Bagian sebelumnya baca di sini
“Nur, apa cita-citamu nanti?” tanya Amang Syam padaku saat kami pulang
sekolah bersama.
“Kalau Amang?” tanyaku balik.
“Amang handak jadi dokter.”
“Mun kayak itu Nur handak jadi dokter jua!”
jawabku mantap.
“Haw, kenapa jadi umpat-umpat amang??” tanya amang
Syam lagi. Kali ini ia tersenyum dengan sangat indah.
“Pokoknya Nur handak umpat amang ja tarus. Kamana
haja ulun umpat tu pang.” Aku tersenyum lebar.
Amang lalu mengacak-acak rambutku.
Amang adalah adik Mama yang paling terakhir. Umur
kami hanya terpaut lima tahun. Sejak kecil kami memang sering bersama. Mama
sering menyuruh amang untuk menjagaku selagi mereka bekerja di toko kain milik
kakek di pasar Kandangan.
Tak aneh aku pun begitu lengket dengan amang. Amang
Syam menemaniku belajar, juga mengajariku mengaji. Ia menjelma menjadi sosok pahlawan
yang ku kagumi lalu mewujud menjadi sosok laki-laki idamanku.
Saat Amang mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke
Jogja, aku merengek pada Mama dan Abah agar berkenan menyekolahkanku di Jogja
juga. Tapi Abah tak mengizinkan. Anak perempuannya harus selalu dekat
dengannya, begitu kata beliau. Aku pun menahan perasaanku. Baru kali itu aku
terpisah jauh dari amang untuk waktu yang lama. Karenanya setiap amang liburan
pulang, selalu menjadi waktu yang istimewa. Tak bosan-bosannya aku meminta
amang bercerita tentang Jogja. Kota seperti apakah jogja itu, bagaimana
orang-orang di sana sama kah dengan di Martapura? Lalu aku pun dapat dengan
puas memandang amang bercerita panjang lebar dengan penuh semangat.
Saat Amang diwisuda, aku sudah duduk di kelas XII
Aliyah. Amang meminta mama dan abah mendampinginya saat wisuda. Entah kena
angin apa abah pun setuju. Untuk pertama kalinya aku pun bisa melihat sebuah kota
cantik di tanah Jawa. Benar kata Amang, Jogja merupakan kota yang istimewa. Aku
pun terpikat oleh pesonanya. Segera saja aku memutuskan untuk kuliah di kota
itu setelah lulus Aliyah.
“Apa?? Kau ini perempuan Nur! Mana bisa kau pergi
jauh seorang diri. Tidak. Kau tak usah kuliah. Sudah cukup kau sekolah hingga
Aliyah. Abah akan menikahkanmu dengan seorang laki-laki baik dari keluarga yang
terpandang di Martapura. Keluarga mereka bersedia memberikan uang jujuran
sesuai dengan kesepakatan”
Seketika pecahlah mimpi-mimpiku. Menikah? Tak
pernah aku membayangkan akan menikahi seorang laki-laki yang bahkan tak ku tahu
bagaimana rupanya. Apa kata Abah? Uang jujuran sesuai kesepakatan? Sungguh aku
merasa sedang diperdagangkan oleh ayahku sendiri. Aku pun mengadu pada ibu.
Namun perempuan pendiam yang selalu taat pada
suaminya itu hanya berkata lirih, “Nur, Abahmu tentu selalu menginginkan yang
terbaik untukmu. Percayalah tak ada orang tua di dunia ini yang mau
menjerumuskan anaknya sendiri. Anggaplah ini sebagai baktimu kepada kami nak.
Lagipula Ridwan tentu akan mengasihimu selalu sebagai istrinya.”
Tiba-tiba aku merasa begitu kesepian. Benar adalah
tugas seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, tapi bukankah ini
kehidupanku? Apakah aku benar-benar tak memiliki hak barang sedikit untuk
menjalani kehidupan seperti apa yang ingin ku jalani? Ah, begitu tega ibu
berkata seperti itu. Tak tahu kah ibu kata-katanya sungguh mengiris hatiku.
Bagaimana bisa aku menolak jka sudah demikian? Beginikah nasib seorang anak
perempuan? Ah, amang Syam, seandainya kau ada di sini, seandainya aku bisa
mengikuri amang Syam ke Jogja...
Tapi semua pengandaian pun tak berguna pada
akhirnya. Seluruh harap, juga doaku, tak berdaya ketika berbenturan dengan
kerasnya hati abah. Amang Syam menangis tanpa air mata melihatku bersanding di
pelaminan. Aku bisa melihat matanya yang memancarkan luka dan kesedihan yang
dalam.
Ah, ini sudah benar, kau sudah melakukan hal yang
benar Nur, hiburku dalam hati.
Bukankah membahagiakan orang tua merupaka sebuah
kebaikan? Yang akan mengembangkan banyak kebaikan lainnya?
***
Pulang Pisau
Hadirr....sebagai suporter pertama :D
BalasHapusAaahhh ka raida... Lop yu pull deh.. ππππππ
HapusSedih...
BalasHapusHikz.. πππ
HapusMak Raida gak protes lagi tuh endingnya? π
BalasHapusBelum sampe ending soalnya mbak.. πππ
Hapus