Sabtu, 20 Agustus 2016

Tiga Tetes Darah



Aku sedang tidak punya ide mau menulis apa. Juga sedang tidak berselera membaca buku apapun. Akhirnya ku pun memutuskan untuk menonton drama korea hasil menjelajah hardisk milik seorang teman (ketahuan deh gue drakor lover.. wkwkwkwk). Biasanya aku menonton drama dimana aku mengetahui (minimal tahu namanya lah) pemain utamanya. Tapi akhir-akhir ini aku jarang update tentang dunia drakor, so, aku menonton drakor apa saja yang bisa ku dapatkan meski aku tak tahu siapa pemainnya maupun sinopsis ceritanya.

Nah, drakor yang sedang ku tonton ini berjudul Vampire Detective (2016). Dari judulnya bisa dikira-kira dong ini drama tentang apaan. Ya walaupun itu detektif sebenarnya jadi vampire bukan karena digigit lehernya sih.well, aku nggak akan membahas tentang drakornya. Sometimes kalo aku lagi rajin akan ku buat blog post khusus tentang sinopsisnya ya.. seperti yang kita ketahui bersama, vampire itu makanan pokoknya adalah darah.

Karenanya, drama Korea Vampire Detective ini mengingatkanku pada sebuah dongeng yang pernah ku baca di sebuah majalah anak-anak tua di perpustakaan SD ku dulu. Ajaib sekali kan bagaimana caraku mengingat hal semacam itu sampai saat ini?

Perpustakaan itu sangat berantakan, jadi aku dan teman-temanku yang saat itu duduk di kelas empat diminta untuk membersihkannya. Bukannya membersihkan aku malah asyik sendiri membaca sebuah dongeng yang judulnya cukup menarik. Tiga Tetes Darah (kalau nggak salah sih gitu..^_^).
Dongeng itu menceritakan tentang seorang perempuan yang rela berkorban untuk kekasihnya (ya ampun bacaanku waktu kelas 4 SD serem ya.. hahaha). Pada intinya gadis itu menggantikan si kekasih yang seharusnya meninggal. Dia membuat perjanjian untuk menghidupkan kembali kekasihnya (aku lupa dia bikin perjanjiannya sama siapa ya?).

Nah, dalam perjanjian itu si gadis diminta memberikan tiga tetes darahnya. Si gadis setuju. Setelah memberikan tiga tetes darah itu sang kekasih pun hidup kembali. Sebelum pergi untuk selamanya, si gadis meminta agar diperbolehkan menemui kekasihnya. Tentu kekasihku akan bersedih ketika ia hidup kembali, sedang aku tak ada bersamanya, pikir gadis tersebut. Maka pergilah si gadis menemui kekasihnya, pujaan hatinya.

Betapa kagetnya gadis itu. Bukanya bersedih atau menangisinya, laki-laki itu malah asyik sama perempuan lain. Melupakan pengorbanan sang gadis. Sang gadis pun murka dan meminta agar pertukaran tiga tetes darahnya dikembalikan. Lalu sang gadis pun kembali menjadi manusia. Sedangkan kekasihnya itu menjadi seekor hewan yang berkeliaran di malam hari sambil mencari tiga tetes darah yang dibutuhkannya untuk kembali menjadi manusia.

Dulu aku sempat percaya loh itulah alasan kenapa nyamuk itu menghisap darah. Lalu kemudian aku mendapati sebuah konsep yang menghancurkan teori itu. Bahwa ternyata yang menghisap darah hanyalah nyamuk betina. Hahaha yah, pada intinya kesimpulan moral yang bisa kita ambil dari dongeng tersebut adalah jangan berkorban demi cowok rese!!!  Hehehe peace...

#OneDayOnePost
Palangkaraya
20 Agustus 2016

Rabu, 17 Agustus 2016

Mempertanyakan Nasionalisme


 
Google Image
     

  
     Agustus selalu menjadi bulan yang begitu istimewa, begitu sakral bagi seluruh rakyat indonesia. Pasalnya 71 tahun lalu, pada tanggal 17 bulan inilah, bangsa ini mengikrarkan diri. Melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat atas wilayah nya. Berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka. 
 
     Mengingat begitu panjangnya perjuangan para pahlawan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa ini, sudah sewajarnyalah rakyat indonesia begitu gembira setiap merayakan hari kemerdekaan. Bendera dikibarkan.Umbul-umbul dipasang. Ornamen-ornamen bernuansa merah putih pun turut menghiasi . Tentunya tidak ketinggalan, lomba-lomba yang diadakan guna menyemarakkan kemeriahan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.

     Seluruh bangsa bersuka cita. Larut dalam kebahagiaan. Meskipun, waktu kecil aku benar-benar tak mengerti apa hubungan menggigit sendok yang diatasnya telah diletakkan kelereng dengan perjuangan kemeredekaan Indonesia yang terdengar penuh aksi heroik yang mengharukan itu. 

     “Ini nasionalisme!” seru orang-orang dewasa.

     Tentu saja, saat itu saya tidak mengerti apa itu nasionalisme. Lalu terendaplah kata itu di dasar pikiran. 

    Kini, berpuluh tahun kemudian, terdengarlah kabar bahwa Presiden Joko Widodo memberhentikan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, yang juga merupakan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), Arcandra Tahar. Pemberhentian ini menyusul isu dwi kewarganegaraan yang dimilikinya. 

      Kemudian polemik kewarganegaraan ini juga dialami Gloria, seorang siswi SMA di Depok yang gagal menjadi pasukan Paskibraka dalam perhelatan akbar perayaan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Merdeka, karena diketahui memiliki paspor Perancis. Meski kabarnya sore ini Gloria telah mendapatkan izin dari Presiden untuk upacara penurunan bendera.

    Lalu tiba-tiba, banyak yang berkomentar tentang nasionalisme terkait dua kasus di atas. Sebenarnya apakah nasionalisme itu? Terlepas dari semua isu yang berkembang terkait kasus ini, menurut saya pribadi, rasanya tidak adil sekali melihat seorang anak bangsa tak dapat membaktikan dirinya pada Ibu Pertiwi karena terganjal kewarganegaraan. 

     Di luar sana ada banyak anak bangsa yang terpaksa beralih kewarganegaraan karena berbagai alasan. Bukan karena sekedar ‘ingin’. Meski demikian, banyak diatara mereka yang tetap merasa masih memiliki ikatan dengan Indonesia. Mereka berkumpul, berkomunitas, lalu menggelar atau menghadiri acara-acara yang berbau ke-Indonesia-an.  Tak bisa kah ini disebut sebagai nasionalisme?
Semoga pemerintah segera memiliki solusi untuk masalah ini hingga di masa yang akan datang tak ada lagi Archandra Tahar maupun Gloria lainnya. Dengan semangat kemerdekaan, mari membaktikan diri kepada negeri dengan prestasi.

Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia.


#ALUMNI_SEKOLAHPEREMPUAN
Palangkaraya
17 Agustus 2016


Selasa, 16 Agustus 2016

Pada Hari Rabu

Ini hari rabu..
Adakah kau tahu?
Bahwa aku merindu..
Wangi menggoda putu ayu..
Yang pernah ku nikmati bersamamu..
Di hari minggu yang lalu..

Duhai, apakah kau tahu?
Aku sedang memeluk kisahmu..
Adakah kau rindu padaku?
Aku merayumu..
Tapi tak laku..
Ah, sepertinya aku menjelma si dungu..
hingga tak mau tahu..
Bahwa kau tak suka aku..
Aku malu..
Pada dirimu..
Pada si putu ayu..

Ahh.. sungguh terlalu..
Hatiku pun pilu..
Dan mengharu biru..
Sungguh teganya dirimu..
Pada hari rabu..
Inilah ceritaku..



#OneDayOnePost
Palangkara

Senin, 15 Agustus 2016

Tangan Kasar Anakku



             

   Aku punya seorang anak. Siswa maksudnya (aku suka memanggil mereka dengan sebutan anak). Dia sudah lulus 2 tahun yang lalu. Sejak lama, aku sudah berusaha menghubunginya. Mencoba menelponya. Menghubunginya via sosial media. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Ia seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Bukannya apa-apa sih. Alasan mengapa aku begitu ngotot mencarinya adalah dia belum mengambil ijazah juga SKHUN-nya. 

             Lalu aku pun bertanya pada teman-temannya tentang keberadaannya. Mereka hanya menjawab, “sepertinya dia di hulu bu.” 

             Hulu adalah nama lain dari kabupaten Gunung Mas yang menjadi daerah hulu sungai Kahayan. Seperti yang pernah ku tulis pada post blog sebelumnya, Sungai Kahayan merupakan sungai dengan panjang 600 km yang membelah Provinsi Kalimantan Tengah. Melewati tiga kabupaten, yaitu kabupaten Gunung Mas, kota Palangkaraya, dan kabupaten Pulang Pisau lalu bermuara di Laut Jawa.

             Sudah jamak diketahui bahwa hulu sungai Kahayan merupakan sumber penghasil emas terbesar di Kalimantan Tengah. Mungkin itulah asal usul dari penamaan kabupaten Gunung Mas. Maka, pahamlah aku, anakku yang satu itu tentu ikut menambang emas di sana.

Hari berlalu, bulan berganti. Tak disangka-sangka. Hari ini dia datang ke sekolah. Hendak mengambil ijazahnya. Kulitnya lebih coklat dari yang terakhir kali aku melihatnya. Tubuhnya juga agak kurusan. Dia menyalamiku sambil tersenyum manis. 

“Apa kabar bu?” tanyanya padaku.

Aku pun menyambut uluran tangannya. Tangannya kasar sekali, batinku.

“Ya ampun, kamu dari mana aja? Ibu nyari-nyari kamu loh.” Jawabku.

Ia tertawa kecil. Memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi.

“Maaf bu saya baru datang. Saya kerja. Nambang emas di hulu.” Katanya 

“Owh, iya. Terus setelah ini kamu mau kerja lagi?” tanyaku.

“Nggak bu. Uang saya sudah cukup. Saya mau kuliah.” Jawabnya dengan mantap.

Aku kaget lalu dengan segera mengagumi semangatnya. Bahwa betapapun sulitnya kehidupannya ia tetap tegak dan berusaha menghadapinya. Bahwa tak peduli betapa pun kasarnya tangannya, ia tetap menolak untuk menyerah pada cita-citanya. Meskipun teman-temanya sudah berlari lebih dulu dua tahun yang lalu, ia tetap berlari sekuat hati.

Ah, nak.. terima kasih. Tangan kasarmu telah memberi ibu pembelajaran baru hari ini. Semoga semua kebaikan terlimpah untukmu. ^_^


#OneDayOnePost
#Yukngbloglagi
Palangkaraya
15 Agustus 2016



Minggu, 14 Agustus 2016

Kaulah ayah..

Google image

Kaulah ayah..
Seumpama langit..
Tinggi memayungi..
Hebat tak tertandingi..
Untuk keluargamamu..


Kaulah ayah...
Seumpama udara..
Seumpama cahaya..
Seumpama bumi..

Kaulah ayah..



#ODOP
#Palangkaraya

Sabtu, 13 Agustus 2016

Lelaki Beraroma Kopi





“Wuaahh.. ternyata ada sebanyak itu ya?” kataku takjub. Mataku membulat.

Kening Dewa berkerut, heran. 

“Yaa.. Selama ini ku pikir kopi itu hanya ada dua jenis.” Sambungku lagi sambil mengangkat bahu.

“Oh, memang selama ini yang lebih umum dikenal masyarakat  hanya kopi arabika dan kopi robusta.” Sahut laki-laki jangkung bermata indah di hadapanku itu.

“Bukan itu maksudku.” Jawabku sembari memnyeruput kopi pesananku. Aku mengerenyit sedikit ketika pahitnya kopi menyentuh lidahku.

“Lalu apa?” tanya laki-laki itu lagi. 

Aku terdiam sejenak. Mempertimbangkan. 

“Mhmm.. selama ini ku pikir kopi itu hanya ada dua. Kopi hitam sama kopi susu.” Jawabku pelan. 

Sedetik, dua detik. “Huwahahahahahahaha...” ia terbahak-bahak. Kemudian memegangi perutnya. 

Seketika wajahku memerah bak tomat matang. Segera saja aku menyesali keputusanku. Ku edarkan pandangan. Para pengunjung kafe yang tadinya asik dengan dunianya masing-masing itu nampak terkejut dan langsung memperhatikan kami. 

“Eh, Dewa.. ssstt.. diem..kita diliatin tuh.” 

Sayangnya Dewa tak mendengarku dan tetap tertawa. Aku pun menundukkan kepala. Berusaha menutupi wajah dengan rambut panjangku. Tak sia-sia aku memelihara rambut panjangku selama ini.  tak lama. Karena ternyata aku lebih suka melihat laki-laki itu tertawa. Aku pun ikut tertawa. Dan aku pun mulai menyadari, ini adalah pertama kalinya aku bisa tertawa lepas sejak kejadian itu.

Tiba-tiba, seorang perempuan berpakaian formal, datang menghampiri meja kami. Diletakkannya beberapa cup kopi yang dibawanya di atas meja kami. Lalu ia pun mengalihkan pandangannya padaku,

“Ayu kan?” tanyanya.

Dewa menghentikan tawanya dan memandang perempuan itu. Aku mengerenyitkan kening. Berpikir. Wajahnya seakan tak asing. Tapi otakku tak memberikan sebuah nama pun.

“Iya.” Kataku sembari tersenyum kaku.

“Lupa ya? Aku Iren. Kita satu tim waktu olimpiade fisika. Mewakili SMADA.” Jelasnya dengan mata berbinar.

Mendengarnya, otakku langsung menampilkan fragmen-fragmen kebersamaanku dengan perempuan itu 12 tahun yang lalu.

“Ah iya.. apa kabar Iren?” kataku sembari memeluknya hangat. Selalu menyenangkan bertemu sahabat lama.

“Wah.. ternyata setelah menikah kamu nggak berubah ya? Tetap cantik. Aduh, maaf ya? Kemaren aku nggak bisa dateng. Pas androidku juga lagi eror, jadi nggak bisa ngasih kabar. Ini suamimu ya?” tanya Iren sembari menyodorkan tangannya pada Dewa.

Dewa semakin bingung tapi tak urung menjabat tangan Iren. Seketika wajahku kaku. Tak tahu harus memasang ekspresi macam apa.

“Bukan, dia temanku,” kataku pendek sembari tersenyum. Mencoba semanis mungkin. Walaupun aku yakin hasilnya adalah senyum aneh.

“Iren,” seorang teman yang ku kenali sebagai teman satu kelasku saat SMA dulu, menepuk bahu Iren. Aku mengenalnya sebagai ratu gosip di grup alumni kami.

“Maaf ya Yu. Kami duluan.”katanya sembari menarik tangan Iren untuk segera pergi.

“Kenapa sih Nit, aku masih mau ngobrol sama Ayu.” Kata Iren berusaha bertahan.

Nita berbisik pelan, “pernikahannya dibatalkan”. Lalu mendelikkan matanya, memberi isyarat yang artinya “nanti ku jelaskan dan sekarang ayo cepat pergi”.

***

Saat itu sebenarnya aku sedang dipingit di rumah. Tidak boleh keluar. Pamali, kata Ibuk. Tapi Mas Arya mengirimiku pesan singkat untuk  bertemu di sebuah restauran tempat kami biasa menghabiskaan waktu bersama.  Ku pikir tadinya ada masalah dengan reservasi gedungnya. Ah, sepertinya kami salah menentukan tanggal.

“Aduh maaf mas, jalan macet banget, karena festival. Mana tadi sempat ngeyel-ngeyelan dulu sama Ibuk. Kata Ibuk nggak ilok calon pengantin keluar sehari sebelum acara. Udah lama ya mas nunggunya?” Tanyaku sembari menyeruput Latte yang telah dipesankan Mas Arya sebelumnya.

“Enggak kok,” Mas Arya tersenyum tipis.

“Ada apa mas? Gedungnya udah oke kan? Apa ganti? Apa karena desain pelaminannya?” tanyaku tak sabar.

Untuk sejenak Mas Arya terdiam. Aku merasa diliputi keheningan yang aneh.

“Maaf, tapi aku tidak bisa menikah denganmu Yu.” Kata Mas  Arya pelan.

Aku seakan tak dapat mempercayai apa yang baru saja ku dengar.  Tetiba saja otakku lumpuh tak mampu mencerna. Untuk beberapa lama kami terdiam.

“Tt..Tapi kenapa? Bagaimana bisa mas membatalkan pernikahan kita sehari sebelum acara? Jangan becanda!! Ini nggak lucu mas!!“ tanyaku nyaris histeris.

Dengan wajah datar, laki-laki berkaca mata itu menjawab, “Maaf, tapi aku memang tak bisa menikah denganmu. Aku tidak suka caramu  tersenyum.”

Aku terperangah. Lalu untuk beberapa saat aku menyadari, aku tak bisa melakukan apapun untuk mengubah keputusannya. Aku pun beranjak pergi. Setiap langkah yang memberi jarak di antara kami, aku berharap ia akan memanggil namaku. Atau mengejarku, memelukku, dan meminta maaf telah bercanda seperti itu. Aku berharap ini semua tidak nyata. Tapi tak ada suara yang memanggil. Tak ada langkah kaki yang mengejar.

Bagai kehilangan seluruh kekuatan, di depan kafe aku pun terduduk lemas dan menepuk-nepuk dada. Berharap rasa sesaknya sedikit menghilang.  Aku baru tahu, bahkan bernapas pun bisa sedemikian menyakitkan. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Hatiku terlalu hancur untuk menangis.Tak ku pedulikan tatapan aneh para pejalan kaki siang itu. Mereka tak kan mengerti apa yang ku rasakan saat ini. Tak kan pernah bisa. Aku gemetar dalam ketakutan. Aku baru saja mati, pikirku.

Setelahnya, duniaku menikung tak terkendali. Mimpi-mimpi terburuk membekapku. Memberitahukan pembatalan pernikahan itu kepada keluarga besar sendiri sudah merupakan hal yang tersulit. Ibuk pingsan. Pakde dan Bude meradang, mengancam untuk menyeret Mas Arya apapun yang terjadi. Mengkonfirmasi kepada semua teman dan sahabat yang telah menerima undangan juga sangat melelahkan. Semua orang selalu bertanya. Berusaha mencari tahu. Yang bagiku serasa menabur garam di atas lukaku. Berhari-hari kemudian, telpon rumahku tak berhenti berdering. Buket mawar putih cantikku pun teronggok sia-sia di sudut kamar. Layu. Lalu mengering.

Untuk berbulan-bulan, aku dan ibuk menjadi buah bibir. Jadi bahan pergunjingan, tertawaan, cemoohan, ibu-ibu sekomplek.

“Umurnya tak lagi muda. Dia pasti jadi perawan tua.”

“Kasian ya..”

“Kenapa kasian? Kalau sampai pernikahan mereka dibatalkan itu artinya si Ayu itu ada apa-apanya. Pasti ada sesuatu yang membuat pihak laki-lakinya membatalkan pernikahan sehari sebelumnya.”

“Oh iya ya.. jangan-jangan karna....”

Begitu seterusnya hingga kabar yang beredar sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa mereka justru menyalahkanku? Padahal jelas-jelas akulah korbannya. Di kantor pun tak jauh beda. Ada yang memandangiku dengan kasihan, lalu berbisik-bisik dibelakangku. Di group-grup alumni. Ada yang bersimpati, lalu menyesalkan semua yang terjadi. Ada yang merasa bingung dengan pembatalan tersebut lalu mencemooh. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya, aku tak lagi punya tempat.

Ibuk terlihat begitu tertekan. Aku pun sibuk  menyembunyikan lukaku. Mengangguk pada setiap kata penghiburan yang anehnya dengan mendengarnya sering kali aku justru lebih merasa sakit. Memasang senyum palsu. Hingga akhirnya aku benar-benar tak lagi tersenyum. Hatiku mati.

***

Bumi sendu. Langit Kelabu. Satu demi satu bulir air mata langit berlompatan. Orang-orang di sekitarku mulai membuka payungnya. Beberpa berlari mencari tempat berteduh. Tapi aku tetap berjalan dengan pandangan kosong. Pertemuanku yang tak terduga dengan Iren tadi telah berhasil menarikku kembali pada sebuah kenyataan. Bahwa aku adalah seorang perempuan yang tidak diinginkan. Tidak cukup berharga untuk dinikahi. Seorang perempuan yang bahkan senyumku pun membuat orang yang ku cintai pergi. Meninggalkanku. Sehari sebelum pernikahan kami.

Ku pikir sekarang aku sudah jauh lebih kuat, ku pikir aku tak lagi tersakiti. Ku pikir ini saatnya aku mulai menata hidupku lagi. Apalagi kedekatanku dengan Dewa beberapa minggu terakhir ini memang sempat mengalihkan duniaku. Tapi nyatanya, hanya karena satu pertanyaan saja, aku kembali jatuh. Apa yang sedang dipikirkan Mas Arya sekarang? Apa dia juga terluka sepertiku? Apakah dia bisa hidup dengan baik? Apa dia menangis? Ku harap dia menangis kesakitan. Ah, seharusnya aku menghajarnya. Atau setidaknya mendaratkan satu tamparan di wajahnya. Sudah sebelas bulan berlalu,  tapi luka dan sakitnya seakan masih segar di hatiku. Di ingatanku.

“Yu.. Ayu.. Ayu..”

Sepertinya ada yang memanggilku. Tapi bagiku terdengar terlalu samar.  Tiba-tiba seorang lelaki jangkung menghadangku. Memayungiku dengan jaketnya. “Apa yang kau lakukan? Hujannya akan semakin lebat.” Katanya khawatir.

Aku kenal wajahnya. Itu wajah Dewa. Tapi lagi-lagi aku hanya diam, menatapnya dengan tatapan kosong. Tanpa perlawanan dituntunnya aku masuk ke mobilnya. Benarlah, hujan pun turun menumpahkan berjuta-juta titik air. Selama perjalanan, aku terus memandangi titik-titik air yang jatuh pada sisi jendela, hingga tak menyadari mobil telah berhenti di depan sebuah rumah bergaya minimalis. Dewa membukakan pintu. Aku keluar dengan diam. Nampaknya hanya gerimis kecil yang menyentuh kawasan perumahan ini.

Aku melihat rumah berlantai dua yang memiliki taman kecil yang cantik di hadapanku itu. Ah, ini bukan rumahku. Aku pun berbalik hendak pergi. Dewa menarik tanganku.

“Masuklah dulu..” pintanya.

Aku masih diam. Dibawanya aku memasuki rumah itu, melewati ruang tamu dengan sofa besar berwarna putih. Lalu ruang tengah yang dihiasi sebuah lukisan sembilan ekor ikan koi dengan latar gradasi warna merah dan kuning. Lalu dapur yang juga bertema minimalis dengan aksen warna perpaduan hitam dan putih.

“Duduklah di sini.” katanya sembari mendudukkanku.  Aku menurut. Ia pun pergi. Menaiki tangga  yang berada di sudut ruangan. Aku menghembuskan napas berat. Tak lama, Dewa kembali membawa sebuah handuk putih besar dan menyelimutiku.

“Keringkan rambutmu. Kau bisa kena flu nanti.” Handuk itu menyeruakkan aroma maskulin. Aku tersadar.

“Sebaiknya aku pulang saja.” Kataku sembari hendak menarik handuk itu.

“Akhirnya kau bicara juga. Aku sudah takut kalau kau kehilangan kemampuan berbicaramu secara permanen.” Jawab Dewa sambil mengerlingkan matanya. Menggodaku. Aku tersenyum mendengarnya.

“Aku akan membuatkanmu kopi. Kau belum pernah dibuatkan kopi oleh pemilik kafe yang tampan sepertiku kan?”

Aku pun tersenyum lagi. Urung beranjak pergi.

“Kopi apa? Kalau kopi sachet aku punya banyak di rumah.” sahutku.

Dewa tersenyum. Memang terlihat tampan, batinku. Laki-laki berdarah Jawa - Jepang- Jerman itu memiliki garis dagu yang tegas juga sepasang mata yang indah.

“Bukanlah. Ini spesial. Salah satu kopi favoritku. Cita rasanya khas dan unik. Kopi Kalosi. Temanku dari Makassar yang membawakannya. Dipetik langsung dari perkebunan di Bone – Bone. Sebuah desa di kaki pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan.” Jelasnya panjang lebar sembari menyeduh kopi.

“Seperti yang ku ceritakan di kafe tadi, sebenarnya Indonesia ini memiliki banyak jenis kopi yang mendunia. Kau tahu, kopi ini pernah ditetapkan sebagai kopi Arabika terbaik nasional, loh.” Sambungnya lagi.

Ah, mendengarkannya berbicara tentang kopi selalu menarik. Sebulan yang lalu, aku bertemu Dewa pertama kali di kafe D’ Secret Of Coffee. Katanya, kafe itu menjual biji kopi asli Indonesia. Desain interiornya yang mengusung kehangatan dan kenyamanan seperti sebuah rumah, membuat kafe itu selalu dipadati pengunjung. Mana aku peduli, rutukku dalam hati. Aku masih sangat mengantuk pagi itu. dan yang kubutuhkan hanyalah segelas kafein agar bisa memaksa mataku tetap terbuka. Karenanya, aku mampir ke kafe yang searah dengan kantorku itu.  Belakangan ini baru aku tahu kafe itu adalah miliknya. Kalau saja saat itu aku tak menabrak dan menumpahkan kopiku ke kemeja putihnya, mungkin aku takkan berteman baik dengannya seperti sekarang ini.

“Oke, kopinya sudah siap. Silahkan nona,” katanya lagi sembari menyodorkan secangkir kopi beraroma menggoda.

Aku tersenyum lagi.

“Kau cantik kalau tersenyum.” Katanya lagi.

Aku terperanjat. Lalu melihat ke dalam mata obsidiannya. Mata itu menyiratkan kejujuran. 

“Hanya dirimu yang beranggapan seperti itu.” jawabku sembari hendak meminum kopi yang disodorkannya itu.

“Hei, hati-hati itu masih panas.”pekik Dewa. Terlambat.

“Ssshh..” aku mengerenyit. Panas kopi telah menyakiti indera perasaku. Lidahku mati rasa. Buru-buru ku letakkan kopi itu.

“Kau tidak fokus Ayu! Kau tak apa?” tanyanya khawatir sembari menyentuh bahuku. Aku bertanya-tanya sejak kapan posisi kami sedekat ini.

“Iya, aku tak apa. Mungkin sebenarnya aku lebih membutuhkan air mineral  ketimbang kopi.” Candaku sembari menarik tubuhku. Menciptakan jarak.

Dewa mengerti. Ia pun duduk di kursi sebelahku.

“Seperti kopi, hidup juga punya sisi pahitnya. Kita tidak bisa menikmati kopi jika diminum terburu-buru seperti tadi. Itu hanya akan menyakiti kita sendiri. Kita juga tak perlu menahannya lama-lama di mulut. Karena itu hanya akan membuat kita merasakan kepahitan. Kita harus menyeruputnya perlahan-lahan, lalu membiarkannya mengaliri tenggorokan untuk merasakan manisnya. Hanya karena warnanya yang hitam pekat, kita juga tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu yang selalu tidak baik. Pun demikian halnya dengan kehidupan. Jangan menyimpan lukamu, Yu. Jangan menyesali yang telah pergi” Kata Dewa sembari meminum kopinya perlahan-lahan.

Tanpa izin, air mataku pun mulai menganak sungai. Aku menghapusnya.

“Aneh, kenapa aku menangis? Biasanya aku tak secengeng ini.” Isakku sembari tersenyum.

Tiba-tiba Dewa menarikku dalam pelukannya. “Tak apa.. Kau boleh menangis.Tak apa.. Menangislah sepuasnya. Lalu berbahagialah bersamaku.” Bisiknya lembut sembari mengelus rambutku.

          Seperti anak kecil yang terluka, aku pun menangis sesunggakan dalam pelukannya. Aroma kopi menyeruak dari tubuhnya. Cahaya senja masuk melalui jendela-jendela berkaca bening.

***





#Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan  oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
#Palangkaraya
13 Agustus 2016

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...