Minggu, 22 Mei 2016

Elegi Sunyi Sepotong Hati (7)




Google Image

“Tumben mbak Alya yang belanja? Bu Rina kemana?” tanya bu RT pagi itu saat aku sedang sibuk memilih sayuran segar milik Amang Anang. Penjual sayur keliling langganan. Aku tersenyum. 


“Ibu lagi nggak enak badan Bu RT. Mungkin masuk angin.” Kataku sekenanya.


“Loh, Mbak Alya. Lama nggak keliatan. Belanja ya?” tanya Bu Nita, tetangga sebelah rumahku yang terkenal suka bergosip. Ya iyalah aku belanja. Mang aku tampak seperti sedang apa saat ini? Aku ngedumel dalam hati. 


Well, aku memang kurang suka berkumpul dengan para ibu-ibu ini. Mereka kepo sekali dengan semua hal tentang keluargaku. Mungkin karena kedudukan Ayah  sebagai imam masjid di kampung ini. Atau mungkin karena ibuku yang cantik jelita itu selalu aktif di pengajian ya? 

Ah, yang jelas aku dan keluargaku kerap kali menjadi bahan pembicaraan ibu – ibu di sini. Dari yang positif sampai yang kejam. Lebih sering yang kejam deng. Bahkan bisa lebih kejam dari infotainment yang seliweran di TV itu.


Menurutku mereka mulai menjadi kepo-er gitu sejak kejadian 3 tahun yang lalu. Aku ingat sekali, saat itu aku baru lulus SMA. Sedang sibuk-sibuknya mendaftar kuliah. Ayah yang saat itu dipercaya menjadi ketua Masjid, mengusulkan untuk melakukan renovasi besar-besaran karena bangunan masjid yang dulu dirasa sudah terlalu tua, dan tidak lagi dapat menampung seluruh warga kampung Kenanga yang semakin banyak. 


Karena sebuah kesalahpahaman antara Ayah dan panitia pembangunan masjid,  Ayah dikira telah menyelewengkan uang sumbangan pembangunan dari masyarakat. Entah bagaimana tiba-tiba beritanya cepat sekali beredar. Ditambahi di sana-sini. Dibumbui macam-macam hingga ceritanya jauh berbeda dari kejadian yang sebenarnya. 


“Wah, sok-sok aja tuh Ayahnya jadi imam masjid. Ibunya ikut pengajian ternyata sama uang sumbangan juga doyan.”


“Jangan-jangan Alya bisa kuliah itu karena make uang itu.”


Kalimat-kalimat senada juga sering ku dengar dari tetangga-tetangga yang lain. Belum lagi tatapan sinis mencemooh. Aku tak tahu. Bagaimana cara Ayah dan Ibu menghadapi mereka yang tadinya bertetangga  baik dengan kami itu, tiba-tiba terlihat seperti monster yang mengerikan. 


Beberapa warga bahkan ada yang nekad datang ke rumah. Berniat mengusir kami dari kampung. Yah, ini wajar. Mengingat, kita memang masayarakat yang mudah terprovokasi bukan? Mudah disulut. Bahkan untuk sesuatu yang belum jelas kebenarannya. 


Untungnya dengan kewibawaan Ayah, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, situasi dapat dikendalikan dan tidak sampai terjadi hal-hal anarkis lainnya. Meski sudah memberikan klarifikasi, berita tersebut terlanjur menyebar dan sulit sekali meredamnya.
Karena kejadian itu, aku sempat mendapat cap sebagai anak koruptor selama berbulan-bulan. Padahal di mataku, ayah itu orang paling jujur yang pernah ku kenal. 

Setidaknya dari kejadian itu, aku belajar betapa sebuah bisik-bisik iseng saja bisa berubah menjadi hal semengerikan itu.


“Eh, katanya Pak Khalil mau nikah lo mbak Alya. Bener nggak tuh?”  tiba-tiba Bu Ana yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumahku bertanya.


Aku kaget. Ya ampun ibu-ibu ini. Aku geram, tapi sebisa mungkin tetap memasang wajah manisku. Alya Adriana, kamu harus jaga image! Tekadku dalam hati.


“Oh ya? Saya malah baru tahu bu.”


“Loh bukannya Pak Khalil itu pacarnya mbak Alya? Tak kirain malah mau nikah sama mbak Alya!” kejar bu Ana lagi.


Aku mulai merasa jengah. Namun belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba bu Haryono yang suaminya juga seorang guru di sekolah yang sama dengan kak Khalil berkata, “ Ya nggak mungkin lah pak Khalil nikah sama Mbak Alya. Lha wong Pak Khalil itu kan sudah PNS. Pastinya ya nyari yang sama-sama PNS. Yang dewasa. Lha sementara Mbak Alya itu kan masih kuliah?”


Aku hanya tersenyum kecut. Malas berkomentar. Bu Haryono memang terkenal bermulut pedas dan ceplas-ceplos.


“Amang berapa semuanya?” Kataku sembari memperlihatkan semua belanjaanku. Aku segera membayar. Hanya demi kesopanan, aku pun berpamitan pada kumpulan ibu-ibu itu.


Syukurlah aku bisa cepat melarikan diri. Siapa yang tahu apa yang akan ku lakukan kalau aku berusaha bertahan lebih lama? 


Bisa nggak sih ibu-ibu itu berhenti bergosip sebentar saja? Ya ampun memangnya mereka nggak punya kerjaan lain ya? Ngapain kek? Belajar merajut kek sana. Lebih menghasilkan. Lebih bermanfaat. Huh, lagian memangnya kenapa kalau dia PNS? Memangnya apa hebatnya PNS?? Mas Prabu lebih hebat! Dia pegawai BUMN! Kataku bersungut-sungut dalam hati. Aaargh, kenapa sih pagi ini panas banget??


***
*Amang : Paman, Paklek
Palangkaraya


#OneDayOnePost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...