Sabtu, 22 Juli 2017

Perempuan Pilihan




google image



“Kenapa kau harus memikirkan ucapan mereka dan menjadi sakit hati begini?” tanyaku tak habis pikir. Aku menatapnya lamat-lamat. Perempuan berwajah oval dengan kulit putih itu menghembuskan napasnya perlahan. Beberapa anak rambutnya yang dicat merah mahogany berterbangan dipermainkan angin. Menggodaku untuk menyentuhnya.

“Apa kau pikir aku sakit hati karena ucapan mereka?”

Aku memilih diam. Setidaknya mata besar yang dilapisi contact lens turquoise-nya itu tak mampu menutupi semburat luka yang sempat terlintas. Begitu pikirku.

“Selama ini aku menjalani kehidupan yang tidak mudah. Kau tahu, saat kau tumbuh di lingkungan yang buruk, kau akan mulai belajar untuk membangun egomu. Sebagian orang mungkin akan memuji bahwa aku cantik. Tapi sebagian yang lain akan meludahiku, mengutukku, dan menginjakku tanpa alasan sama sekali. Tak apa. Aku masih bangun pagi, mengenakan make up dan tersenyum. Tak masalah. Aku bisa bertahan. Karena apa yang kulakukan adalah keinginanku sendiri. Entah menjadi penyanyi dangdut atau menjadi teman kencan pejabat-pejabat itu. Orang-orang itu menghinaku tanpa tahu siapa aku. Tapi saat aku terpuruk di titik terendah, aku dapat melihat sekeliling dengan lebih jelas. Dalam kehidupanku yang tak mudah itu, ibuku juga ada di sana.  Saat mereka meludahiku, mereka juga akan meludahi ibuku. Karenanya jika kau bersamaku, mereka juga akan meludahimu Dan. Aku tak kan bisa memamerkan senyumku jika mereka juga meludahimu.” Air mata mulai menggerlapi mata indahnya. Di telingaku suara seraknya itu seperti kalimat-kalimat tanpa titik koma, tanpa jeda, tanpa alinea. Sebuah paragraf panjang yang bahkan tanpa margin.

Kesunyian kembali menggelegar diantara kami. Aku mencintai perempuan di hadapanku itu dengan seluruh hidupku. Peduli setan kalau masyarakat menggunjingkan hubungan kami. Yang ku tahu, lesung pipit, hidung bangir dan senyum cerianya telah sempurna memikat hatiku. Sayangnya aku tak pernah tahu kalau cinta ini justru membebaninya. Hanya aku yang bahagia dengan hubungan kami. Hanya aku yang selalu berdebar setiap kali melihatnya menyambutku di depan pintu rumah kami yang berada di dekat pantai. Hingga suatu hari ia pun mengatakan, “tapi aku tak mampu lagi. Ini berat sekali untukku, Dan”

Penyesalan yang begitu pekat melingkupiku. Juga ribuan tanya yang kini menjejali kepalaku. Sejak kapan ia tak bahagia? Mengapa aku abai terhadap perasaannya? Ah, mengapa pula ia pun tak menceritakan perasaannya yang sebenarnya padaku? Bukankah menjaga rahasia terutama dari pasanganmu sendiri akan membuat hatimu menjadi berat? Bukankah ada banyak momen kebersamaan kami yang dapat dijadikannya kesempatanuntuk bercerita?

Saat kami tak pernah absen memandangi senja di pantai itu, misalnya. Atau saat hujan dan aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor, dan memiih untuk bergelung dalam selimut hangat bersamanya. Atau saat aku menemaninya menanam bunga-bunga di pekarangan sempit kami. Karena walaupun terkesan centil dan serampangan, perempuan itu pecinta bunga. Atau saat ia sedang iseng lalu menggangguku membaca buku, dengan memoles bibirku dengan lipstick merah menyala miiknya. Semua kenangan indah itupun berkelebatan di benakku.

Tiba-tiba saja aku mendapatkan sebuah pemikiran. Bahwa sesungguhnya perempuan berusia 20 tahun itu memang tidak pernah berusaha untuk memasukkanku dalam hidupnya. Bukankah aneh ia tiba-tiba menyerah setelah semua kesulitan yang kami hadapi untuk dapat bersama? Kemurkaan keluargaku  juga ibunya yang tak menyukaiku, apakah semua sebanding dengan gunjingan mengenai hubungan kami? Bukankah ia tahu ini sudah pasti bukan jalan yang mudah.

Tak ada kalimat yang mampu menahannya. Aku pun membiarkan punggungnya berlalu. Kami berpisah di tepi jalan raya yang ramai. Ia bahkan menolak saat aku menawarkan untuk mengantarnya ke rumah ibunya. Setidaknya aku berharap di perjalanan nanti aku masih bisa membujuknya untuk tidak berpisah. Sebuah dialog dengan sesama teman kantor terlintas di kepalaku.
“Apa kau tahu hal apa yang paling mudah dilakukan di dunia ini?”
“Apa?” tanyaku
“Memutuskan sebuah hubungan.”

Aku menghembuskan napas pelan, lalu meraih ponselku. Mengetik sana sini lalu mendengarkan nada sambung. Agak lama baru terdengar suara. Aku melihat perempuan itu berhenti dan membalikkan badannya.

“Hallo..”

“Maafkan aku yang telah membebanimu dengan cintaku yang mungkin terlalu besar untuk kau tanggung. Tapi jika kau berpikir aku masih bisa menjalani semuanya tanpamu, kau salah. Jaga dirimu. Hiduplah dengan baik Rika.” Kakiku mulai melangkah menuruni trotoar. Tak lama sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghampiri tubuhku. Meski ku lihat supirnya berusaha mengerem mengurangi kecepatan, semuanya terlambat.

“Braakk..”

Aku pun memeluk rasa sakit yang menjalar dengan cepat saat tubuhku terhempas. Terbayang kembali wajah mama yang berurai air mata saat aku mengatakan ingin menjalin hubungan yang serius dengan Rika, perempuan pilihanku. Juga wajah Ayah, yang mungkin terlampau terkejut dengan permintaan anak kebanggaanya. Permintaan yang harus ku bayar mahal karena ayah harus pergi untuk selamanya setelah divonis gagal jantung. Saat itu aku memang sedih, tapi aku masih mengira semua ini setimpal sebagai harga yang harus ku bayar untuk bisa hidup bersama Rika, biduan cantik dari kampung sebelah. Aku melihat Rika berlari menghampiriku. Gaun birunya berkibar, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami. Pertemuan yang membuatku merasa yakin hanya Rika lah yang bisa mengisi kekosongan hatiku, dan hanya akulah yang bisa menyelamatkan Rika dari kehidupannya yang buruk. Yang bisa membahagiakannya. Menghapus luka yang ditorehkan bapak tirinya yang suka menyiksa dan memuaskan nafsunya pada Rika. Setetes bulir air mata menyembul di sudut mataku. Hal terakhir yang ku dengar adalah suara rika yang memanggilku.

“Danishaaaaaaaaaa...”





#Tantangan Kelas Fiksi 4
Palangkaraya

8 komentar:

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...