnya, hehe) dan A Very Yuppy Wedding-nya Ika Natasha 
- nggak tau deh gaya nulisnya mirip apa nggak.. :D

#TugasKelasFiksi6

9 Jurus Ampuh Menyingkirkan Writer's Block



google image

Sebaga seorang penulis tentunya kita sudah tidak asing dengan yang namanya writer’s block. Writer’s block ini, sangat berbahaya jika dibiarkan saja. Nah bagaimana cara mengatasinya? Inilah tips-tipsnya ala-ala saya. Hehehe.. check this out,

1.       Write As Soon As Possible!
Ya.. bukan sekali dua kali saja saya kehilangan ide menarik untuk menulis karena dengan cerobohnya saya “nyuekin “ ide saat ia datang. Terlupakan karena masih sibuk dengan pekerjaanlah, melakukan inilah, itulah, dan sebagainya. Padahal saat saya selesai dengan semuanya dan mulai duduk manis, ide itu telah lenyap tak berbekas. Dan pada akhirnya saya pun hanya termangu di depan laptop kesayangan. Karenanya saya selalu menyiapkan sebuah buku catatan. Karena kalau saya memang prefer menulis di buku ketimbang di smartphone rasanya lebih leluasa dan bebas. Kalau situasi mendesak, barulah saya menuliskannya di ponsel.

2.       Go out!
Yup.. daripada bengong mending pergi keluar. Sekedar melihat langit, melihat hamparan pepohonan, ngeliat gerombolan siswa yang riuh bak anak ayam kelaparan saat jam istirahat kadang bisa ampuh mengusir writers block tingkat stadium rendah milik saya.

3.       Keep Calm And Watch Your Korean Drama!
Hahaha Right! I’m Korean drama lover! And a film addict! Untuk meluruskan kekakuan ide di kepala, saya juga biasa menggunakan cara ini. Dengan menonton drama, kita bisa mendapatkan berbagai ide menarik loh.. trust me! It works! (#eh kok kayak iklan ya..)

4.       Listen Music.
Biasanya saya suka mendengarkan soundtrack musik dari drama korea atau film yang saya tonton. Ketika ada sebuah musik yang menarik hati (yang bukan berbahasa Indonesia), saya akan mulai men-googling arti lirik lagu dari musik tersebut. Dan biasanya ini berhasil.

5.       Window shoping
Jalan-jalan di Mall sambil melirik-lirik berbagai barang yang dipajang di etalase itu sukses bikin mata saya berbinar dan me-refresh otak saya. Seperti yang pernah saya baca di salah satu artikel milik anggota ODOP lainnya (maaf saya lupa mbak siapa ya.. #plaakk #liadisambit sandal), ini semacam sebuah hubungan yang rumit. Mungkin bisa dikategorikan sebagai sebuah cinta dalam diam? Menyukai tapi tak harus memiliki. #eaaaa Karena percayalah meski seberapa menariknya barang tersebut saya akan selalu berpikir dua kali sebelum membalinya. Kecuali buku sih. :D kalau buku mah mang sejak kapan itu selalu sukses menghipnotis saya untuk membuka dompet. Hikz.. ini lah salah satu efek mengerikan dari Syndrome bibliophilia! Hahaha  Ah.. sudahlah..

6.       Drink Green Tea or a cup of latte!
Kalian pasti sudah pernah denger salah satu manfaat green tea sebagai bahan untuk merelaksasi tubuh kan? Nah, meminum secangkir teh hijau atau latte ini juga bisa menyingkirkan WB.

7.       Let’s Read A Book.
Membaca dan menulis sudah barang tentu merupakan dua sejoli yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Saya baru saja membaca sebuah artikel menarik tentang kotak perkakas menulis (writting toolbox) milik Bapak Hernowo Hasim yang di share salah satu anggota grup ODOP Mbak Hiday, bahwasanya menulis merupakan upaya kita untuk mengeluarkan atau mengemukaakan pemikiran kita melalui kata-kata. Sedangkan membaca adalah upaya kita untuk memasukan kata-kata ke kepala kita . Semakin banyak yang kita baca maka semakin baik pula keterampilan berbahasa kita. Apa itu keterampilan berbahasa? salah satunya adalah memiliki kekayaan perbendaharaan kosa kata. Bukankah kekayaan kosa kata kita berbanding lurus dengan baiknya karya tulis yang kita hasilkan pada akhirnya?

8.       Free Writing!
Masih menurut beliau (pak Hernowo), salah satu yang bisa kita lakukan untuk mengusir writer’s block adalah dengan free writing, atau menulis bebas. Bagaimana caranya menulis bebas? Ubah font color dengan menggunakan white font. Lalu menulis saja. Sebebasnya. Seamburadul mungkin. Hahaha ini baru aku praktekin dan alhamdulillah hasilnya memang acak-adul. But it’s easy guys.. kita selalu bisa mengeditnya kembli sebebas-bebasnya.

google image

9.       Make a Mind Mapping.
Mirip-mirip dengan free writing. Kita bisa bikin sebuah mind mapping besar dari kata yang acak saja tercetus di kepala kita.


2 tips terakhir baru saya aplikasikan hari ini, saat saya benar-benar tidak tahu harus memulai dari mana untuk menulis tulisan ini. Semoga bisa bemanfaat ya..




#Tugas Kelas Fiksi 5 
#Tugas Kelas Non Fiksi 2

Sabtu, 22 Juli 2017

Perempuan Pilihan




google image



“Kenapa kau harus memikirkan ucapan mereka dan menjadi sakit hati begini?” tanyaku tak habis pikir. Aku menatapnya lamat-lamat. Perempuan berwajah oval dengan kulit putih itu menghembuskan napasnya perlahan. Beberapa anak rambutnya yang dicat merah mahogany berterbangan dipermainkan angin. Menggodaku untuk menyentuhnya.

“Apa kau pikir aku sakit hati karena ucapan mereka?”

Aku memilih diam. Setidaknya mata besar yang dilapisi contact lens turquoise-nya itu tak mampu menutupi semburat luka yang sempat terlintas. Begitu pikirku.

“Selama ini aku menjalani kehidupan yang tidak mudah. Kau tahu, saat kau tumbuh di lingkungan yang buruk, kau akan mulai belajar untuk membangun egomu. Sebagian orang mungkin akan memuji bahwa aku cantik. Tapi sebagian yang lain akan meludahiku, mengutukku, dan menginjakku tanpa alasan sama sekali. Tak apa. Aku masih bangun pagi, mengenakan make up dan tersenyum. Tak masalah. Aku bisa bertahan. Karena apa yang kulakukan adalah keinginanku sendiri. Entah menjadi penyanyi dangdut atau menjadi teman kencan pejabat-pejabat itu. Orang-orang itu menghinaku tanpa tahu siapa aku. Tapi saat aku terpuruk di titik terendah, aku dapat melihat sekeliling dengan lebih jelas. Dalam kehidupanku yang tak mudah itu, ibuku juga ada di sana.  Saat mereka meludahiku, mereka juga akan meludahi ibuku. Karenanya jika kau bersamaku, mereka juga akan meludahimu Dan. Aku tak kan bisa memamerkan senyumku jika mereka juga meludahimu.” Air mata mulai menggerlapi mata indahnya. Di telingaku suara seraknya itu seperti kalimat-kalimat tanpa titik koma, tanpa jeda, tanpa alinea. Sebuah paragraf panjang yang bahkan tanpa margin.

Kesunyian kembali menggelegar diantara kami. Aku mencintai perempuan di hadapanku itu dengan seluruh hidupku. Peduli setan kalau masyarakat menggunjingkan hubungan kami. Yang ku tahu, lesung pipit, hidung bangir dan senyum cerianya telah sempurna memikat hatiku. Sayangnya aku tak pernah tahu kalau cinta ini justru membebaninya. Hanya aku yang bahagia dengan hubungan kami. Hanya aku yang selalu berdebar setiap kali melihatnya menyambutku di depan pintu rumah kami yang berada di dekat pantai. Hingga suatu hari ia pun mengatakan, “tapi aku tak mampu lagi. Ini berat sekali untukku, Dan”

Penyesalan yang begitu pekat melingkupiku. Juga ribuan tanya yang kini menjejali kepalaku. Sejak kapan ia tak bahagia? Mengapa aku abai terhadap perasaannya? Ah, mengapa pula ia pun tak menceritakan perasaannya yang sebenarnya padaku? Bukankah menjaga rahasia terutama dari pasanganmu sendiri akan membuat hatimu menjadi berat? Bukankah ada banyak momen kebersamaan kami yang dapat dijadikannya kesempatanuntuk bercerita?

Saat kami tak pernah absen memandangi senja di pantai itu, misalnya. Atau saat hujan dan aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor, dan memiih untuk bergelung dalam selimut hangat bersamanya. Atau saat aku menemaninya menanam bunga-bunga di pekarangan sempit kami. Karena walaupun terkesan centil dan serampangan, perempuan itu pecinta bunga. Atau saat ia sedang iseng lalu menggangguku membaca buku, dengan memoles bibirku dengan lipstick merah menyala miiknya. Semua kenangan indah itupun berkelebatan di benakku.

Tiba-tiba saja aku mendapatkan sebuah pemikiran. Bahwa sesungguhnya perempuan berusia 20 tahun itu memang tidak pernah berusaha untuk memasukkanku dalam hidupnya. Bukankah aneh ia tiba-tiba menyerah setelah semua kesulitan yang kami hadapi untuk dapat bersama? Kemurkaan keluargaku  juga ibunya yang tak menyukaiku, apakah semua sebanding dengan gunjingan mengenai hubungan kami? Bukankah ia tahu ini sudah pasti bukan jalan yang mudah.

Tak ada kalimat yang mampu menahannya. Aku pun membiarkan punggungnya berlalu. Kami berpisah di tepi jalan raya yang ramai. Ia bahkan menolak saat aku menawarkan untuk mengantarnya ke rumah ibunya. Setidaknya aku berharap di perjalanan nanti aku masih bisa membujuknya untuk tidak berpisah. Sebuah dialog dengan sesama teman kantor terlintas di kepalaku.
“Apa kau tahu hal apa yang paling mudah dilakukan di dunia ini?”
“Apa?” tanyaku
“Memutuskan sebuah hubungan.”

Aku menghembuskan napas pelan, lalu meraih ponselku. Mengetik sana sini lalu mendengarkan nada sambung. Agak lama baru terdengar suara. Aku melihat perempuan itu berhenti dan membalikkan badannya.

“Hallo..”

“Maafkan aku yang telah membebanimu dengan cintaku yang mungkin terlalu besar untuk kau tanggung. Tapi jika kau berpikir aku masih bisa menjalani semuanya tanpamu, kau salah. Jaga dirimu. Hiduplah dengan baik Rika.” Kakiku mulai melangkah menuruni trotoar. Tak lama sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghampiri tubuhku. Meski ku lihat supirnya berusaha mengerem mengurangi kecepatan, semuanya terlambat.

“Braakk..”

Aku pun memeluk rasa sakit yang menjalar dengan cepat saat tubuhku terhempas. Terbayang kembali wajah mama yang berurai air mata saat aku mengatakan ingin menjalin hubungan yang serius dengan Rika, perempuan pilihanku. Juga wajah Ayah, yang mungkin terlampau terkejut dengan permintaan anak kebanggaanya. Permintaan yang harus ku bayar mahal karena ayah harus pergi untuk selamanya setelah divonis gagal jantung. Saat itu aku memang sedih, tapi aku masih mengira semua ini setimpal sebagai harga yang harus ku bayar untuk bisa hidup bersama Rika, biduan cantik dari kampung sebelah. Aku melihat Rika berlari menghampiriku. Gaun birunya berkibar, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami. Pertemuan yang membuatku merasa yakin hanya Rika lah yang bisa mengisi kekosongan hatiku, dan hanya akulah yang bisa menyelamatkan Rika dari kehidupannya yang buruk. Yang bisa membahagiakannya. Menghapus luka yang ditorehkan bapak tirinya yang suka menyiksa dan memuaskan nafsunya pada Rika. Setetes bulir air mata menyembul di sudut mataku. Hal terakhir yang ku dengar adalah suara rika yang memanggilku.

“Danishaaaaaaaaaa...”





#Tantangan Kelas Fiksi 4
Palangkaraya

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...