“Kau ini gadis buta keras kepala yang angkuh, Evelyn!”
desis Rama tertahan.
“Tahu apa kau tentang aku?! Jangan bersikap seolah
kau punya hak untuk mengaturku!” jawab gadis yang mengenakan gaun berwarna putih itu histeris.
Sadar dirinya mulai menjadi pusat perhatian
orang-orang, Rama pun menghela napas perlahan. Memutuskan menyerah. Ia mundur
beberapa langkah. Memberi jarak kepada sahabat masa kecilnya itu.
Evelyn berdiri dengan tegap. Lalu mulai melangkah
dengan bantuan tongkatnya. Orang-orang di sekelilingnya selalu saja
meremehkannya. Menganggapnya hanya sebagai gadis cacat merepotkan yang selalu
butuh ditolong. Ia benci sekali diperlakukan secara berlebihan seperti itu.
Terutama jika yang melakukannya adalah anak laki-laki yang pernah menjadi
sahabat baiknya 10 tahun lalu, yang kini berdiri dihadapannya itu. Tak apa jika
semua orang menganggapnya hanya gadis cacat. Ia bisa mengerti. Tapi bagaimana
bisa seorang Rama justru ikut-ikutan bersikap seperti itu. Diantara semua orang
mengapa justru Rama yang memakinya seperti itu?
Mata Evelyn memanas. Mati-matian ditahannya air
mata yang hendak berontak untuk keluar, hingga ia tak mendengarkan teriakan
Rama.
“Evelyn awas di depanmu..”
Byurrr....
Terlambat. Pikirannya yang kalut membuatnya tak
fokus. Evelyn bahkan tak menyadari di
hadapannya ada sebuah kolam air mancur kecil. Tubuhnya sempurna basah. Ia
terduduk di kolam sedalam mata kaki orang dewasa itu. Tak tahu harus berbuat
apa.
Ia tahu. Banyak langkah kaki yang mulai mendekat.
Mengerumuninya. Dengung suara-suara yang ingin tahu. Bisikan-bisikan rasa
kasihan. Semuanya berbaur memenuhi
gendang telinganya yang justru semakin membuat kepalanya sakit.
Rama melepas jas dan bergegas menyampirkannya di
bahu Evelyn. Perlahan dibopongnya tubuh Evelyn. Meski terkejut, Evelyn hanya
diam dan memilih untuk menyembunyikan wajahnya di dada Rama. Tangan Evelyn yang
gemetar menyadarkan Rama. Betapa rapuhnya gadis pemilik senyum yang diam-diam
menghantui mimpi-mimpinya selama ini. Gadis yang selalu membuatnya melihat
langit saat mengingatnya. Rama mengeratkan tangannya. Tak mempedulikan beberapa
pengunjung salah satu Mall terbesar di kota itu yang kasak-kusuk memperhatikan
sikap kepahlawanannya itu.
Ia memutuskan untuk membawa Evelyn memasuki sebuah
butik mewah milik salah satu kenalannya. Ruangan butik itu ditata sedemikian
elegan. Karpet tebal nan lembut. Lampu-lampu cantik yang berpendar temaram. Beberapa
furniture yang terlihat minimalis namun tetap menampakkan aura berkelas.
Dimintanya temannya itu untuk membantu Evelyn berganti baju. Evelyn lagi-lagi
hanya diam. Tak lagi memberontak seperti saat ia ingin membantunya sebelumnya. Tadinya
ia ingin mengajak Evelyn jalan-jalan. Membiarkan Evelyn berada di pusat keramaian
merupakan sebuah pembelajaran yang bagus. Setidaknya itulah yang menjadi
keyakinannya.
***
“Evelyn tidak pernah merasa nyaman di tengah
keramaian, Rama. Tante kira kita tidak bisa langsung memaksanya seperti ini”,
ujar Tante Alika. Mama Evelyn. Saat itu Rama meminta persetujuannya untuk
membawa Evelyn jalan-jalan.
“Ini sudah satu tahun tante. Kita justru nggak
bisa membiarkan Evelyn terus mengurung diri seperti ini. Walau bagaimana pun
Evelyn harus mulai menerima keadaannya sekarang. Dia harus membiasakan dirinya.
Kita tidak bisa selalu mengawasinya 24 jam.” Jawab Rama bersikeras.
Tante Alika menghembuskan napas berat. Matanya
mulai berair tiap kali mengenang dokter yang dengan tega memvonis puteri semata
wayangnya mengalami kebutaan karena kecelakaan malam itu. Evelynnya yang hangat
bak mentari pagi, seketika berubah sedingin es. Hati ibu mana yang tak hancur
demi melihatnya?
Rama mendekati perempuan separuh baya itu. Ada
kebijaksanaan sedih yang begitu rupa dalam pandangannya. Dengan lembut
dipeluknya perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri itu. Rama
menyesal karena baru mengetahui keadaan Evelyn sekarang. Pantas saja ia tak pernah
bisa lagi menghubungi sahabat masa
kecilnya itu. Seluruh sosmednya tiba-tiba saja menghilang dari jagad dunia maya.
Nomor gawainya pun tak lagi aktif. Berapa kalipun ia berusaha menghubungi nomor
handphone gadis yang memiliki sepasang mata cantik itu, hanya suara operator
yang menjawab. Membuatnya bertanya-tanya. Lalu berspekulasi dengan berbagai
alasan. Dan akhirnya menyusun sebuah prasangka.
Hingga suatu hari ia melihat Evelyn berjalan
tepat menuju ke arahnya. Seketika keriuhan tepi jalan saat itu ... menghilang. Seluruh
hal mengabur seiring semakin mendekatnya gadis itu. Jantungnya
menyuarakan irama tak beraturan.
Dan ... gadis itu melewatinya. Begitu saja. Rama
mengerjapkan matanya. Tak mempercayai penglihatannya. Wangi samar aroma musk
yang tertinggal saat gadis itu melangkah melewatinya, meyakinkan Rama bahwa
gadis itu benar-benar Evelyn.
Bagaimana bisa Evelyn bersikap seolah-olah tak
mengenalnya?
#Tantangan1(deskripsi 2)
#Kelas Fiksi
#OneDayOnePost
Rama ini baik orangnya saya kira...
BalasHapusTidak seperti si Pardi ..
Duh
owh iya dunk mbak.. Rama orangnya memang baik... #ehh hahahaha
HapusAlu membayangkan kok ini nyata ya😁
BalasHapusDuh, kasihan dong yg jadi evelyn
iya kasian... kasian... kasian... Huhuhu Upin-ipin mode-on...
HapusTulisannya selalu enak dibaca. Bikin penasaran dan, Yah... Udah selesai.
BalasHapusMakasih Amma... masih belajar..
HapusDuh...lupa nulis to be continued-nya Amma... :D
Evelynya meninggal yah Kak Lia?
BalasHapusNggak kok bund...😃
HapusSaya tersentuh.
BalasHapusMbak cerpennya keren banget (y)
Terbaiklah 😇👍
Makasih Yuk Nia..😊
HapusEnak bgt bacanya, lebih enak lagi dibikin cerbung,hehehe, abis saya suka ceritanya 😍
BalasHapusIni ceritanya emang bersambung kok Bund..😁
HapusKeren ihhhh 😍
BalasHapusMakasih Rafi...😄
HapusKeren...
BalasHapusMakasih mbak wid.. Udah mampir sini..😄
Hapus