Selasa, 01 Mei 2018

Lakuna #3


 
google image
Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Kamu cemburu ya Evelyn?” tebaknya.

Seketika pipi Evelyn pun bersemu merah. Rama tersenyum.

“Ti.. tidak. Aku tak mengenal perempuan itu mengapa aku harus cemburu?”

“Kamu uring-uringan setelah Arisa kemari. Padahal dia kan hanya sekretarisku. Dia kemari untuk mengambil dokumen yang terbawa olehku. Ayolah Eve, baru kemarin aku bisa membuatmu memaafkanmu. Masa kamu tega mendiamkanku lagi?” Rama mendramatiskan suara memelasnya.

Evelyn melengoskan wajah. 

“Tenang saja, aku tidak mungkin menyukai perempuan gendut, galak, jerawatan seperti Arisa,” kata Rama mantap.

“Jangan membodohiku Rama Dirgantara! Aku tau pasti Arisa bukan perempuan gendut, galak, jerawatan seperti katamu,” bantahnya sebal. Walaupun ia buta, ia bisa merasakan bagaimana anggun dan menariknya suara ramah Arisa, meski bisa saja itu hanya sekedar protokol sopan santunnya sebagai bawahan Rama.

Rama masih tersenyum melihat  perubahan ekspresi Evelyn.

“Kita nikah aja yuk Eve ... biar aku bisa langsung meluk kamu kalo lagi imut gini ...” kata Rama pelan, tenang, jelas.

Uhukk ... Evelyn tersedak jus wortel yang diminumnya. Rama membantunya meraih tisu. Untuk beberapa saat Evelyn melongo. Ini anak ngajakin nikah udah kek ngajakin beli cilok di depan rumah aja, pikirnya konyol.

“Kenapa kamu belum berangkat kerja? Ini sudah jam berapa coba?” tanya Evelyn.

“Aku tak kerja hari ini.” jawab Rama singkat.

“Kenapa?”

“Aku tak mau kau bersedih karena berpikir yang tidak-tidak tentang aku dan Arisa, lagipula Tante Alika eh, Bunda memintaku untuk menemanimu.”

Evelyn cemberut.

“Aishh ... aku bukan anak kecil yang perlu ditemani. Kerja sana.”

“Aku kan presdirnya aku bisa kerja kapanpun aku mau.” Jawab Rama santai.
 
“Bekerja Rama! Jangan sok! Perusahaanmu kan baru dirintis ... berikan contoh yang baik untuk karyawanmu.”

“Kenapa kau tak menjawab lamaranku?” 

“Kau sebut itu sebagai lamaran?” 

“Apa kau sedang menyangsikan keseriusanku?” tanya Rama tajam.

Evelyn menghembuskan napas perlahan.

“Jawabanku, tidak!” Ia pun berdiri hendak berlalu.

Rama menahan lengannya.

“Apa karena kau adalah gadis buta sehingga kau merasa tidak pantas untukku?”

“Jangan mengkonfrontasiku Rama!” desis Evelyn. Ia berusaha melepaskan lengannya. Rama mengeratkan cengkramannya.

“Itu satu-satunya cara yang ku tahu untuk menghadapi keras kepalamu!”

Evelyn bisa merasakan gelembung kemarahan membengkak dalam dadanya.

“Lepaskan tanganku!” ia menghentakkan tangannya. Tapi Rama menolak melepasnya.

“Kau selalu seperti ini. Memilih pergi dan bersembunyi. Kemana Evelyn yang dulu yang selalu berani dan memiliki keyakinan yang kuat? Jangan bilang kecelakaan itu telah mengubahmu menjadi pengecut yang payah!” sinis Rama.

“Tau apa kau tentangku? Orang-orang yang berpikiran picik sepertimu selalu mengecam sesuatu yang tidak mereka pahami!” sengit Evelyn. Ia memejamkan mata. Menahan air mata yang hendak tumpah. Ia takut, jika mulai menangis, ia takkan bisa berhenti hingga tubuhnya mengerut. Bayangan dari kecelakaan malam itu kembali memenuhi benaknya. 

“Eve ... Om Rio tidak meninggal karenamu. Kecelakaan itu bukan salah siapa-siapa. Aku tidak tahan melihatmu yang terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Rama terdengar lebih lembut.

Bagaimana mungkin itu bukan salahku? Batin Evelyn. Ia mengingat dengan baik betapa tenangnya ayahnya meski kepalanya terus mengucurkan darah segar. Dengan tegas, tanpa ragu, tanpa memikirkan pilihan lainnya, ayahnya meminta agar Evelyn yang lebih dahulu di tolong. Hal terakhir yang dilihatnya malam itu adalah senyum samar ayahnya yang seolah mengatakan, “ayah tak apa, kau akan baik-baik saja puteriku.”

Ada malam-malam diamana Evelyn selalu memikirkan kata ‘seandainya’, ‘bagaimana jika’, atau ‘seharusnya’ tiap kali ia terbangun dari mimpi-mimpi buruknya. Lalu ia pun menyadari bahwa hidupnya terhenti pada satu titik. Jauh, dari apapun. Dari siapapun.

“Eve ... aku, bunda, kami sangat menyanyangimu. Sedikit pun, baik aku maupun Bunda, tidak pernah merasa harus mengasihanimu karena kebutaanmu. Beri kami kesempatan untuk membuktikan hal itu kepadamu. Kau bisa berbagi kesedihanmu, kemarahanmu, dengan kami.”

Bahu Evelyn berguncang, lalu terdengar isakan.

“Evelyn, kau pasti tahu kan sejak dulu aku telah menyukaimu? Kau mungkin tak tahu bagaimana hancurnya hatiku saat akhirnya aku mengetahui keadaanmu. Tapi aku tetap bahagia, oh, akhirnya aku menemukanmu, lakunaku. Ayo, menikahlah denganku Evelyn ... “ ujar Rama dengan nada mendesak, pelan, dan dekat.

Mari kita akan saling mengingatkan bahwa kehidupan selalu bisa kita nikmati dengan cara yang lebih baik, Eve ... lanjut Rama dalam hati.

***
#KelasFiksi
#OneDayOnePost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...