Minggu, 22 Mei 2016

Elegi Sunyi Sepotong Hati (8)



Semangkok bakso spesial Bu Lan selalu menjadi pilihan terbaik untuk menguraikan rasa lapar yang ku tahan sejak mata kuliah kedua tadi. Siang ini, kantin Bu Lan yang berada persis di belakang kampusku padat dipenuhi para mahasiswa yang sama kelaparannya denganku. 


Sambil menunggu Asty, Lisa, dan bakso spesialku,  aku menikmati es teh favoritku. Aku sengaja memilih tempat agak di pojokan. Selain menghindari keriuhan para mahasiswa kelaparan itu. Meja di bagian pojokan ini juga sangat strategis untuk mendapatkan oksigen yang lebih murni dalam jumlah lebih banyak. Di kantin ini posisi sangat penting untuk menentukan keberlangsungan hidup kita. 


Tak berapa lama Asty pun datang, hampir bersamaan dengan pesananku.


“Mhmm, kayaknya ada yang beda deh”, kataku menyelidik sahabat baikku yang wajahnya tampak lebih bercahaya itu.


“Apa?” tanya Asty sambil terus mempertahankan senyumnya.


“Kamu kebanyakan senyum hari ini As. Kamu lagi jatuh cinta ya?” tembakku langsung. 


“Uhukk”Asty yang sedang meminum es teh tiba-tiba tersedak. Wajahnya yang merona semakin membuatku curiga.


“Mhmm.. menurutmu bagaimana kalau aku menikah?”


“Uhukk” sekarang giliran aku yang tersedak. Ini anak salah sarapan atau bagaimana sih? 


“Kenapa tiba-tiba sekali?”


“Nggak tiba-tiba kok. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku memang bercita-cita untuk menikah di usia muda.” Katanya pelan. Wajahnya yang dibingkai hijab ungu itu terlihat cantik sekali di mataku.


“Kamu sudah punya calon? Siapa? Aku sama Lisa tau nggak orangnya? Anak mana? Kerja? Atau masih kuliah?”


“Alya.. nanyanya satu-satu dong.”katanya memprotes berondongan pertanyaanku.


“Maaf, aku terlalu bersemangat. Selama ini kan kamu nggak pernah terlihat dekat dengan cowok mana pun?”


“Aku memang nggak mau pacaran. Aku percaya ada jalan lain yang lebih baik untuk mengekspresikan cinta. Dan itu adalah dengan menikah.”


“Iya sih, tapi.. ah, sudahlah. Sekarang ceritakan padaku. Siapa laki-laki yang beruntung itu?” kataku lagi.


“Aku belum bisa cerita banyak. Nanti saja ya aku ceritanya.”


“Oke, setidaknya ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu? Apa dia langsung menembakmu?"


Asty tertawa kecil. “Ya, nggak lah Al. Aku juga baru bertemu dua kali dengan beliau.”


“Beliau? Dua kali? Apa ini semacam love at first sight?” aku mengerenyitkan dahi. Asty tersenyum lagi.


“Aku bahkan belum merasa mencintainya. Aku hanya.. entah mengapa merasa begitu  yakin beliau adalah laki-laki yang baik yang bisa memimpinku, membangun sebuah rumah tangga yang diridhoi Allah.”


Mata Asty terlihat bersinar. Di telingaku kata-kata Asty terdengar begitu idealis.Begitu indah.


“Memangnya bisa menikah dengan laki-laki yang bahkan kamu nggak tahu bagaimana sifat dan sikap kesehariannya? Laki-laki yang tidak kita cintai?”


“Alya sayang, aku percaya cinta itu ditumbuhkan. Dibangun.”


“Ya.. ya.. whatever lah yang jelas aku ikut bahagia untukmu Asty sayang..” kataku sambil memegang tangannya.

"Kamu mendukungku Al?"

"Tentu saja. Meskipun menurutku akan lebih baik kalau menyelesaikan kuliah dulu. Tapi karna kamu sudah begitu yakin apalagi yang bisa ku lakukan selain mendukungmu?"


“Makasih ya. Tapi Al, sebenarnya aku sedikit ragu.” Kata Asty, sinar di matanya sedikit meredup.


“Loh? Kenapa ragu?”


“Entahlah.. hanya sedikit ragu. Jangan-jangan beliau sudah punya calon? Aku takut beliau menolak.”


“Loh, jadi kamu yang duluan mengajukan lamaran padanya?” tanyaku takjub. Walaupun ini era modern, dimana emansipasi wanita begitu dijunjung tinggi, tetap saja adalah hal yang tidak biasa bagi seorang gadis untuk mengajukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak laki-laki.


”Bukankah sudah sewajarnya  kita tidak menyia-nyiakan laki-laki baik? Daripada keduluan perempuan lain?”


“Wuaahh.. kamu keren sekali Asty. Bagaimana caramu melamarnya? Nggak mungkin seperti di TV-TV itu kan?” kataku bersemangat.


“Ya nggak lah Al. Sebenarnya nggak bisa disebut melamar juga sih. Aku meminta tolong pada Guru Ali untuk menanyakan pada beliau apakah beliau ingin menikahku?”


“Owh..” aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Guru Ali adalah pemilik pesantren tempat Asty mengajar.


“Jangan ragu sayang. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padaku niat baik selalu memiliki jalannya sendiri. Sekarang kita hanya harus kuat-kuat berdoa agar Allah membuat hatinya berpihak padamu. Bahkan sekalipun ternyata nanti Si Beliau itu menolak, aku yakin itu artinya ada laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia untuk sahabatku yang cantik ini.” kataku sembari memeluknya.


“Alya makasih banget ya..” katanya membalas pelukanku.


Tiba-tiba terdengar suara cempreng Lisa, “hai semua.. wait.. apakah aku ketinggalan sesuatu?”


Aku dan Asty saling berpandangan, lalu tertawa bersama.


***

*Di Banjar para ulama maupun  pemimpin pesantren biasanya dipanggil Guru bukan Kyai seperti di tanah Jawa.

Palangkaraya
22Mei 2016
#OneDayOnePost


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...