Senin, 23 Januari 2017

Musim Gugur Terakhir Di Manhattan



Judul Buku     : Musim Gugur Terakhir Di 
                           Manhattan
Penulis             : Julie Nava
Penerbit          : Lingkar Pena Publishing House
Tahun Terbit    : 2011
Cetakan            : Ke-1



“Kau tidak mencintainya bukan?Aku bisa melihatnya di matamu. Kenapa kau lakukan itu kepadanya? Aku tidak tega melihatnya menjadi korbanmu.”
“Korban? Tidak ada yang menjadi korban di sini. kau pikir dia tidak sedang memanfaatkanku juga? Dia menerimaku karena ingin melengkapi statusnya semata.”

            Novel besutan penulis yang kini menetap di Michigan Amerika Serikat ini, bercerita tentang Rosita Priyatna yang meninggalkan kampungnya di Suka Bumi, setelah cintanya dipatahkan oleh Hans. Kekasih tercintanya yang dengan tega membiarkannya duduk sendirian di pelaminan. Namun kehidupannya di Jakarta pun masih terlalu riuh untuknya. Ia tak tahan dengan lingkungannya yang gemar bergunjing, kasak-kusuk, dan senang mengintip urusan orang lain. Karenanya ia pun memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan yang membawanya jauh dari itu semua. Kini ia pun telah menjelma menjadi seorang wanita karir yang cerdas juga ulet yang bekerja sebagai finnacial planner di sebuah perusahaan investasi di Wall Street, Amerika.

            Desakan usia, tuntutan keluarga, dan trauma karena pernah gagal menikah membuat Rosie tanpa berpikir panjang menerima pinangan seorang mualaf yang bernama Anthony Luizzo. Pria Amerika berdarah Italia yang juga seorang bankir muda yang sukses.

            Sayangnya, rencana pernikahan mereka mengalami berbagai kendala dari keluarga besar Tony. Marco, adik Tony juga kerap mempengaruhi hati Rosie.  Karenanya rencana pernikahan mereka pun kandas di tengah jalan. Meski di sisi lain, baik Rosie maupun Tony sama-sama mengerti bahwa pada dasarnya niat mereka yang tidak tulus lah yang membuat mereka begitu mudah untuk goyah.

            Namun meski demikian ,kebersamaan mereka yang tidak lama itu ternyata telah menumbuhkan cinta di yang cukup dalam di hati mereka. Meski telah berpisah, mereka masih memiliki harapan yang teramat sangat untuk bersama kembali.

            Karenanya kisah bersetting Chicago dan Manhattan ini akan mengajak kita untuk mencari kesejatian cinta yang melintasi batas teritori dan budaya.

Orang-orang Italia memuja cinta melebihi segalanya dan mereka memiliki kosa kata yang begitu dalam dan dahsyat untuk mengungkapkannya. Ti amo adalah hasrat, rindu, gairah, dan keinginan untuk selamanya bersatu. (hal. 308)


            *Pulang Pisau

Jingganya Gilang



                “Hai, nama aku dong Gilang.” Kata anak laki-laki yang masih menggunakan seragam putih abu-abu di hadapanku itu dengan gaya slnge’an. Ia tersenyum. Sebenarnya dia nampak manis dengan lesung pipi yang menghiasi senyumnya itu. Nggak kalah lah sama Afgan. Gigi putihnya rapat berbaris. Sebentar apa itu cabe ya? Yang terselip di antar gigiya.

                Aku mengerenyitkan dahi, apa karena sekarang cabe lagi mahal ya, makanya dengan bangganya ia memamerkan cabe yang ada di giginya itu. Aku tertawa.

                “Hai, aku Jingga.” Jawabku.

                “Aku tahu kok.” sahut Gilang cuek.

                “Lha?”

                “Aku sudah tahu namamu. Tapi aku yakin sekali kamu pasti belum tahu namaku kan? Makanya aku memperkenalkan diriku.”

                Aku pun  mengangguk-angguk.

                “Lalu, kalau aku sudah tahu namamu kenapa?” tanyaku lagi.

                “Lihat, aku baru saja membeli ini.” kata Gilang sembari memperlihatkan benda yang dibawanya. What the.. itu sikat gigi???

                “Terus?”

                “Tenang, aku sudah mandi dan sudah gosok gigi kok. Tapi karena aku suka kamu, aku sengaja beli sikat gigi ini. Dia mengingatkanku padamu. Warnanya Jingga. Mulai hari ini Jingga, kau akan selalu ada di kamar mandiku.”

                “Hah??”

                Anak laki-laki itu nyengir tanpa beban.

                “Dodol!” kataku ketus.

                Aku pun berlalu. Bergegas masuk ke kelasku.

                Kelas langsung saja menjadi riuh ketika Pak Hendra membawa seorang anak laiki-laki yang disinyalir sebagai siswa pindahan. Sebentar, itu kan.. Si Dodol Cabe. Eh, siapa ya namanya.. mhmm.. Gilang. Ya.. namanya Gilang. Owalah.. ternyata dia itu siswa pindahan. Pantas saja aku merasa tak familiar dengan wajah konyolnya itu. Aku acuh. Kembali menekuri halaman sebuah novel yang ku bawa dari rumah. Tak tertarik melihat wajah slengeeannya itu.

                “Jadi gini pak, mamah saya itu kan punya teman. Nah, temannya itu punya sepupu, nah sepupunya temannya mamah saya itu punya adek. Nah, adeknya sepupunya temannya mamah saya itu tetangga pakdenya Jingga.” Jelas Gilang panjang lebar saat Pak Hendra bertanya alasan kepindahannya ke sekolah ini.

           Heh?? Aku melongo. Tawa pun meledak di kelasku.

                “Apa hubungannya penjelasanmu itu dengan alasan kepindahanmu ke sekolah ini Gilang?” tanya Pak Hendra serius. Tak terpengaruh kasak-kusuk siswanya.

                “Ehem.. jadi pada intinya saya pindah ke sini karena Jingga Prameswari pak.” Jawab Gilang mantap dengan muka polos.

                “Eaaaaaa.....”

                “Huuuuuuu....”

             Teman-temanku semakin riuh. Wajahku memerah bak tomat matang. Anak itu benar-benar.... Aaaarrgghhh...

***

                “Jingganya Gilang...”

                Aku memasang wajah bete seketika. Anak laki-laki berwajah konyol itu kini sempurna berdiri dengan riang di hadapanku. Tiba-tiba aku kehilangan selera untuk menghabiskan bakso favoritku.

           “Kenapa Lang?” tanyaku berusaha judes.

       “Kenapa rasanya 3 bulan kenal kamu makin judes ya Ngga?” tanyanya sembari duduk di sampingku.

                Sita cekikan. Aku melotot.

                “Aku boleh nggak makan sama kamu di sini?” tanya Gilang lagi.

                “Terserah.”

              “Keknya enak banget makannya Ngga. Nggak kayak aku, yang masih berdarah-darah menanti jawaban.” Tandas Gilang datar.

             Sita cekikakan. Lagi. Aku melotot. Lagi.

                “Oh ya BTW, kenapa kemaren pas aku main ke rumahmu malah dicuekin? Akunya malah di kerubungi ibu-ibu?”

                “Mang kamu penjual sayur Lang dirubungin ibu-ibu?” tanya Sita sambil cekikan. Mungkin dia masih sodara jauh sama kuntilanak.

                “Nggak sih.. Cuma akunya emang deket sama Mamang Tukang Kredit Panci.” Jawab Gilang ngasal.

     Sita tertawa kali ini sih lebih mirip Genderuwo. Aku melipat keningku. Memasang wajah tidak suka.

                “Kok diem terus sih Ngga?”

          “Lha kan kemaren itu lagi pengajian, masa iya aku malah nemenin kamu ngobrol?” sahutku berusaha konsentrasi dengan mangkuk baksoku yang kini tinggal setengah.

                “Aku asli sedih banget deh pas duduk deket ibu-ibu kemaren. Masa mereka nggak percaya pas aku bilang aku ini bakal calon suami masa depanmu Ngga?!?” curhat Gilang dengan wajah disendu-sendukan.

            “Uhuuukkk..” Aku keselek, Sita terbahak.

           “Minum.. minum..” dengan sigap Gilang menyodorkan es jeruk di sampingnya sembari mengelus pundakku.

     “Makanya kalau makan pelan-pelan Jingga..”

                Aku menatapnya geram. Memangnya gara-gara siapa coba aku keselek gini?

                “Sudah, tabahkan hatimu Ngga. Aku akan tetap suka kamu kok walaupun kamu lagi keselek atau lagi judes. Aku kan udah suka sama kamu sejak sebelum kamu lahir.” Kata Gilang lagi dengan mengerlingkan sebelah matanya.

                “Sebelum aku lahir?”

                “Mhmm, mungkin kamu nggak ingat. Tapi waktu kamu masih di kandungan Tante Aira, aku sudah sering ngobrol sama kamu.” Jawab Gilang kali ini dengan wajah serius.

                Aku melongo.

                “Jadi kamu jangan suka sama cowok lain ya.. dan jangan lupa pilih aku pas pemilihan ketua OSIS entar, oke?” katanya lagi sembari tersenyum manis. 
              Ahh.. sumpah lesung pipi itu benar-benar tidak membawa manfaat sama sekali untuk perdamaian dunia.

 Gilang pun berlalu.
               
“Kemana Lang?” tanya Sita.
               
“Mau ke dukun terdekat.”
               
“Ngapain? Mau melet Jingga ya?” tanya Sita lagi.

            “Ya nggak lah, Jingga mah emang udah pasti mau sama aku. Aku mau nanya nomor.”

                “Nomor buntut?”

                “Nggak, nomor HP Tante Aira. Biasa.. PDKT sama calon mertua.” Jawabnya sambil nyengir.


        Sita ketawa sambil mengacungkan jempolnya. Tanda dukungan.

                “Dasar dong-dong.” Dengusku sebal.

     “Kenapa? Dia lumayan loh. Jago Taekwondo. Trus pernah juara debat English gitu. Jago Senam Kesehatan Jasmani juga malahan. Makanya banyak anak cewek kelas X yang mulai ngincar Gilang.” Kata Sita setelah Gilang pergi.

               “Hehh?? Yakin??” tanyaku tak percaya. Anaknya kan nampak tidak berbudi luhur gitu.

             “Beneran! Kamu yakin nggak nyesel tuh kalau nolak dia?”

            Aku menoleh. Menatap punggung Gilang yang semakin menjauh. Entah mengapa kali ini punggung itu terlihat lebih gagah dan.. lebih bersih bersinar. Tiba-tiba terlintas wajah konyolnya yang membeli sikat gigi berwarna jingga. Aku langsung menggeleng kuat-kuat.

      “Nggak.. nggak..” kataku sambil menggetok-getok bergantian antara meja dan kepalaku.

             “Lha kenapa?” tanya Sita tak mengerti.

             “Anaknya nggak jelas gitu.” Jawabku 

“Loh bukannya pakdemu itu tetangga adek sepupunya temennya mamahnya Gilang ya?”
Aku melongo. Sita kurang kerjaan amat sampe hapal silsilah ngaconya si Gilang.

“Eh iya, habis istirahat, kita ada ulangan kan ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan

“Iya, Bu Yuli. Kimia. Hah.. mana aku belum belajar lagi” Jawab Sita lesu.

           Aku sudah belajar semalam. Aku mencoba meriview pelajaranku semalam. Model atom modern, bentuk molekul, gaya antar molekul, energi yang menyertai reaksi, kecepatan reaksi, kesetimbangan kimia, lesung pipi, Gilang... ehh.. Astaghfirullah.. kenapa jadi inget lesung pipi Gilang segala sih. Kembali aku menggetok kepalaku pelan. Fokus. Fokus.. Jingga.


***
               
 Pulang Pisau
 *ODOP Challenge
*Tantangan Aa Gilang

Jumat, 13 Januari 2017

Dongeng Kancil



Dahulu kala hewan pun dapat berbicara seperti manusia. Suatu hari ada seekor anak Kucing yang sedang menangis tersedu-sedu.

 “Dasar kau anak nakal, Kancil! Akan ku adukan kau pada ibuku. Huhuhuhu..” teriak Si Anak Kucing dengan marah dan sedih. Ia pun berlari sambil membawa mainannya yang rusak.

Si Kancil menatapnya dengan bingung. Apa salahku?, pikirnya tak mengerti. Ia sedang main kejar-kejaran dengan temanya Si Monyet. Karena terlalu asyik, tak sengaja ia menabrak si Anak Kucing. Tapi kenapa anak Kucing itu marah ya, padahal aku kan mau minta maaf padanya, kata Kancil dalam hati.

“Sudah Kancil, biarkan saja anak cengeng itu. Ayo kita main lagi.” Ajak Si Monyet.

“Baiklah, nanti saja aku minta maaf padanya.” Kata Si Kancil kemudian.

Mereka pun bermain kembali. Saat matahari mulai tinggi, mereka pun kelelahan. Perut mereka juga mulai terasa lapar.

“Kancil, sudah yuk mainnya. Aku lapar. Ayo kita pulang saja.” Ajak Si Monyet.

“Iya aku juga lapar. Ayo kita pulang.” Jawab Si Kancil.

Rumah mereka memang bersebelahan. Karena itu, mereka pun berjalan bersama. Setibanya di pinggir sungai, Si Monyet sudah bersiap untuk menyebrang. Tiba-tiba terdengar suara pelan.

”Tolong.. tolong..”

“Monyet apa kau mendengar suara minta tolong?” tanya Kancil.

“Hah? Tidak tuh. Jangan-jangan itu suara hantu air.. hiiiyy.” Sahut Monyet mulai takut.

“Ah kamu ini. Mana ada hantu siang-siang begini.” Tukas Kancil. Ia yakin dengan pendengarannya.

“Tolong aku..” suara itu terdengar kembali. Kali ini semakin lemah.

“Kau dengar kan Monyet? Itu benar-benar suara minta tolong.”

“I.. iya.. aku dengar.” Jawab Monyet.

“Ayo kita cari sumber suara itu dan menolongnya.”

Kancil pun bergegas menyusuri pinggiran sungai. Si Monyet mengikutinya di belakang. Mereka terkejut sekali saat tahu suara itu ternyata milik si Anak Kucing. Bulu-bulunya yang berwarna putih basah terkena air sungai. Badannya menggigil. Ia berusaha tidak tenggelam atau terbawa arus sungai dengan berpegangan pada akar pohon.

“Kita harus menolongnya Monyet.” Seru Kancil.

“Huh, kenapa kita harus menolongnya? Dia kan sudah memarahimu tadi?” jawab Monyet kesal.

“Memangnya kau mau kalau suatu saat kau sedang kesusahan tapi tak ada yang mau menolongmu?”

“Ya.. baiklah.. baiklah. Hei.. Anak Kucing... kami akan menolongmu. Ulurkan tanganmu.” Teriak Si Monyet.

Si Anak Kucing berusaha menggapai tangan Monyet. Tapi pinggiran sungai itu sangat licin. Beberapa kali Si Monyet dan Si Kancil terpeleset dan hampir saja terjatuh ke sungai. Si Anak Kucing juga mulai terlihat kelelahan.

“Kita tidak boleh menyerah. Ayo Monyet.. sedikit lagi. Anak Kucing.. jangan menyerah!” teriak Si Kancil.

Akhirnya, dengan susah payah mereka pun dapat menolong si Anak Kucing. Dengan terengah-engah Anak Kucing pun mengucapkan rasa terima kasihnya.

“Terima kasih Kancil. Kau sudah mau menolangku. Padahal aku tadi sudah memarahimu dan mengataimu anak nakal. Ternyata kamu anak baik.”

“Iya, tak apa. Aku juga minta maaf karena telah menabrakmu.” Kata Kancil.

“Hei Kau tak berterima kasih padaku?” tanya Si Monyet.

Kancil dan Anak Kucing pun tertawa bersama. Sejak itu, mereka pun bersahabat selamanya.


*Pulang Pisau
*ODOP Challenge
*Tantangan Mbak Lisa

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...