Sabtu, 07 April 2018

Lakuna

pinterest image
“Kau ini gadis buta keras kepala yang angkuh, Evelyn!” desis Rama tertahan. 

“Tahu apa kau tentang aku?! Jangan bersikap seolah kau punya hak untuk mengaturku!” jawab gadis yang mengenakan gaun berwarna putih itu histeris.

Sadar dirinya mulai menjadi pusat perhatian orang-orang, Rama pun menghela napas perlahan. Memutuskan menyerah. Ia mundur beberapa langkah. Memberi jarak kepada sahabat masa kecilnya itu.

Evelyn berdiri dengan tegap. Lalu mulai melangkah dengan bantuan tongkatnya. Orang-orang di sekelilingnya selalu saja meremehkannya. Menganggapnya hanya sebagai gadis cacat merepotkan yang selalu butuh ditolong. Ia benci sekali diperlakukan secara berlebihan seperti itu. Terutama jika yang melakukannya adalah anak laki-laki yang pernah menjadi sahabat baiknya 10 tahun lalu, yang kini berdiri dihadapannya itu. Tak apa jika semua orang menganggapnya hanya gadis cacat. Ia bisa mengerti. Tapi bagaimana bisa seorang Rama justru ikut-ikutan bersikap seperti itu. Diantara semua orang mengapa justru Rama yang memakinya seperti itu?

Mata Evelyn memanas. Mati-matian ditahannya air mata yang hendak berontak untuk keluar, hingga ia tak mendengarkan teriakan Rama.

“Evelyn awas di depanmu..”

Byurrr....

Terlambat. Pikirannya yang kalut membuatnya tak fokus.  Evelyn bahkan tak menyadari di hadapannya ada sebuah kolam air mancur kecil. Tubuhnya sempurna basah. Ia terduduk di kolam sedalam mata kaki orang dewasa itu. Tak tahu harus berbuat apa.

Ia tahu. Banyak langkah kaki yang mulai mendekat. Mengerumuninya. Dengung suara-suara yang ingin tahu. Bisikan-bisikan rasa kasihan.  Semuanya berbaur memenuhi gendang telinganya yang justru semakin membuat kepalanya sakit. 

Rama melepas jas dan bergegas menyampirkannya di bahu Evelyn. Perlahan dibopongnya tubuh Evelyn. Meski terkejut, Evelyn hanya diam dan memilih untuk menyembunyikan wajahnya di dada Rama. Tangan Evelyn yang gemetar menyadarkan Rama. Betapa rapuhnya gadis pemilik senyum yang diam-diam menghantui mimpi-mimpinya selama ini. Gadis yang selalu membuatnya melihat langit saat mengingatnya. Rama mengeratkan tangannya. Tak mempedulikan beberapa pengunjung salah satu Mall terbesar di kota itu yang kasak-kusuk memperhatikan sikap kepahlawanannya itu.

Ia memutuskan untuk membawa Evelyn memasuki sebuah butik mewah milik salah satu kenalannya. Ruangan butik itu ditata sedemikian elegan. Karpet tebal nan lembut. Lampu-lampu cantik yang berpendar temaram. Beberapa furniture yang terlihat minimalis namun tetap menampakkan aura berkelas. Dimintanya temannya itu untuk membantu Evelyn berganti baju. Evelyn lagi-lagi hanya diam. Tak lagi memberontak seperti saat ia ingin membantunya sebelumnya. Tadinya ia ingin mengajak Evelyn jalan-jalan. Membiarkan Evelyn berada di pusat keramaian merupakan sebuah pembelajaran yang bagus. Setidaknya itulah yang menjadi keyakinannya. 

***

“Evelyn tidak pernah merasa nyaman di tengah keramaian, Rama. Tante kira kita tidak bisa langsung memaksanya seperti ini”, ujar Tante Alika. Mama Evelyn. Saat itu Rama meminta persetujuannya untuk membawa Evelyn jalan-jalan.

“Ini sudah satu tahun tante. Kita justru nggak bisa membiarkan Evelyn terus mengurung diri seperti ini. Walau bagaimana pun Evelyn harus mulai menerima keadaannya sekarang. Dia harus membiasakan dirinya. Kita tidak bisa selalu mengawasinya 24 jam.” Jawab Rama bersikeras.

Tante Alika menghembuskan napas berat. Matanya mulai berair tiap kali mengenang dokter yang dengan tega memvonis puteri semata wayangnya mengalami kebutaan karena kecelakaan malam itu. Evelynnya yang hangat bak mentari pagi, seketika berubah sedingin es. Hati ibu mana yang tak hancur demi melihatnya?

Rama mendekati perempuan separuh baya itu. Ada kebijaksanaan sedih yang begitu rupa dalam pandangannya. Dengan lembut dipeluknya perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri itu. Rama menyesal karena baru mengetahui keadaan Evelyn sekarang. Pantas saja ia tak pernah bisa lagi  menghubungi sahabat masa kecilnya itu. Seluruh sosmednya tiba-tiba saja menghilang dari jagad dunia maya. Nomor gawainya pun tak lagi aktif. Berapa kalipun ia berusaha menghubungi nomor handphone gadis yang memiliki sepasang mata cantik itu, hanya suara operator yang menjawab. Membuatnya bertanya-tanya. Lalu berspekulasi dengan berbagai alasan. Dan akhirnya menyusun sebuah prasangka.

Hingga suatu hari ia melihat Evelyn berjalan tepat menuju ke arahnya. Seketika keriuhan tepi jalan saat itu ... menghilang. Seluruh hal mengabur seiring semakin mendekatnya gadis itu. Jantungnya menyuarakan irama tak beraturan. 

Dan ... gadis itu melewatinya. Begitu saja. Rama mengerjapkan matanya. Tak mempercayai penglihatannya. Wangi samar aroma musk yang tertinggal saat gadis itu melangkah melewatinya, meyakinkan Rama bahwa gadis itu benar-benar Evelyn. 

Bagaimana bisa Evelyn bersikap seolah-olah tak mengenalnya?

#Tantangan1(deskripsi 2)
#Kelas Fiksi
#OneDayOnePost

16 komentar:

  1. Rama ini baik orangnya saya kira...
    Tidak seperti si Pardi ..
    Duh

    BalasHapus
    Balasan
    1. owh iya dunk mbak.. Rama orangnya memang baik... #ehh hahahaha

      Hapus
  2. Alu membayangkan kok ini nyata ya😁
    Duh, kasihan dong yg jadi evelyn

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kasian... kasian... kasian... Huhuhu Upin-ipin mode-on...

      Hapus
  3. Tulisannya selalu enak dibaca. Bikin penasaran dan, Yah... Udah selesai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Amma... masih belajar..
      Duh...lupa nulis to be continued-nya Amma... :D

      Hapus
  4. Saya tersentuh.
    Mbak cerpennya keren banget (y)
    Terbaiklah 😇👍

    BalasHapus
  5. Enak bgt bacanya, lebih enak lagi dibikin cerbung,hehehe, abis saya suka ceritanya 😍

    BalasHapus

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...