Minggu, 18 Desember 2016

Daydream



           
           “Hai, bagaimana kabarmu hari ini Hyerin Ah? Yaa.. kau tahu ini hari yang indah hanya untuk berbaring disini.” Sapa Kang Hanneul sembari dengan lembut mengusap  tangan gadis yang dicintainya itu menggunakan handuk basah. Seakan tangan kekasihnya adalah sebuah porselen yang dapat pecah kapan saja jika tak diperlakukan dengan hati-hati.

          Di jari manis tangan kanan gadis yang terbaring dengan mata tertutup rapat itu melingkar sebuah cincin berbentuk mahkota pemberiannya. Ia ingat wajah bahagia gadis yang memiliki rambut hitam panjang itu saat ia melamarnya di pulau Jeju setahun yang lalu. Beberapa hari sebelum peristiwa yang membuat kekasihnya harus tertidur hingga saat ini, terjadi.

           Laki-laki bermata sendu itu menghembuskan napas perlahan. Sudah setahun ini  Ia dengan setia merawat Kim Hye Rin. Meski dokter telah menyatakan kecil kemungkinan Hye Rin untuk membuka matanya lagi dan menyarankannya untuk menyerah, ia tak pernah kehilangan keyakinannya sedikitpun.

           Selesai membersihkan tubuh Hye Rin, ia mengambil sebuah buku yang baru dibelinya di sebuah toko barang-barang antik yang dilaluinya pagi ini. Salah satu jadwal hariannya bersama Hye Rin adalah membacakannya dongeng. Hye Rin sangat suka dongeng. Karenanya ia langsung membeli buku tersebut saat melihatnya terpampang di etalase toko.

       “Baiklah aku akan mulai membacakanmu sebuah dongeng. Mhmm.. ini tentang pangeran yang mencari sang putri yang telah disembunyikan malam. Suatu hari, Sang Putri meminta Pangeran menemaninya melihat bintang-bintang di taman istana. Tapi Pangeran sedang sibuk dengan urusan kerajaannya, Sang Pangeran berkata, “pergilah lebih dulu putri, sebentar lagi aku akan menyusulmu.” Sang Putri pun pergi dengan hati tenang. Bukankah Pangeran tak pernah mengingkari janjinya? Namun, karena banyaknya hal yang harus diurus  Pangeran lupa akan janjinya. Saat pagi menjelang, Pangeran berusaha mencari Sang Putri. Namun Sang Putri tak pernah bisa ditemukan dimanapun. Ia telah diculik Sang Malam. Pangeran pun menangis dengan seluruh kesedihannya. Ia meratap “oh... putarlah kembali sang waktu. Aku menyesal. Ku mohon kembalikan Sang Putri padaku. Kumohon” Suara Kang Hanneul mulai serak. Matanya berkaca-kaca.

         Hingga saat ini, ia masih berharap apa yang menimpa kekasihnya itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Dipandanginya beberapa foto mereka berdua yang tertata apik di atas meja. Sebuah kalender meja juga pot mungil dengan selotip di sana sini ikut berjajar di sebelahnya. Kang Hanneullah yang memperbaiki pot tersebut. Ia berharap dapat memperbaiki segalanya jika ia memperbaiki pot bunga yang sedianya pecah itu.

Tak pernah satu haripun dilewatkan Kang Hanneul tanpa menyesali kegagalannya melindungi Kim Hye Rin. Sebenarnya saat itu Hye Rin memintanya untuk tetap bersamanya hingga hari pernikahan mereka. Mereka bertengkar hebat karena laki-laki itu menolak permintaan Hye Rin. Hingga tak sengaja pot mungil itu pun menjadi korban pertengkaran mereka.

Kang Hanneul menolak bukan tanpa alasan. Ia adalah salah satu anggota pasukan khusus yang ditugaskan untuk menyelidiki mafia perdagangan senjata ilegal.  Tak mungkin ia mengabaikan perintah atasanya begitu saja.

“Ku mohon Hye Rin Ah, ini penting untukku.” Katanya saat itu.

“Oppa.. apa aku tak cukup penting untukmu? Apa pernikahan kita juga tak cukup penting?” tanya Hye Rin histeris.

Ia tahu Hye Rin hanya sedang mengkhawatirkannya saja. Karenanya ia memutuskan untuk tetap pergi. Dan membuktikan pada Hye Rin ia akan baik-baik saja. 

      Benar saja, Kang Hanneul mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Transaksi perdagangan senjata ilegal itupun dapat digagalkan. Ia pulang dengan gembira, lalu memamerkan keberhasilannya pada Hye Rin tanpa tahu bahwa keesokan harinya mimpi buruk itupun dimulai.

Laki-laki yang mengenakan kemeja putih itu meremas rambutnya. Ahh.. andai saja ia tak mengambil tugas tersebut.. andai saja ia jauh lebih berhati-hati.. andai saja ia yang tertembak.. Tentu Hye Rin tidak akan terbaring koma saat ini. Ribuan pengandaian berkelabat dalam benaknya.

Kang Hanneul mengusap wajah lelahnya dengan kedua tangan. Ditutupnya buku dongeng, lalu perlahan mengecup lembut kening gadis yang amat dikasihinya itu. “Chebal.. bukalah matamu Hye Rin Ah.. sudah cukup kau menghukumku”, bisiknya dalam hati.

Ia pun berbaring dan memejamkan matanya di sebelah Hye Rin.

Tik-tok, tik-tok.

Suara detak jam yang tergantung di dinding terdengar ritmis penuh misteri.

***

“Oppa.. Oppa..”

Suara itu. Ah.. tidak. Ia pasti sedang bermimpi. Ku mohon jangan bangunkan aku, pintanya dalam hati.

“Oppa bangunlah. Ini sudah siang.”

Suara itu semakin jelas. Memaksanya untuk membuka mata. Seraut wajah dengan senyum merakah menyambutnya. Wajah itu milik Hye Rin!! Laki-laki itu langsung terbangun dan duduk sempurna.

“Hye Rin Ah, ini benar-benar kau? Kau baik-baik saja?” tanya Kang Hanneul sembari mengguncang bahu Hye Rin.

Alis hitam Hye Rin bertaut. Bingung dengan reaksi laki-laki tampan dihadapannya itu. Apa dia mabuk?

“Ya ini aku oppa. Kim.. Hye.. Rin.” Jawabnya sembari tersenyum.

Kang Hanneul segera menarik gadis itu dalam pelukannya. Tak bisa dirabanya perasaannya yang membuncah bahagia. Ini bukan mimpi, cetus benaknya. Tubuh yang dipeluknya kini benar-benar milik Hye Rin.

 “Nomu boggo shipoyo..” kata Kang Hanneul dengan nada sedih. Ia masih meleluk Hye Rin dengan erat.

“Oppa, kau kenapa? Apa kau bermimpi buruk?” tanya Hye Rin bingung.

“Ya aku bermimpi. Itu sebuah mimpi yang panjang lagi melelahkan”

Perlahan Hye Rin melepaskan pelukan Kang Hanneul.

“Jangan sedih, itu hanya mimpi. Ah, coba lihat penyergapan mafia senjata ilegal yang oppa tangani semalam masuk koran.” Kata Hye Rin sembari menyerahkan koran dengan headline besar itu. Hye Rin lalu bangkit menuju dapur.

Tunggu, 18 Desember 2015? Bukankah itu tahun lalu. Itu hari dimana peristiwa memilukan itu bermula. Kening Kang Hanneul berkerut. Dilihatnya kalender meja, sama. 18 Desember 2015. Apa ini? Kang Hanneul berpikir keras. Apa ia telah kembali ke masa lalu?

Prang..

Tiba-tiba ia dikejutkan suara pot bunga yang jatuh. Ia segera menghampiri sumber suara.

“Biyan.. aku tak sengaja menjatuhkannya.” Kata Hye Rin sambil tersenyum, malu-malu.

Kang Hanneul diam. Berpikir cepat. Berubah. Ya semuanya berubah. Potnya tidak pecah karena pertengkaran mereka. Kang Hanneul segera mengintip ke jendela. Di kenakannya jas hitamnya dengan terburu-buru.

“Ayo.. kita harus segera pergi dari sini.”

Hye Rin bingung.

“Tapi Oppa aku...”

Belum selesai kalimatnya Kang Hanneul telah menarik lengannya.

Dengan tergesa mereka pun keluar. 

“Oppa memangnya kita mau kemana?” tanya Hye Rin tak mengerti.


“Yang penting kita keluar dulu dari sini.” kata Kang Hanneul cepat. Apartemen mereka berada di lantai 5. Jika dugaannya benar. Saat ini komplotan yang mengincar nyawanya pasti sudah mulai bergerak. Dengan hati-hati ia mengintip. Benar dugaannya beberapa laki-laki bersenjata telah bersiaga di lantai bawah.

Ia berpikir keras. Kemana ia harus pergi? Ah, tangga darurat! Segera ditariknya tangan Hyerin. Ia kembali ke masa ini tentu bukan tanpa alasan. Ya, ia telah diberi kesempatan untuk mengubah takdir. Kali ini akan dipastikannya Hyerin tak terluka sedikit pun.


Derap langkah kaki yang terburu menggema. Sial!! Tangga ini pun pasti telah mereka jaga. Kang Hanneul pun segera menarik tangan Hyerin kembali. Tak ada pilihan lain. Nampaknya mereka memang harus turun menggunakan lift.

“Oppa sebenarnya ada apa ini?” tanya Hye Rin khawatir.

Pintu lift pun terbuka, mereka segera masuk. Kang Hanneul menatap Hye Rin yang bingung juga khawatir. Dipegangnya pipi Hyerin dengan tangan kanannya. Tidak.. tidak.. Sunggh aku tak sanggup mengulang semua mimpi buruk itu lagi. Menyaksikan tubuh mungil Hyerin tertembak lalu bersimbah darah, aku tak bisa!! jeritnya putus asa dalam hati.

Layar indikator menampilkan angka 3.

“Oppa..”

Angka 2.

Kang Hanneul menghembuskan napas perlahan.

“Hye Rin Ah.. hiduplah dengan baik, o? Saranghae..” kata Kang Hanneul sembari tersenyum lembut.

Pintu lift pun terbuka. Sebuah moncong pistol terulur. Dengan sigap di tariknya tubuh Hyerin.

Doorr..

Sebuah timah panas melaju, mengoyak tubuh bagian belakang, lalu terhenti tepat di jantungnya. Kang Hanneul rubuh.



Hyerin terhenyak

“Oppaaaaaaaa....” teriaknya histeris sembari menyambut tubuh Kang Hanneul yang ambruk.

Hal terakhir yang dilihat Kang Hanneul adalah wajah sedih kekasihnya. Wajah yang sama seperti saat dia menyaksikan Hye Rin tertembak sebelumnya. Ia berusaha tersenyum.

“Kwaench’ant’a... Hye Rin Ah..”

Tapi kalimat itu hanya menggema di benaknya.


***

Pulang Pisau
* Chebal : ku mohon
* Nomu boggo shipoyo : Aku sangat merindukanmu
* Kwaench’ant’a : tidak apa-apa
* Saranghae : Aku mencintaimu
           
           



Chiko Sang Pemberani



Nun jauh di ujung dunia, berdirilah sebuah kerajaan yang sangat indah. Angin bertiup pelan membawa wangi bunga yang sedang bermekaran. Karena raja memerintah dengan bijaksana, rakyatnya pun hidup dengan bahagia. Mereka selalu tersenyum dan saling menyapa mengucapkan salam.

Sang Raja memiliki seorang putera mahkota. Namanya Pangeran Matahari. Sejak kecil, Pangeran Matahari berteman dengan Chiko. Setiap pagi Chiko akan berdiri dengan gagah di atas menara kerajaan, lalu bernyanyi.

“Kukuruyuuuuuuukkk.... banguuuunnnn wahai rakyat kerajaan Aerendepia.. kukuruyuuuuuukkkkk... ayo bergegas bekerja dengan hati yang riang.” Pekik Chiko dengan senang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya yang berwarna coklat kemerahan itu.

Karena nyanyian Chiko itulah, rakyat Aerendepia tidak pernah bangun kesiangan. Pangeran Matahari sangat sayang pada sahabatnya itu. Namun suatu hari, kabut yang begitu tebal melingkupi kerajaan. Rakyat tak bisa bekerja dengan baik. Itu membuat mereka bersedih. Tak ada lagi yang tersenyum karena wajah mereka tak terlihat tertutup kabut. Mereka juga tak lagi saling menyapa karena takut.

Kerajaan pun menjadi muram. Pangeran Matahari yang baik hati pun bersedih melihat rakyatnya.

“Chiko, aku sangat sedih melihat  rakyatku tak bisa lagi tersenyum atau bekerja dengan baik. Aku ingin menghilangkan kabut itu. Maukah kau membantuku?” tanya pangeran.

“Kukuruyuuuuuuukkk....Aku akan selalu membantumu pangeran. Silahkan beri aku perintahmu. Kukuruyuuuuuuukkk....” Jawab Chiko dengan suaranya yang khas.

“Aku punya seorang sahabat. Namanya Aro, Sang Naga Angin. Ia tentu bisa membantu kita menghilangkan kabut ini. Tapi, saat ini ia sedang tertidur di hutan terdalam terjauh di atas puncak gunung bersalju itu.” kata Pangeran sambil menunjuk gunung yang menjulang tinggi di selatan kerajaan .

“Aku akan pergi ke sana dan menjemputnya Pangeran. Kukuruyuuuuuuukkk....”

“Rumah Aro dilindungi tanaman emas yang sangat beracun. Kau harus berhati-hati. Petiklah buah yang berwarna perak. Rumah Aro pasti akan terbuka untukmu. Berikan lambang kerajaan ini padanya. Ia pasti mengerti aku sedang membutuhkan pertolongannya. Dan pakailah baju zirahmu Chiko. Sebenarnya, aku ingin pergi sendiri tapi aku tak bisa meninggalkan rakyatku.”

“Baik Pangeran. Aku akan segera membawa Aro ke sini. Kukuruyuuuuuuukkk....” jawab Chiko tak kenal takut.

Maka berangkatlah Chiko menuju rumah Aro. Perjalanannya sangat sulit dan berbahaya. Tapi Chiko yang tangkas mampu melaluinya.  Hingga sampailah ia di depan sebuah rumah yang teramat besar. Rumah itu dikelilingi tanaman rambat berwarna emas. Sungguh menyilaukan.

Chiko pun mencari buah yang berwarna perak. Dengan hati-hati, ia melompati ranting demi ranting. Sesekali menyeimbangkan diri dengan mengepakkan sayapnya. Sesekali mencengkram erat dengan cakarnya yang kuat. Akhirnya ia pun dapat memetik buah tersebut.

Tiba-tiba gerbang besar rumah itu terbuka. Suara decit pintu yang besar lagi berat itu terdengar memekakkan telinga.

“Aaaaarrrrrggghhhhhhh... siapa... yang berani mengganggu tidur Aro, sang Naga Angin??” tiba-tiba sebuah suara menggelegar dengan keras disertai angin kencang.

Chiko tetap berdiri dengan kuat di tempatnya. Ia mengeluarkan lambang kerajaan pemberian pangeran.

“Kukuruyuuuuuuukkk....Wahai Aro Sang Naga Angin, aku datang sebagai utusan Pangeran Matahari yang sedang membutuhkan pertolonganmu.”

Demi melihat lambang kerajaan tersebut Aro pun segera mengetahui bahwa Pangeran Matahari sahabatnya, sedang membutuhkan pertolongannya.

“Naik ke punggungku teman kecil, kita akan segera terbang menuju kerajaan Aerendepia.”

Dengan lincah Chiko pun naik ke punggung Aro. Mencengkram salah satu sisik Aro yang berwarna biru cemerlang. Aro merentangkan sayapnya.

“Pegangan teman kecil.. jangan sampai kau terjatuh.” Kata Aro sebelum terbang.

Chiko mendengus sebal.

“Jangan meremehkanku. Kukuruyuuuuuuukkk....” Teriaknya.

Akhirnya mereka pun terbang melintasi hutan. Sebentar saja mereka telah sampai di kerajaan Aerendepia. Pangeran Matahari menyambut Chiko dan Aro dengan bahagia. Dimintanya Aro untuk mengepakkan sayapnya agar kabut yang melingkupi kerajaannya menghilang.

Aro pun mengepakkan sayapnya. Dan voila.. kabut pun sirna. Rakyat dapat kembali melihat satu sama lain. Mereka tertawa bahagia. Pangeran berterimakasih kepada Aro.

“Berterima kasihlah pada teman kecilmu yang gagah berani itu pangeran.. karena dialah aku bisa membantumu sekarang ini.” jawab Aro.

Pangeran pun berterimakasih pada Chiko dan memberinya memberinya gelar ‘Sang Pemberani’. Chiko sangat senang dengan gelarnya.

“Kukuruyuuuuuuukkk.... akulah Chiko Sang Pemberani dari Kerajaan Arendipia.. “ serunya riang.
Kerajaan Arendepia pun hidup bahagia selamanya.
 
Pulang Pisau

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...