BAB I
Umumnya konseling selalu dikaitkan dengan bidang psikologi. Kalaupun ada
pelayanan konseling yang mengarah ke
sekolah, itu pun tidak dimaksudkan profesi konseling sebagai pendidik. Jauh
sebelum Belkin (1975) dan Efrod (2004) menekankan pentingnya pelayanan
konseling yang berorientasi sekolah, Tulisan Gustad (1953) yang dikutip oleh Mc
Gown dan Schmidt (1962) menjadi tanda awal tumbuhnya profesi konseling yang berorientasi pada proses
kegiatan pembelajaran. Meskipun tidak terlalu berkembang karena kalah pamor
dengan konseling psikologikal yang masih menjadi primadona saat itu.
Berbeda dengan pandangan umum yang telah dijelaskan sebelumnya, di Indonesia,
sejak awal mula Konseling memang telah berorientasi pada pelayanan profesional
di bidang pendidikan. Pada tahun 1960-an
dunia pendidikan Indonesia telah menampakkan geliat pembaharuan dengan mulai
dikembangkannya kegiatan bimbingan dan penyuluhan (BP) yang kemudian mengalami
perubahan nama menjadi bimbingan dan konseling (BK), sampai adanya usulan untuk
menggunakan satu istilah saja yaitu konseling. Penggunaan satu istilah ini
diusulkan oleh Ketua Umum IPBI pada kongres XI IPBI di Bandar Lampung pada
tahun 2001 yang lalu.
Istilah tunggal konseling ini telah digunakan secara resmi pada produk
Ditjen Dikti Tahun 2004 pada buku yang brjudul “Dasar Standarisasi Profesi
Konseling”, dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan dalam buku Panduan Pengembangan
Diri Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sementara itu organisasi profesi para petugas bimbingan di Amerika Serikat
(yaitu AACD : American Association for Counseling and Development, yang semula
bernama APGA (American Personnel Guidance Association) pada tahun 1992 megubah
nama menjadi ACA (American Cuonseling Association) sebagaimana dikemukakan oleg
Gladding (2012 : terjemahan).
Meskipun mengalami perubahan nama dari masa ke masa profesi konseling tidak
pernah berubah arah, dasar, visi maupun misinya yang selalu berorientasi pada
pendidikan.
Secara resmi kurikulum 1975 mengintegrasikan pelayanan Bimbingan dan
Penyuluhan dalam upaya pendidikan
yang diselenggarakan di
sekolah. Integrasi demikian itu berlanjut dan berkembang terus
mengikuti dinamika perubahan kurikulum,
yaitu Kurikulum 1984, Kurikulum
1994, Kurikulum 2006,
sampai Kurkulum 2013 yang diberlakukan sejak tahun 2013.
B.
KONSELING DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini pun menjadi dasar utama yang menandai integrasi
bidang konseling ke dalam Sistem Pendidikan
Nasional yang diberlakukan di seluruh tanah air. Undang-Undang ini juga secara legal
menyebutkan bahwa konselor adalah pendidik, sejajar dengan kualifikasi pendidik lainnya, sebagaimana
dikemukakan sebagai berikut,
“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.” (Pasal 1 Butir 6)
Meskipun tak dapat dipungkiri dalam prakteknya proses layanan konseling
memang memakai kaida-kaidah psikologi. Namun hal ini tidaklah berbeda dengan
penggunaan kaidah-kaidah psikologi dalam bidang lainnya. Seperti penggunaan
kaidah-kaidah psikologi dalam ilmu sosial, ekonomi, bahasa, politik,
pemerintahan. Demikian halnya dengan
konseling yang berada dalam wilayah pendidikan.
Lebih jauh, status seorang konselor
sebagai pendidik itu ditegaskan bahwa posisinya itu adalah sebagai tenaga
profesional sebagaimana dikemukakan :
“Pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.”(Pasal
39 Ayat 2)
Adapun pengertian profesional adalah pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Butir 4).
Ketentuan pokok ini semakin jelas menjadi isi dan mewarnai
berbagai peraturan legal, baik berupa
Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri dan Peraturan
lainnya terkait dengan upaya pendidikan
dan pembinaan pribadi individu.Dani sini dapat kita cermati, dalam undang-undang
tersebut telah ditegaskan bahwa profesi konseling secara resmi berada dalam wilayah
pendidikan yang tentu saja landasan keilmuannya adalah Ilmu Pendidikan. Penegasan
ini pun menghilangkan kerancuan tentang keberadaan profesi konselor yang
sebelumnya disebut-sebut berada dalam wilayah psikologi.
C.
PENTINGNYA KONSELING DI SEKOLAH
Pendidikan
sesuai dengan yang tercantum dalam UU SPN No. 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1
adalah usaha sada dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pemetaan layanan
konseling dalam jalur pendidikan formal yang memandirikan dalam jalur pendidikan
formal keberadaanya sejak kurikulum 1975 sejajar
dengan manajemen pendidikan dan pebelajaran bidang studi.
Ketiganya
saling berkesinambungan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu perkembangan optimal tiap peserta didik. Dalam
realitanya, pengembangan diri peserta didik secara utuh dan optimal lebih banyak
terkait dengan wilayah pembelajaran yang merajutkan pembentukan berbagai dampak
pengiring (nurturan effects) berupa
penguasaan kognitif, afektif dan psikomotor oleh guru dengan menggunakan materi
pelajaran sebagai konteks kegiatan belajar.
Namun,
dalam setting pembelajaran khususnya
dalam jalur pendidikan formal kontribusi guru tersebut masih bersifat parsial
sehingga perlu dilengkapi oleh konselor dengan menyelenggarakan layanan konseling.
Wilayah layanan konseling bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat
dalam menavigasi perjalanan hidupnya sehingga dapat mengambil keputusan yang terkait
dengan keperluan memilih, meraih serta mempertahankan karier dalam mewujudkan
kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta menjadi masyarakat yang peduli
kemaslahatan umum (the common good) melalui
pendidikan (Sternberg, 2003)
Dengan demikian tak dapat
dipungkiri konseling diperlukan dan merupakan bagian penting yang tak dapat
dipisahkan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar