Sinta menarik kopernya dengan sedikit tergesa. Tak
diindahkannya hiruk-pikuk bandara di sekelilingnya. Bahkan ia pun mengabaikan
jetleg yang menderanya setalah penerbangan selama 17 jam terakhir. Gadis itu
sudah tak sabar. Ia ingin segera dapat menemui laki-laki itu. Setelah 10 tahun
tak bersua, bagaimana rupanya saat ini?
Sinta berpapasan dengan seorang pilot yang
terlihat begitu hebat dengan seragamnya. Ahh..
Agamku pasti lebih keren daripada pilot itu, batinnya dalam hati. Lalu
ia berpapasan dengan seorang eksekutif muda tampan yang nampak sibuk dengan
sebuah tab putih ditngannya. Mungkin sedang melakukan beberapa perjanjian
bisnis multi internasional. Tidak.. tidak.. Agamku pasti lebih tampan, batinya
lagi. Sebuah senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Terbayang kembali saat
Celine, yang selama 3 tahun terakhir ini menjadi roommate-nya, mempertanyakan
keputusannya yang menolak beasiswa S2 yang ditawarkan salah satu profesor
mereka.
“Tidak Celine. Aku ingin pulang ke Indonesia saja.
Sudah cukup ilmu yang ku dapatkan di sini.”
“Tapi Sinta apa kamu yakin? Profesor Lawrence
pasti kecewa berat dengan keputusanmu itu.”
“Sure. Justru kalau aku mengiyakan tawarannya,
bisa jadi aku akan menjelma menjadi perawan tua di sini.”
“What?? Perawan tua??dont say to me.. kamu pulang
ke Indonesia untuk menikah??” tanya Celine dengan mata terbelalak.
Sinta tertawa melihat ekspresi gadis berusia 21
tahun itu. Menikah di usia saat dimana mereka dapat membangun karier dengan
baik bukanlah konsep yang cocok untuk temannya yang memiliki rambut pirang
sebahu itu.
“Yah.. aku memang berharap bisa menjadi istrinya
sih..” kata Sinta lagi sembari mengedipkan mata kirinya.
“Kamu gila!!”
Ya.. kalau dipikir-pikir lagi aku memang sudah
gila, kata Sinta dalam hati.
Ia melepas Rayban berlensa merahnya. Didepannya
telah banyak orang yang berbaris. Beberapa membawa papan nama. Mata lentik
Sinta mencari-cari. Tapi sosok yang menurutnya mendekati sosok Agamnya tak
terlihat di sisi manapun. Diliriknya Alexandre Christie putih yang melingkar di
pergelangan tangannya. 06.20 PM. Apa dia terjebak macet ya,Sinta bertanya-tanya
dalam hati.
Meski telah lama tak menginjakkan kaki di negri
kelahirannya itu, Sinta tahu kemacetan selalu menjadi masalah diberbagai
belahan kota-kota besar dunia. Sinta menimbang-nimbang. Perlukah ia menelpon
Agam. Tiba-tiba ujung matanya menangkap sebuah papan nama bertuliskan Ms. Sinta
Mahendra. Sayangnya, pembawa papan nama itu adalah seorang laki-laki paruh
baya. Laki-laki itu bukan Agam.
Sinta mendekati laki-laki itu.
“Non Sinta? Maaf Non, Pak Agam sedang sibuk jadi
beliau meminta saya yang menjemput Non Sinta.” Kata laki-laki paruh baya itu.
Sinta menghembuskan napasnya perlahan. Apakah Agam
tak merindukannya?
***
Saat itu Sinta berumur 4 tahun, Mamah Sinta sangat
sibuk dengan berbagai pekerjaan kantornya. Membangun kariernya. Menjadi orang
tua tunggal mengaharuskannya bekerja dua kali lebih keras. Mamahnya lalu
meminta bantuan Bu Narti, untuk mengurus Sinta. Karena mamah Sinta sering kali
pulang larut malam, Bu Narti pun akhirnya sering mengajak Sinta ke rumahnya dan
meminta anak laki-lakinya yang bernama Agam untuk menjaganya. Hingga akhirnya
Sinta pun masuk TK yang bersebelahan dengan SD Agam.
Baginya Agamlah keluarganya. Agam lah yang mengajarinya
mengeja huruf, mengajarinya bernyanyi, membacakan dongeng, mengajarinya
mengikat tali sepatu pertama kali, juga mengajarinya naik sepeda. Agamlah yang
menjemput dan menggenggam jemarinya selama perjalanan pulang sekolah. Agam lah
yang selalu membelanya jika ada anak usil mengganggunya.
Suatu hari, Sinta begitu sedih karena mamahnya tak
datang saat ia menampilkan sebuah tarian adat di acara pentas seni di TK-nya.
Padahal semua orang tua teman-temannya datang dan melihat pertunjukan anaknya dengan
antusias. Sinta menangis. Ia merajuk. Mengancam tak mau pulang jika bukan
mamahnya sendiri yang menjemputnya. Dengan sabar Agam menungguinya dan
membujuknya.
“Ayo kita pulang. Aku akan membuatkanmu nasi
goreng telor mata sapi.”
Dengan mata berkaca-kaca dan sesunggukan Sinta pun
bertanya, “Memangnya mata sapi itu ada telornya ya Agam?”
Agam tertawa renyah. Saat itu Agam kelas 6 SD. Dan
untuk pertama kalinya Sinta pun merasakan nasi goreng keasinan yang sedikit
menghitam karena gosong hasil masakan Agam. Berbanding terbalik dengan telor mata
sapinya yang justru hambar dan tidak matang sempurna. Agam berkilah ia telah
melakukan sesuai dengan yang dia baca di buku.
Sinta tertawa mengingat kenangan-kenangannya
bersama Agam. Ia pun menurunkan kaca jendela mobil yang membawanya membelah
malam Jakarta yang sibuk. Membiarkan angin malam mnyentuh wajahnya yang
berpoles bedak tipis.
“Pak Burhan, saya lapar. Bisa kah kita makan dulu
sebelum ke hotel?” tanya sinta pada laki-laki yang menjemputnya di Bandara yang
kini duduk di balik setir kemudi.
“Non Sinta mau makan apa?”
“Panggil Sinta aja Pak. Mhmm..kalau Nasi Goreng
yang enak di sini di mana ya pak?”
***
“Agam.. Agam...” panggil Sinta.
Sudah seminggu ini ia tak pernah berhasil menemui
laki-laki itu. Sinta datang ke rumahnya, Bu Narti bilang Agam sudah berangkat
ke kantor. Ia datangi ke kantor, Agam ada meeting bersama klien di luar. Agam
juga tak pernah mengangkat telponnya. Karenanya pagi ini Sinta pun nekat
menunggu di lobi kantor Agam.
Agam yang sedang berjalan bersama beberapa teman
kerjanya itu menoleh. Demi melihat gadis yang mengenakan blouse berwarna putih
itu, ia pun mempersilahkan teman-temannya untuk duluan. Dengan wajah bahagia
Sinta pun bergegas mendekati Agam.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Kata Sinta.
Agam tersenyum, “kau sudah sarapan?”
Sinta menggeleng dengan masih tersenyum senang.
“Ayo kita ke kafe di bawah.” Ajak Agam.
Sinta pun mengikutinya. Sesampainya di kafe, Sinta
berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia bahagia sekaligus gelisah duduk di
hadapan laki-laki yang memakai setelan jas berwarna hitam itu. Seperti
dugaannya, Agam berubah menjadi seorang laki-laki tampan dengan garis rahang
yang tegas di wajahnya.
“Pancake vanila, espresso, nasi goreng telur mata
sapi, dan juz jeruk ya pak?” tanya mbak-mbak pelayan kafe dengan ramah
mengulangi pesanan Agam dan Sinta.
Agam mengangguk. Setelah perempuan berseragam
putih itu berlalu, Agam menatap gadis di hadapannya. Tak bisa dipungkiri
setelah 10 tahun waktu berlalu, Sinta telah bertransformasi menjadi perempuan
cantik nan berkelas.
“Aku pikir setelah lama di negeri Paman Sam, kau
sudah tak mengenali nasi goreng.” Kata Agam kemudian.
“Kau salah, lidahku ini masih lidah Indonesia. Waktu
di Manhattan setiap kali memungkinkan aku pasti selalu memasak masakan
Indonesia. Nasi Goreng itu salah satu favoritku. Kau ingat dulu kau pernah
memasakkannya untukku. Walaupun yah.. agak asin dan sedikit gosong.” Jawab
Sinta penuh semangat.
Agam mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu bukan
respon yang diinginkan Sinta. Apakah itu hanya perasaannya saja kalau ekspresi
Agam menjadi jauh lebih dingin dari yang terakhir kali diingatnya. Apakah itu
semata-mata karena ini pertemuan pertama kami setelah sekian lama? Ahh.. tidak
seingatnya Agam adalah laki-laki hangat dengan mata ramah. Pikiran Sinta buyar
saat kopi dan juz jeruk pesanan mereka datang.
“Agam, apa kau sibuk sekali? Kau tak pernah
mengangkat telpon maupun membalas
e-mailku. Kau bahkan tak menjemputku di bandara.” Tanya Sinta memecah
keheningan di antara mereka.
Agam menyeruput espressonya perlahan.
“Ya.. aku cukup sibuk akhir-akhir ini. Memangnya ada
apa hingga kau ingin sekali bertemu denganku?”
Sinta terhenyak tak menyangka akan ditanya seperti
itu. Memangnya apa lagi? Aku merindukanmu! Hingga rasanya seakan-akan aku bisa
gila! Jerit hati Sinta. Sinta mengenggam tangannya erat.
“A..aku berencana membuka butikku di dekat sini.
Jadi kupikir akan lebih baik kalau kau tahu dan kita bisa lebih sering
bertemu.” Kata Sinta tergagap.
“Itu bagus. Tapi sekarang, ibuku bukan lagi
pembantu di rumah mamahmu. Dan aku juga bukan lagi babysittermu. Jadi ku rasa
kita tidak punya kepentingan untuk sering bertemu. Karenanya tolong.. jangan
menggangguku dan suruh mamahmu berhenti menghubungi kami.” Jawab Agam dengan
gusar.
Sinta kembali terhenyak.
“A.. apa maksudmu? A.. aku tidak pernah...”
Belum sempat Sinta menyelesaikan kalimatnya,
makanan mereka pun datang.
“Maksudku adalah ... aku tidak suka kau datang ke
rumahku, atau ke kantorku! Aku tidak suka kau menelponku atau mengirim e-mail
padaku. Semua hal tentangmu Sinta.. aku tidak suka.” Desis Agam sengit.
Mata Sinta mulai memanas.
“Kenapa kau berubah membenciku seperti ini Agam?
Bukankah dulu selama empat tahun kita sangat dekat? Dulu kau begitu baik dan
perhatian padaku.”
“Tentu saja. Tidakkah kau tau bagaimana bisa kami
memperlakukanmu dengan baik? Ibuku selalu khawatir putri satu-satunya yang
berharga dari keluarga kaya itu akan terbentur atau terluka saat bermain. Kau
adalah sumber penghasilan keluargaku yang tak memiliki ayah. Aku dan Ibu harus
memperlakukanmu dengan sangat hati-hati. Setiap hari, aku harus melaporkan
semua kegiatanmu pada Mamahmu. Apa yang Sinta makan, bagaimana Sinta di
sekolah, atau kapan dia tidur. Dan kau selalu menempel padaku. Kapanpun aku
pulang aku selalu menemukan anak perempuan cengeng dan rewel. Bahkan di akhir
pekan aku berharap mamahmu akan membawamu. Tapi dia tak melakukannya karena
sangat sibuk. Aku bahkan tak bisa bermain maupun mengerjakan tugas sekolahku
dengan baik. Benar-benar memuakkan! Itulah kenapa aku sangat membencimu!”
“Kata-katamu benar-benar kasar Agam! Aku sudah
menganggap rumahmu sebagai rumahku sendiri. Apakah itu salahku lahir dari
seorang ibu yang sibuk dan dibesarkan di rumahmu??” Jawab Sinta dengan nada
tertahan.
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Agam melihat
Nasi Goreng telur mata sapi di hadapan Sinta.
“Itu. Kau bilang sangat menyukainya? Aku.. justru
sangat membencinya!! Kau tahu? Semua kenangan yang kau ingat itu salah! Apa kau
pikir memasak Nasi Goreng selama 2 jam itu indah? Saat itu kupikir tak kan bisa
memakai tanganku lagi karena jari-jariku melepuh terkena wajan panas. Sedangkan
kau memakan Nasi Goreng itu dengan wajah gembira. Lalu apa kau pikir
panas-panasan seharian mengajarimu naik sepeda itu indah? Dan lagi celengan
ayam yang kau berikan saat ulang tahunku, itu bukan milikmu. Tapi milik
mamahmu. Kau mencurinya dan memberikannya padaku. Tapi pada akhirnya akulah
yang dianggap sebagai pencuri. Dan ibuku harus menangis memohon agar mamahmu
mau berbaik hati memaafkanku. Apa kau lupa semua itu?” tanya Agam dengan geram.
Sinta kembali terhenyak. Kali ini ditundukkannya
kepalanya. Menyembunyikan air matanya yang jatuh satu per satu.
“Aku sudah mengatakan semua yang ingin ku katakan.
Setelah ini aku berharap kita tak perlu bertemu lagi. Selamat tinggal.”
Agam bangkit dari duduknya dan berlalu.
Sinta pun terisak sendirian. Nasi Goreng
kesukaannya masih utuh tak tersentuh. Untuk pertama kalinya selama 10 tahun
terakhir ia merasa tak berselera memakannya. Apakah keputusannya untuk kembali
ke Indonesia salah? Apakah kenangan yang dimilikinya juga salah? Lalu perasaan
untuk Agam juga salah?
***
Pulang Pisau
Ternyata benar-benar salah :(
BalasHapusIya mbak.. Hikz.. Hikz..
HapusAku lapar, hiks. Mbaaa Mauuu nasgor dong hihi
BalasHapusAyo rene mbak andriyes.. 😂😂😂
HapusKereeenn kak sas.... Endingnya nyesek, hikss...
BalasHapus*eman2 nasgornya :v
Makasih ci.. 😍😍😍 iyo yo mending nasgornya di bungkus.. 😂😂😂
HapusKeren..
BalasHapusSuka suka. Dari tulisannya terlihat bacaannya
Waaahhh senangnya... Makasih mbak wid.. Berarti aku lolos yak.. 😁😁😁
HapusKeren..
BalasHapusSuka suka. Dari tulisannya terlihat bacaannya
Nyesek pake banget -_-
BalasHapusPenghayatan... 😂😂😂
Hapus