Selasa, 06 Desember 2016

Dedikasi Abadi



Nafas Rani memburu. Wajahnya memerah. Emosinya mulai terpancing ketika pendapatnya disanggah dengan kasar oleh Pak Wira, salah satu guru senior berpenampilan kaku itu. Guru yang mengampu mata pelajaran Ekonomi itu menjatuhkan tatapan mencemoohnya pada Rani yang dirasanya sebagai anak kemarin sore yang sombong.

“Ehem..” pak Agus yang juga menjabat sebagai kepala sekolah, berdehem memecah ketegangan yang tercipta diantara anak buahnya. Pada dasarnya laki-laki yang telah berprofesi sebagai guru selama 20 tahun itu menyadari bahwa apa yang dijelaskan Rani memang benar adanya. Hanya saja Ia menyayangkan sikap Rani yang terkesan grusa-grusu dan memaksa.

“Begini Bu Rani,saya paham dengan apa yang Bu Rani sampaikan barusan. Hanya saja, saya rasa kita juga tidak bisa menampik resiko yang akan kita dapatkan jika kita melakukan hal tersebut seperti yang juga telah dijelaskan oleh Pak Wira sebelumnya.” Kata Pak Agus dengan suara penuh penekanan.

“Tapi pak..” belum sempat Rani melanjutkan kalimatnya Pak Agus kembali berkata,
“Saya tidak bisa mempertaruhkan nama baik sekolah kita untuk saran Bu Rani tadi. Karenanya sebagai pemimpin di sekolah ini, saya memutuskan sistem penilaian tetap seperti tahun-tahun sebelumnya. Silahkan bagi bapak dan ibu guru mengumpulkan nilai secepatnya kepada para wali kelas.”

Rani hendak membantah kembali tapi sebuah tangan menahannya. Jam tangan hitam besar yang melingkar dengan apik itu menjelaskan bahwa pemilik tangan itu adalah Reza. Guru Olahraga yang juga satu angkatan dengannya. Rani mendapati wajah teduh milik Reza yanng memberinya isyarat untuk diam. Dengan wajah cemberut Rani pun menurut. Ahh.. ia kesal sekaligus kecewa sekali dengan keputusan kepala sekolahnya itu.

Rapat kenaikan kelas itupun berakhir setelah beberapa instruksi yang diberikan kepala sekolah. Sebagian besar guru pun berlalu meninggalkan ruang rapat. Rani mendapati beberapa tatapan aneh yang mengarah padanya. Sambil menghela napas berat ia pun mulai membereskan alat tulisnya.

“Kita makan bakso yuk..” ajak Reza dengan santainya.

Rani menatapnya kesal. Ini anak nggak tahu aku lagi sebel ya, batin Rani.

“Aku yang traktir. Lagipula motormu masih di bengkel kan?” katanya lagi. Kali ini dengan dilengkapi tatapan yang meluluhkan.  Kadang Rani berpikir betapa manipulatifnya tatapan laki-laki jangkung itu.

Ah iya.. tadi pagi ban motornya bocor dan terpaksa harus dibawa ke bengkel. Untung saja Reza lewat dan memberinya tumpangan hingga ia pun tak terlambat tiba ke sekolah. Rani menimbang-nimbang.

“Beneran mau nraktir? Hari ini rasanya aku sanggup memakan 3 mangkok bakso sekaligus.” Jawab Rani sangsi.

Reza tertawa renyah.

“Iya, kau boleh memesan sebanyak yang kau mau. Asal kau bisa menghabiskannya.” Kata Reza lagi sambil berdiri dan membawakan tas Rani yang dijejali kertas-kertas ulangan siswanya tadi pagi.

Rani mengerutkan dahinya. Bukan sekali ini saja laki-laki berdarah Banjar itu berinisiatif membawakan barang-barangnya. Rani mengangkat bahunya. Menolak ambil pusing.

***
               
Siang itu matahari bersinar begitu terik. Rani menyeruput juz alpukat favoritnya. Ahh.. rasanya segar sekali. Reza tersenyum melihatnya.

“Kenapa?” tanya Rani heran.
“Apanya?” Reza balik bertanya dengan wajah polos.

Rani menghela napas. Hadoohh.. ini orang kadang suka menguji tingkat kesabaran ya, rutuk Rani dalam hati.
“Kenapa kamu senyum-senyum sambil ngeliat aku?”  tanya Rani lagi.
“Nggak boleh ya?” goda Reza.
Rani mendengus. Percuma menjawabnya. Reza pasti akan lebih menggodanya lagi.
“Ada sisa juz di sekitar bibirmu.” Kata Reza lagi.
Rani terkejut lalu segera mengambil tisu dan mengusapnya.
“Kadang aku masih tak percaya kau ini seorang guru Rani.”
“Hey, coba lihat siapa yang mengatakan ini. Aku lebih tua 3 tahun darimu, seharusnya kau menghormati seniormu tahu?” jawab Rani setengah galak.

Reza tersenyum kembali, lalu asyik menikmati bakso pesanannya. Rani kembali mendengus tahu tak mendapatkan respon.

“Aargh.. kau sama saja seperti Pak Wira. Meremehkanku.”
“Jangan samakan kami. Aku masih muda dan lebih tampan darinya.”

Untuk pertama kalinya Rani tertawa hari itu.

“Ya, kau benar. Jangan sampai kau jadi seperti dia nanti ya. Kolot dan kaku. Apa salahnya coba kalau kita mencantumkan nilai asli siswa tanpa mengkatrolnya. Ini kan bisa menjadi pembelajaran untuk siswa agar lebih memperhatikan pelajaran mereka dan tidak meremehkan tugas yang diberikan oleh gurunya. Selama ini siswa itu keenakan karena tahu nilai di rapotnya selalu mencapai nilai KKM yang telah ditentukan meski mereka tidak belajar.” Jawab Rani pada akhirnya.

Reza tersenyum sebelum menjawab.

“Rani, mungkin memang benar akhir-akhir ini siswa kurang memperdulikan nilainya, tidak jarang mereka pun tidak mengerjakan tugas. Tapi coba kita perhatikan. Mereka seperti itu bukan tanpa alasan.”

Rani mengerenyitkan keningnya. Reza tersenyum lagi. Untuk sebuah alasan Rani mulai menyukai senyum ramah itu.

“Sekolah kita berada di desa yang cukup jauh dari kota, kesadaran akan pendidikan pun dapat dikatakan cukup rendah. Keadaan finansial mereka yang tidak menentu mengharuskan mereka untuk lebih memilih bekerja mencari uang agar mereka dapat tetap bertahan hidup ketimbang duduk diam di kelas. Setelah pulang sekolah mereka akan langsung bergegas menuju tambang-tambang emas maupun kebun-kebun karet untuk bekerja. Malamnya, mereka sudah merasa kelelahan dan tak punya tenaga lagi untuk belajar. Tak jarang pagi harinya mereka akan datang terlambat dengan mata yang masih merah. Disini tidak seperti Banjarmasin, dimana tugas siswa hanya belajar Rani. Bahkan siswa kita masih mau ke sekolah saja seharusnya kita sudah sangat bersyukur.” Jelas Reza dengan tenang.

Rani terdiam. Mendengarkan. Wajah putihnya mulai digelayuti mendung.

“Kau ini..benar-benar ya..” kata Reza gemas sambil mengacak-acak kepala Rani yang mengenakan kerudung berwarna merah muda.

Rani kaget dengan perlakuan Reza itu lalu mencak-mencak.

“Reza.. kau membuat kerudungku berantakan!! Memangnya aku kenapa coba?” katanya sembari membenarkan kerudungnya.

Reza hanya tertawa. Rani memang terbilang baru mengenakan kerudung. Saat kuliah ia hanya mengikat rambut hitam panjangnya dengan terburu-buru. Setelah tiga tahun mengumpulkan uang untuk membiayai kuliahnya ia tetap masih harus berlari-lari mengejar setiap mata kuliah diantara kerja paruh waktunya. Ia mulai memutuskan untuk mengenakan kerudung saat ia lulus tes calon pegawai negeri sipil yang diselenggarakan pemerintah provinsi tahun lalu dan ditempatkan di sekolahnya yang sekarang. Ia terbilang beruntung karena tak perlu menganggur lama setelah menyelesaikan S1-nya. Tidak seperti teman-teman seangkatannya yang lain.

Tapi sekolah penempatannya yang terbilang berada di desa kecil sedikit banyak telah mengecewakannya. Ia begitu bersemangat untuk mengaplikasikan konsep-konsep pendidikan yang telah ia dapatkan selama duduk di universitas. Hanya saja realita di lapangan ternyata begitu jauh  berbeda.

“Kau itu mudah sekali dibaca. Kau akan tertawa lepas saat bahagia. Dan cemberut saat ada hal yang tak kau senangi. Ekspresimu itu jujur sekali Rani.” Jawab Reza kemudian.

Rani melongo. Ini anak ngomong apa sih? Aneh banget.

“Mhmm.. sekarang begini coba kita pikirkan pelan-pelan jika kita mencantumkan nilai asli siswa di rapot tentunya sebagai guru kita dianggap gagal dalam mendidik siswa. Guru yang tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi yang baik. Yang nantinya juga akan berimbas pada sekolah kita. Padahal kita tahu memang siswa kita yang belum bisa menangkap pelajaran dengan baik karena keadaannya masing-masing yang belum memungkinkan.”

Rani diam mendengarkan laki-laki yang mengenakan kaus berwarna putih itu. Rani mengenal Reza saat pembekalan calon pegawai negeri sipil yang diselenggarakan pemprov setempat beberapa bulan yang lalu. Mereka satu kelompok dan menjadi dekat setelah mengetahui sama-sama berasal dari Banjarmasin. Dan ternyata mereka juga ditempatkan di sekolah yang sama.

Diam-diam Rani bersyukur punya teman di sekolah itu.

“Bukan nilainya yang penting tapi bagaimana kita menjalankan tugas untuk mendidik siswa-siswa kita dengan baik. Iya kan?” tanya Reza lagi meminta persetujuan.

Rani diam. Meski Reza lebih muda darinya. Rani tak bisa memungkiri bahwa Reza memiliki pemikiran lebih dewasa darinya. Pembawaannya tenang tak seperti Rani yang tak sabaran.

“Tapi Za, sekolah kita itu nggak bakal bisa maju kalau yang sadar tugas itu cuma guru-guru baru kayak kita. Sudahlah siswanya yang seperti kau jelaskan tadi, ditambah guru-guru senior yang kolot yang susah sekali disuruh memperbaharui pola pikir dan pembelajaran mereka, yang bahkan datang ke sekolah pun dapat dihitung dengan jari dalam sebulan. Apa lagi Pak Hery. Dia itu hanya muncul beberapa menit di sekolah setiap kali waktunya gajian.” Jawab Rani sebal.

“Iya aku pun menyayangkan sikap Pak Hery dan beberapa guru senior lainnya yang ada di sekolah kita itu. Tapi Rani, tahukah kamu istri Pak Hery menderita stroke? Sedangkan anak beliau satu-satunya sedang kuliah di Jawa. Gaji beliau sebagai PNS yang sudah dipotong setengahnya untuk membayar angsuran pinjaman bank-nya tentu tidak akan mencukupi untuk biaya sehari-hari sekaligus biaya berobat. Makanya beliau mencari pekerjaan lain dan tidak pernah ke sekolah. Dan aku percaya Kepala Sekolah kita juga tentunya mempertimbangkan keadaan beliau. Itu sebabnya beliau tidak melaporkan Pak Hery ke Diknas Kabupaten. Bukannya bersikap tidak adil. Hanya saja beliau tentu harus bijak memutuskan masalah tersebut.”

Baru kali ini Rani mendengar tentang istri Pak Hery. Ia pun menundukkan kepalanya. Merasa bersalah karena selama ini telah berprasangka buruk pada pak Hery yang dianggapnya makan gaji buta. Ahh.. ini pelik sekali, pikirnya.

***

“Waahh.. ada apa ini Bu Rani sampai bawa kue segala..” kata Pak Agus saat Rani memotong bolu gulung mocca yang sengaja dibawanya ke sekolah.
“Ahh.. nggak ada apa-apa kok pak. Semalam saya iseng buat kue ini untuk dimakan sama-sama di sini.” jawab Rani.

Sebenarnya ia sengaja membawa kue itu sebagai usahanya berbaikan dengan guru-guru yang lain terutama dengan pak Wira yang semalam dengan frontal didebatnya dalam forum rapat kenaikan kelas semalam. Setelah mendengarkan cerita Reza, Rani pun akhirnya menyadari betapa sempitnya pemikiran dan prasangkanya selama ini terhadap guru-guru senior di sekolahnya itu. Jika yang tua bisa mengayomi yang muda, bukankah sudah seharusnya yang muda berusaha memaklumi dan menghormati? Suatu hari kelak ia pun akan menua dan menjadi guru senior. Bisa jadi ia bahkan menjadi lebih keras kepala, lebih kolot dan lebih kaku dari guru-guru di sini.
Rani pun memutuskan ia akan menjadi guru yang baik untuk siswanya. Tak peduli serendah apapun nilai mereka dalam pelajarannya, ia akan tetap berusaha mengajarkan berbagai ilmu yang dimilikinya. Oh ya tentu saja berbagai hal baik lainnya. Agar kelak siswa-siswanya itu menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Itulah tekadnya saat ini. Yah.. meskipun sepertinya itu bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Tapi bukankah menjadi guru adalah sebuah everlasting dedication ? sebuah dedikasi abadi.

“Owh.. saya kira ini merayakan hari jadiannya Bu Rani dan Pak Reza..” kata kepala sekolah  yang sebentar lagi pensiun itu sambil lalu.

Wajah Rani memerah. Sedangkan Reza yang sedang duduk di kursinya, tersedak kopi yang baru saja diminumnya. Demi melihat respon keduanya Pak Agus terkekeh. Senang mendapatkan kesempatan untuk menggoda dua guru muda yang baru 6 bulan mengajar di sekolahnya itu.

“Siapa bilang pak.. kami nggak jadian kok. itu nggak benar.” Cepat-cepat Rani mengklarifikasi.

“Ahh.. benar juga nggak apa-apa kok. Kan Bu Rani sama Pak Reza masih sama-sama sendiri. Iya kan Pak Wira?” goda pak Agus lagi.

“Iya pak, benar itu. oh ya, kemaren waktu saya ke Palangkaraya sepertinya saya lihat ada yang makan bakso berdua. Siapa ya. Sepertinya asyik sekali sampai-sampai tak melihat saya lewat.” sahut pak Wira.

Tak terlihat tatapan benci maupun meremehkannya. Yang ada hanya wajah ramahnya. Ahh, Rani baru tahu kalau ternyata Pak Wira begitu mudah memaafkan dan melupakan kejadian semalam. wajah Rani semakin memerah.

“Raninya nggak mau sama saya pak..” tiba-tiba Reza menimpali. Rani melongo. Beberapa guru yang lain menatapnya geli.

Aarrgghh.. itu anak sampai kapan mau main kode-kode begitu..rutuk Rani dalam hati. Sebentar, apakah itu artinya kau bersedia mendedikasikan hidupmu untuk laki-laki itu Ran? Tanyanya lagi dalam hati.

***


Pulang Pisau


8 komentar:

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...