Kamis, 08 Desember 2016

Kenangan Yang Salah



Sinta menarik kopernya dengan sedikit tergesa. Tak diindahkannya hiruk-pikuk bandara di sekelilingnya. Bahkan ia pun mengabaikan jetleg yang menderanya setalah penerbangan selama 17 jam terakhir. Gadis itu sudah tak sabar. Ia ingin segera dapat menemui laki-laki itu. Setelah 10 tahun tak bersua, bagaimana rupanya saat ini?

Sinta berpapasan dengan seorang pilot yang terlihat begitu hebat dengan seragamnya. Ahh..  Agamku pasti lebih keren daripada pilot itu, batinnya dalam hati. Lalu ia berpapasan dengan seorang eksekutif muda tampan yang nampak sibuk dengan sebuah tab putih ditngannya. Mungkin sedang melakukan beberapa perjanjian bisnis multi internasional. Tidak.. tidak.. Agamku pasti lebih tampan, batinya lagi. Sebuah senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Terbayang kembali saat Celine, yang selama 3 tahun terakhir ini menjadi roommate-nya, mempertanyakan keputusannya yang menolak beasiswa S2 yang ditawarkan salah satu profesor mereka.

“Tidak Celine. Aku ingin pulang ke Indonesia saja. Sudah cukup ilmu yang ku dapatkan di sini.”

“Tapi Sinta apa kamu yakin? Profesor Lawrence pasti kecewa berat dengan keputusanmu itu.”

“Sure. Justru kalau aku mengiyakan tawarannya, bisa jadi aku akan menjelma menjadi perawan tua di sini.”

“What?? Perawan tua??dont say to me.. kamu pulang ke Indonesia untuk menikah??” tanya Celine dengan mata terbelalak.

Sinta tertawa melihat ekspresi gadis berusia 21 tahun itu. Menikah di usia saat dimana mereka dapat membangun karier dengan baik bukanlah konsep yang cocok untuk temannya yang memiliki rambut pirang sebahu itu.

“Yah.. aku memang berharap bisa menjadi istrinya sih..” kata Sinta lagi sembari mengedipkan mata kirinya.

“Kamu gila!!”

Ya.. kalau dipikir-pikir lagi aku memang sudah gila, kata Sinta dalam hati.

Ia melepas Rayban berlensa merahnya. Didepannya telah banyak orang yang berbaris. Beberapa membawa papan nama. Mata lentik Sinta mencari-cari. Tapi sosok yang menurutnya mendekati sosok Agamnya tak terlihat di sisi manapun. Diliriknya Alexandre Christie putih yang melingkar di pergelangan tangannya. 06.20 PM. Apa dia terjebak macet ya,Sinta bertanya-tanya dalam hati.

Meski telah lama tak menginjakkan kaki di negri kelahirannya itu, Sinta tahu kemacetan selalu menjadi masalah diberbagai belahan kota-kota besar dunia. Sinta menimbang-nimbang. Perlukah ia menelpon Agam. Tiba-tiba ujung matanya menangkap sebuah papan nama bertuliskan Ms. Sinta Mahendra. Sayangnya, pembawa papan nama itu adalah seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki itu bukan Agam.

Sinta mendekati laki-laki itu.

“Non Sinta? Maaf Non, Pak Agam sedang sibuk jadi beliau meminta saya yang menjemput Non Sinta.” Kata laki-laki paruh baya itu.

Sinta menghembuskan napasnya perlahan. Apakah Agam tak merindukannya?

***
Saat itu Sinta berumur 4 tahun, Mamah Sinta sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan kantornya. Membangun kariernya. Menjadi orang tua tunggal mengaharuskannya bekerja dua kali lebih keras. Mamahnya lalu meminta bantuan Bu Narti, untuk mengurus Sinta. Karena mamah Sinta sering kali pulang larut malam, Bu Narti pun akhirnya sering mengajak Sinta ke rumahnya dan meminta anak laki-lakinya yang bernama Agam untuk menjaganya. Hingga akhirnya Sinta pun masuk TK yang bersebelahan dengan SD Agam.

Baginya Agamlah keluarganya. Agam lah yang mengajarinya mengeja huruf, mengajarinya bernyanyi, membacakan dongeng, mengajarinya mengikat tali sepatu pertama kali, juga mengajarinya naik sepeda. Agamlah yang menjemput dan menggenggam jemarinya selama perjalanan pulang sekolah. Agam lah yang selalu membelanya jika ada anak usil mengganggunya. 

Suatu hari, Sinta begitu sedih karena mamahnya tak datang saat ia menampilkan sebuah tarian adat di acara pentas seni di TK-nya. Padahal semua orang tua teman-temannya datang dan melihat pertunjukan anaknya dengan antusias. Sinta menangis. Ia merajuk. Mengancam tak mau pulang jika bukan mamahnya sendiri yang menjemputnya. Dengan sabar Agam menungguinya dan membujuknya.

“Ayo kita pulang. Aku akan membuatkanmu nasi goreng telor mata sapi.”

Dengan mata berkaca-kaca dan sesunggukan Sinta pun bertanya, “Memangnya mata sapi itu ada telornya ya Agam?”

Agam tertawa renyah. Saat itu Agam kelas 6 SD. Dan untuk pertama kalinya Sinta pun merasakan nasi goreng keasinan yang sedikit menghitam karena gosong hasil masakan Agam. Berbanding terbalik dengan telor mata sapinya yang justru hambar dan tidak matang sempurna. Agam berkilah ia telah melakukan sesuai dengan yang dia baca di buku.

Sinta tertawa mengingat kenangan-kenangannya bersama Agam. Ia pun menurunkan kaca jendela mobil yang membawanya membelah malam Jakarta yang sibuk. Membiarkan angin malam mnyentuh wajahnya yang berpoles bedak tipis.

“Pak Burhan, saya lapar. Bisa kah kita makan dulu sebelum ke hotel?” tanya sinta pada laki-laki yang menjemputnya di Bandara yang kini duduk di balik setir kemudi.

“Non Sinta mau makan apa?”

“Panggil Sinta aja Pak. Mhmm..kalau Nasi Goreng yang enak di sini di mana ya pak?”




***
“Agam.. Agam...” panggil Sinta.
Sudah seminggu ini ia tak pernah berhasil menemui laki-laki itu. Sinta datang ke rumahnya, Bu Narti bilang Agam sudah berangkat ke kantor. Ia datangi ke kantor, Agam ada meeting bersama klien di luar. Agam juga tak pernah mengangkat telponnya. Karenanya pagi ini Sinta pun nekat menunggu di lobi kantor Agam.

Agam yang sedang berjalan bersama beberapa teman kerjanya itu menoleh. Demi melihat gadis yang mengenakan blouse berwarna putih itu, ia pun mempersilahkan teman-temannya untuk duluan. Dengan wajah bahagia Sinta pun  bergegas mendekati Agam.

“Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Kata Sinta.

Agam tersenyum, “kau sudah sarapan?”

Sinta menggeleng dengan masih tersenyum senang.

“Ayo kita ke kafe di bawah.” Ajak Agam.

Sinta pun mengikutinya. Sesampainya di kafe, Sinta berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia bahagia sekaligus gelisah duduk di hadapan laki-laki yang memakai setelan jas berwarna hitam itu. Seperti dugaannya, Agam berubah menjadi seorang laki-laki tampan dengan garis rahang yang tegas di wajahnya.

“Pancake vanila, espresso, nasi goreng telur mata sapi, dan juz jeruk ya pak?” tanya mbak-mbak pelayan kafe dengan ramah mengulangi pesanan Agam dan Sinta.

Agam mengangguk. Setelah perempuan berseragam putih itu berlalu, Agam menatap gadis di hadapannya. Tak bisa dipungkiri setelah 10 tahun waktu berlalu, Sinta telah bertransformasi menjadi perempuan cantik nan berkelas.

“Aku pikir setelah lama di negeri Paman Sam, kau sudah tak mengenali nasi goreng.” Kata Agam kemudian.

“Kau salah, lidahku ini masih lidah Indonesia. Waktu di Manhattan setiap kali memungkinkan aku pasti selalu memasak masakan Indonesia. Nasi Goreng itu salah satu favoritku. Kau ingat dulu kau pernah memasakkannya untukku. Walaupun yah.. agak asin dan sedikit gosong.” Jawab Sinta penuh semangat.

Agam mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu bukan respon yang diinginkan Sinta. Apakah itu hanya perasaannya saja kalau ekspresi Agam menjadi jauh lebih dingin dari yang terakhir kali diingatnya. Apakah itu semata-mata karena ini pertemuan pertama kami setelah sekian lama? Ahh.. tidak seingatnya Agam adalah laki-laki hangat dengan mata ramah. Pikiran Sinta buyar saat kopi dan juz jeruk pesanan mereka datang.

“Agam, apa kau sibuk sekali? Kau tak pernah mengangkat  telpon maupun membalas e-mailku. Kau bahkan tak menjemputku di bandara.” Tanya Sinta memecah keheningan di antara mereka.

Agam menyeruput espressonya perlahan.

“Ya.. aku cukup sibuk akhir-akhir ini. Memangnya ada apa hingga kau ingin sekali bertemu denganku?”

Sinta terhenyak tak menyangka akan ditanya seperti itu. Memangnya apa lagi? Aku merindukanmu! Hingga rasanya seakan-akan aku bisa gila! Jerit hati Sinta. Sinta mengenggam tangannya erat.

“A..aku berencana membuka butikku di dekat sini. Jadi kupikir akan lebih baik kalau kau tahu dan kita bisa lebih sering bertemu.” Kata Sinta tergagap.

“Itu bagus. Tapi sekarang, ibuku bukan lagi pembantu di rumah mamahmu. Dan aku juga bukan lagi babysittermu. Jadi ku rasa kita tidak punya kepentingan untuk sering bertemu. Karenanya tolong.. jangan menggangguku dan suruh mamahmu berhenti menghubungi kami.” Jawab Agam dengan gusar.

Sinta kembali terhenyak.

“A.. apa maksudmu? A.. aku tidak pernah...”

Belum sempat Sinta menyelesaikan kalimatnya, makanan mereka pun datang.

“Maksudku adalah ... aku tidak suka kau datang ke rumahku, atau ke kantorku! Aku tidak suka kau menelponku atau mengirim e-mail padaku. Semua hal tentangmu Sinta.. aku tidak suka.” Desis Agam sengit.

Mata Sinta mulai memanas.

“Kenapa kau berubah membenciku seperti ini Agam? Bukankah dulu selama empat tahun kita sangat dekat? Dulu kau begitu baik dan perhatian padaku.”

“Tentu saja. Tidakkah kau tau bagaimana bisa kami memperlakukanmu dengan baik? Ibuku selalu khawatir putri satu-satunya yang berharga dari keluarga kaya itu akan terbentur atau terluka saat bermain. Kau adalah sumber penghasilan keluargaku yang tak memiliki ayah. Aku dan Ibu harus memperlakukanmu dengan sangat hati-hati. Setiap hari, aku harus melaporkan semua kegiatanmu pada Mamahmu. Apa yang Sinta makan, bagaimana Sinta di sekolah, atau kapan dia tidur. Dan kau selalu menempel padaku. Kapanpun aku pulang aku selalu menemukan anak perempuan cengeng dan rewel. Bahkan di akhir pekan aku berharap mamahmu akan membawamu. Tapi dia tak melakukannya karena sangat sibuk. Aku bahkan tak bisa bermain maupun mengerjakan tugas sekolahku dengan baik. Benar-benar memuakkan! Itulah kenapa aku sangat membencimu!”

“Kata-katamu benar-benar kasar Agam! Aku sudah menganggap rumahmu sebagai rumahku sendiri. Apakah itu salahku lahir dari seorang ibu yang sibuk dan dibesarkan di rumahmu??” Jawab Sinta dengan nada tertahan.

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Agam melihat Nasi Goreng telur mata sapi di hadapan Sinta.

“Itu. Kau bilang sangat menyukainya? Aku.. justru sangat membencinya!! Kau tahu? Semua kenangan yang kau ingat itu salah! Apa kau pikir memasak Nasi Goreng selama 2 jam itu indah? Saat itu kupikir tak kan bisa memakai tanganku lagi karena jari-jariku melepuh terkena wajan panas. Sedangkan kau memakan Nasi Goreng itu dengan wajah gembira. Lalu apa kau pikir panas-panasan seharian mengajarimu naik sepeda itu indah? Dan lagi celengan ayam yang kau berikan saat ulang tahunku, itu bukan milikmu. Tapi milik mamahmu. Kau mencurinya dan memberikannya padaku. Tapi pada akhirnya akulah yang dianggap sebagai pencuri. Dan ibuku harus menangis memohon agar mamahmu mau berbaik hati memaafkanku. Apa kau lupa semua itu?” tanya Agam dengan geram.

Sinta kembali terhenyak. Kali ini ditundukkannya kepalanya. Menyembunyikan air matanya yang jatuh satu per satu.

“Aku sudah mengatakan semua yang ingin ku katakan. Setelah ini aku berharap kita tak perlu bertemu lagi. Selamat tinggal.”

Agam bangkit dari duduknya dan berlalu.

Sinta pun terisak sendirian. Nasi Goreng kesukaannya masih utuh tak tersentuh. Untuk pertama kalinya selama 10 tahun terakhir ia merasa tak berselera memakannya. Apakah keputusannya untuk kembali ke Indonesia salah? Apakah kenangan yang dimilikinya juga salah? Lalu perasaan untuk Agam juga salah?

***


Pulang Pisau

11 komentar:

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...