Google Image |
“Tumben mbak Alya
yang belanja? Bu Rina kemana?” tanya bu RT pagi itu saat aku sedang sibuk memilih
sayuran segar milik Amang Anang. Penjual sayur keliling langganan. Aku tersenyum.
“Ibu lagi nggak enak
badan Bu RT. Mungkin masuk angin.” Kataku sekenanya.
“Loh, Mbak Alya.
Lama nggak keliatan. Belanja ya?” tanya Bu Nita, tetangga sebelah rumahku yang
terkenal suka bergosip. Ya iyalah aku belanja. Mang aku tampak seperti sedang
apa saat ini? Aku ngedumel dalam hati.
Well, aku memang
kurang suka berkumpul dengan para ibu-ibu ini. Mereka kepo sekali dengan semua
hal tentang keluargaku. Mungkin karena kedudukan Ayah sebagai imam masjid di kampung ini. Atau
mungkin karena ibuku yang cantik jelita itu selalu aktif di pengajian ya?
Ah,
yang jelas aku dan keluargaku kerap kali menjadi bahan pembicaraan ibu – ibu di
sini. Dari yang positif sampai yang kejam. Lebih sering yang kejam deng. Bahkan
bisa lebih kejam dari infotainment yang seliweran di TV itu.
Menurutku mereka mulai menjadi kepo-er gitu sejak kejadian 3 tahun yang lalu.
Aku ingat sekali, saat itu aku baru lulus SMA. Sedang sibuk-sibuknya mendaftar
kuliah. Ayah yang saat itu dipercaya
menjadi ketua Masjid, mengusulkan untuk melakukan renovasi besar-besaran karena
bangunan masjid yang dulu dirasa sudah terlalu tua, dan tidak lagi dapat
menampung seluruh warga kampung Kenanga yang semakin banyak.
Karena sebuah kesalahpahaman
antara Ayah dan panitia pembangunan masjid,
Ayah dikira telah menyelewengkan uang sumbangan pembangunan dari
masyarakat. Entah bagaimana tiba-tiba beritanya cepat sekali beredar. Ditambahi
di sana-sini. Dibumbui macam-macam hingga ceritanya jauh berbeda dari kejadian
yang sebenarnya.
“Wah, sok-sok aja
tuh Ayahnya jadi imam masjid. Ibunya ikut pengajian ternyata sama uang
sumbangan juga doyan.”
“Jangan-jangan
Alya bisa kuliah itu karena make uang itu.”
Kalimat-kalimat
senada juga sering ku dengar dari tetangga-tetangga yang lain. Belum lagi tatapan sinis mencemooh. Aku tak tahu.
Bagaimana cara Ayah dan Ibu menghadapi mereka yang tadinya bertetangga baik dengan kami itu, tiba-tiba terlihat
seperti monster yang mengerikan.
Beberapa warga
bahkan ada yang nekad datang ke rumah. Berniat mengusir kami dari kampung. Yah,
ini wajar. Mengingat, kita memang masayarakat yang mudah terprovokasi bukan? Mudah
disulut. Bahkan untuk sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Untungnya dengan
kewibawaan Ayah, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, situasi dapat dikendalikan
dan tidak sampai terjadi hal-hal anarkis lainnya. Meski sudah memberikan
klarifikasi, berita tersebut terlanjur menyebar dan sulit sekali meredamnya.
Karena kejadian
itu, aku sempat mendapat cap sebagai anak koruptor selama berbulan-bulan. Padahal
di mataku, ayah itu orang paling jujur yang pernah ku kenal.
Setidaknya dari
kejadian itu, aku belajar betapa sebuah bisik-bisik iseng saja bisa berubah menjadi
hal semengerikan itu.
“Eh, katanya Pak
Khalil mau nikah lo mbak Alya. Bener nggak tuh?” tiba-tiba Bu Ana yang rumahnya tepat
berhadapan dengan rumahku bertanya.
Aku kaget. Ya ampun
ibu-ibu ini. Aku geram, tapi sebisa mungkin tetap memasang wajah manisku. Alya
Adriana, kamu harus jaga image! Tekadku dalam hati.
“Oh ya? Saya
malah baru tahu bu.”
“Loh bukannya Pak
Khalil itu pacarnya mbak Alya? Tak kirain malah mau nikah sama mbak Alya!”
kejar bu Ana lagi.
Aku mulai merasa
jengah. Namun belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba bu Haryono yang suaminya
juga seorang guru di sekolah yang sama dengan kak Khalil berkata, “ Ya nggak
mungkin lah pak Khalil nikah sama Mbak Alya. Lha wong Pak Khalil itu kan sudah
PNS. Pastinya ya nyari yang sama-sama PNS. Yang dewasa. Lha sementara Mbak Alya
itu kan masih kuliah?”
Aku hanya
tersenyum kecut. Malas berkomentar. Bu Haryono memang terkenal bermulut pedas dan ceplas-ceplos.
“Amang berapa
semuanya?” Kataku sembari memperlihatkan semua belanjaanku. Aku segera
membayar. Hanya demi kesopanan, aku pun berpamitan pada kumpulan ibu-ibu itu.
Syukurlah aku
bisa cepat melarikan diri. Siapa yang tahu apa yang akan ku lakukan kalau aku
berusaha bertahan lebih lama?
Bisa nggak sih
ibu-ibu itu berhenti bergosip sebentar saja? Ya ampun memangnya mereka nggak
punya kerjaan lain ya? Ngapain kek? Belajar merajut kek sana. Lebih
menghasilkan. Lebih bermanfaat. Huh, lagian memangnya kenapa kalau dia PNS?
Memangnya apa hebatnya PNS?? Mas Prabu lebih hebat! Dia pegawai BUMN! Kataku
bersungut-sungut dalam hati. Aaargh, kenapa sih pagi ini panas banget??
***
*Amang : Paman, Paklek
Palangkaraya
#OneDayOnePost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar