Semangkok bakso
spesial Bu Lan selalu menjadi pilihan terbaik untuk menguraikan rasa lapar yang
ku tahan sejak mata kuliah kedua tadi. Siang ini, kantin Bu Lan yang berada
persis di belakang kampusku padat dipenuhi para mahasiswa yang sama
kelaparannya denganku.
Sambil menunggu
Asty, Lisa, dan bakso spesialku, aku
menikmati es teh favoritku. Aku sengaja memilih tempat agak di pojokan. Selain
menghindari keriuhan para mahasiswa kelaparan itu. Meja di bagian pojokan ini
juga sangat strategis untuk mendapatkan oksigen yang lebih murni dalam jumlah
lebih banyak. Di kantin ini posisi sangat penting untuk menentukan
keberlangsungan hidup kita.
Tak berapa lama
Asty pun datang, hampir bersamaan dengan pesananku.
“Mhmm, kayaknya
ada yang beda deh”, kataku menyelidik sahabat baikku yang wajahnya tampak lebih
bercahaya itu.
“Apa?” tanya Asty
sambil terus mempertahankan senyumnya.
“Kamu kebanyakan
senyum hari ini As. Kamu lagi jatuh cinta ya?” tembakku langsung.
“Uhukk”Asty yang
sedang meminum es teh tiba-tiba tersedak. Wajahnya yang merona semakin
membuatku curiga.
“Mhmm.. menurutmu
bagaimana kalau aku menikah?”
“Uhukk” sekarang
giliran aku yang tersedak. Ini anak salah sarapan atau bagaimana sih?
“Kenapa tiba-tiba
sekali?”
“Nggak tiba-tiba
kok. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku memang bercita-cita untuk menikah
di usia muda.” Katanya pelan. Wajahnya yang dibingkai hijab ungu itu terlihat
cantik sekali di mataku.
“Kamu sudah punya
calon? Siapa? Aku sama Lisa tau nggak orangnya? Anak mana? Kerja? Atau masih
kuliah?”
“Alya.. nanyanya
satu-satu dong.”katanya memprotes berondongan pertanyaanku.
“Maaf, aku
terlalu bersemangat. Selama ini kan kamu nggak pernah terlihat dekat dengan
cowok mana pun?”
“Aku memang nggak
mau pacaran. Aku percaya ada jalan lain yang lebih baik untuk mengekspresikan
cinta. Dan itu adalah dengan menikah.”
“Iya sih, tapi..
ah, sudahlah. Sekarang ceritakan padaku. Siapa laki-laki yang beruntung itu?” kataku
lagi.
“Aku belum bisa
cerita banyak. Nanti saja ya aku ceritanya.”
“Oke, setidaknya
ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu? Apa dia langsung menembakmu?"
Asty tertawa
kecil. “Ya, nggak lah Al. Aku juga baru bertemu dua kali dengan beliau.”
“Beliau? Dua
kali? Apa ini semacam love at first sight?” aku mengerenyitkan dahi. Asty
tersenyum lagi.
“Aku bahkan belum
merasa mencintainya. Aku hanya.. entah mengapa merasa begitu yakin beliau adalah laki-laki yang baik yang
bisa memimpinku, membangun sebuah rumah tangga yang diridhoi Allah.”
Mata Asty
terlihat bersinar. Di telingaku kata-kata Asty terdengar begitu idealis.Begitu indah.
“Memangnya bisa
menikah dengan laki-laki yang bahkan kamu nggak tahu bagaimana sifat dan sikap
kesehariannya? Laki-laki yang tidak kita cintai?”
“Alya sayang, aku
percaya cinta itu ditumbuhkan. Dibangun.”
“Ya.. ya..
whatever lah yang jelas aku ikut bahagia untukmu Asty sayang..” kataku sambil
memegang tangannya.
"Kamu mendukungku Al?"
"Tentu saja. Meskipun menurutku akan lebih baik kalau menyelesaikan kuliah dulu. Tapi karna kamu sudah begitu yakin apalagi yang bisa ku lakukan selain mendukungmu?"
“Makasih ya. Tapi
Al, sebenarnya aku sedikit ragu.” Kata Asty, sinar di matanya sedikit meredup.
“Loh? Kenapa
ragu?”
“Entahlah.. hanya
sedikit ragu. Jangan-jangan beliau sudah punya calon? Aku takut beliau menolak.”
“Loh, jadi kamu
yang duluan mengajukan lamaran padanya?” tanyaku takjub. Walaupun ini era
modern, dimana emansipasi wanita begitu dijunjung tinggi, tetap saja adalah hal
yang tidak biasa bagi seorang gadis untuk
mengajukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak laki-laki.
”Bukankah sudah
sewajarnya kita tidak menyia-nyiakan laki-laki
baik? Daripada keduluan perempuan lain?”
“Wuaahh.. kamu
keren sekali Asty. Bagaimana caramu melamarnya? Nggak mungkin seperti di TV-TV
itu kan?” kataku bersemangat.
“Ya nggak lah Al.
Sebenarnya nggak bisa disebut melamar juga sih. Aku meminta tolong pada Guru
Ali untuk menanyakan pada beliau apakah beliau ingin menikahku?”
“Owh..” aku
mengangguk-angguk tanda mengerti. Guru Ali adalah pemilik pesantren tempat Asty
mengajar.
“Jangan ragu
sayang. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padaku niat baik selalu memiliki
jalannya sendiri. Sekarang kita hanya harus kuat-kuat berdoa agar Allah membuat
hatinya berpihak padamu. Bahkan sekalipun ternyata nanti Si Beliau itu menolak,
aku yakin itu artinya ada laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia untuk
sahabatku yang cantik ini.” kataku sembari memeluknya.
“Alya makasih
banget ya..” katanya membalas pelukanku.
Tiba-tiba terdengar
suara cempreng Lisa, “hai semua.. wait.. apakah aku ketinggalan sesuatu?”
Aku dan Asty saling
berpandangan, lalu tertawa bersama.
***
*Di Banjar para ulama maupun pemimpin pesantren biasanya dipanggil Guru bukan Kyai seperti di tanah Jawa.
Palangkaraya
22Mei 2016
#OneDayOnePost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar