Nafas Rani memburu. Wajahnya memerah. Emosinya
mulai terpancing ketika pendapatnya disanggah dengan kasar oleh Pak Wira, salah
satu guru senior berpenampilan kaku itu. Guru yang mengampu mata pelajaran
Ekonomi itu menjatuhkan tatapan mencemoohnya pada Rani yang dirasanya sebagai
anak kemarin sore yang sombong.
“Ehem..” pak Agus yang juga menjabat sebagai
kepala sekolah, berdehem memecah ketegangan yang tercipta diantara anak buahnya.
Pada dasarnya laki-laki yang telah berprofesi sebagai guru selama 20 tahun itu
menyadari bahwa apa yang dijelaskan Rani memang benar adanya. Hanya saja Ia
menyayangkan sikap Rani yang terkesan grusa-grusu
dan memaksa.
“Begini Bu Rani,saya paham dengan apa yang Bu Rani
sampaikan barusan. Hanya saja, saya rasa kita juga tidak bisa menampik resiko
yang akan kita dapatkan jika kita melakukan hal tersebut seperti yang juga
telah dijelaskan oleh Pak Wira sebelumnya.” Kata Pak Agus dengan suara penuh
penekanan.
“Tapi pak..” belum sempat Rani melanjutkan
kalimatnya Pak Agus kembali berkata,
“Saya tidak bisa mempertaruhkan nama baik sekolah
kita untuk saran Bu Rani tadi. Karenanya sebagai pemimpin di sekolah ini, saya
memutuskan sistem penilaian tetap seperti tahun-tahun sebelumnya. Silahkan bagi
bapak dan ibu guru mengumpulkan nilai secepatnya kepada para wali kelas.”
Rani hendak membantah kembali tapi sebuah tangan
menahannya. Jam tangan hitam besar yang melingkar dengan apik itu menjelaskan
bahwa pemilik tangan itu adalah Reza. Guru Olahraga yang juga satu angkatan
dengannya. Rani mendapati wajah teduh milik Reza yanng memberinya isyarat untuk
diam. Dengan wajah cemberut Rani pun menurut. Ahh.. ia kesal sekaligus kecewa
sekali dengan keputusan kepala sekolahnya itu.
Rapat kenaikan kelas itupun berakhir setelah
beberapa instruksi yang diberikan kepala sekolah. Sebagian besar guru pun
berlalu meninggalkan ruang rapat. Rani mendapati beberapa tatapan aneh yang
mengarah padanya. Sambil menghela napas berat ia pun mulai membereskan alat
tulisnya.
“Kita makan bakso yuk..” ajak Reza dengan
santainya.
Rani menatapnya kesal. Ini anak nggak tahu aku
lagi sebel ya, batin Rani.
“Aku yang traktir. Lagipula motormu masih di
bengkel kan?” katanya lagi. Kali ini dengan dilengkapi tatapan yang meluluhkan.
Kadang Rani berpikir betapa
manipulatifnya tatapan laki-laki jangkung itu.
Ah iya.. tadi pagi ban motornya bocor dan terpaksa
harus dibawa ke bengkel. Untung saja Reza lewat dan memberinya tumpangan hingga
ia pun tak terlambat tiba ke sekolah. Rani menimbang-nimbang.
“Beneran mau nraktir? Hari ini rasanya aku sanggup
memakan 3 mangkok bakso sekaligus.” Jawab Rani sangsi.
Reza tertawa renyah.
“Iya, kau boleh memesan sebanyak yang kau mau.
Asal kau bisa menghabiskannya.” Kata Reza lagi sambil berdiri dan membawakan
tas Rani yang dijejali kertas-kertas ulangan siswanya tadi pagi.
Rani mengerutkan dahinya. Bukan sekali ini saja
laki-laki berdarah Banjar itu berinisiatif membawakan barang-barangnya. Rani
mengangkat bahunya. Menolak ambil pusing.
***
Siang itu matahari bersinar begitu terik. Rani
menyeruput juz alpukat favoritnya. Ahh.. rasanya segar sekali. Reza tersenyum
melihatnya.
“Kenapa?” tanya Rani heran.
“Apanya?” Reza balik bertanya dengan wajah polos.
Rani menghela napas. Hadoohh.. ini orang kadang
suka menguji tingkat kesabaran ya, rutuk Rani dalam hati.
“Kenapa kamu senyum-senyum sambil ngeliat
aku?” tanya Rani lagi.
“Nggak boleh ya?” goda Reza.
Rani mendengus. Percuma menjawabnya. Reza pasti
akan lebih menggodanya lagi.
“Ada sisa juz di sekitar bibirmu.” Kata Reza lagi.
Rani terkejut lalu segera mengambil tisu dan
mengusapnya.
“Kadang aku masih tak percaya kau ini seorang guru
Rani.”
“Hey, coba lihat siapa yang mengatakan ini. Aku
lebih tua 3 tahun darimu, seharusnya kau menghormati seniormu tahu?” jawab Rani
setengah galak.
Reza tersenyum kembali, lalu asyik menikmati bakso
pesanannya. Rani kembali mendengus tahu tak mendapatkan respon.
“Aargh.. kau sama saja seperti Pak Wira.
Meremehkanku.”
“Jangan samakan kami. Aku masih muda dan lebih
tampan darinya.”
Untuk pertama kalinya Rani tertawa hari itu.
“Ya, kau benar. Jangan sampai kau jadi seperti dia
nanti ya. Kolot dan kaku. Apa salahnya coba kalau kita mencantumkan nilai asli
siswa tanpa mengkatrolnya. Ini kan bisa menjadi pembelajaran untuk siswa agar
lebih memperhatikan pelajaran mereka dan tidak meremehkan tugas yang diberikan
oleh gurunya. Selama ini siswa itu keenakan karena tahu nilai di rapotnya
selalu mencapai nilai KKM yang telah ditentukan meski mereka tidak belajar.”
Jawab Rani pada akhirnya.
Reza tersenyum sebelum menjawab.
“Rani, mungkin memang benar akhir-akhir ini siswa
kurang memperdulikan nilainya, tidak jarang mereka pun tidak mengerjakan tugas.
Tapi coba kita perhatikan. Mereka seperti itu bukan tanpa alasan.”
Rani mengerenyitkan keningnya. Reza tersenyum
lagi. Untuk sebuah alasan Rani mulai menyukai senyum ramah itu.
“Sekolah kita berada di desa yang cukup jauh dari
kota, kesadaran akan pendidikan pun dapat dikatakan cukup rendah. Keadaan
finansial mereka yang tidak menentu mengharuskan mereka untuk lebih memilih
bekerja mencari uang agar mereka dapat tetap bertahan hidup ketimbang duduk
diam di kelas. Setelah pulang sekolah mereka akan langsung bergegas menuju
tambang-tambang emas maupun kebun-kebun karet untuk bekerja. Malamnya, mereka
sudah merasa kelelahan dan tak punya tenaga lagi untuk belajar. Tak jarang pagi
harinya mereka akan datang terlambat dengan mata yang masih merah. Disini tidak
seperti Banjarmasin, dimana tugas siswa hanya belajar Rani. Bahkan siswa kita
masih mau ke sekolah saja seharusnya kita sudah sangat bersyukur.” Jelas Reza dengan
tenang.
Rani terdiam. Mendengarkan. Wajah putihnya mulai
digelayuti mendung.
“Kau ini..benar-benar ya..” kata Reza gemas sambil
mengacak-acak kepala Rani yang mengenakan kerudung berwarna merah muda.
Rani kaget dengan perlakuan Reza itu lalu
mencak-mencak.
“Reza.. kau membuat kerudungku berantakan!!
Memangnya aku kenapa coba?” katanya sembari membenarkan kerudungnya.
Reza hanya tertawa. Rani memang terbilang baru
mengenakan kerudung. Saat kuliah ia hanya mengikat rambut hitam panjangnya
dengan terburu-buru. Setelah tiga tahun mengumpulkan uang untuk membiayai
kuliahnya ia tetap masih harus berlari-lari mengejar setiap mata kuliah
diantara kerja paruh waktunya. Ia mulai memutuskan untuk mengenakan kerudung
saat ia lulus tes calon pegawai negeri sipil yang diselenggarakan pemerintah
provinsi tahun lalu dan ditempatkan di sekolahnya yang sekarang. Ia terbilang
beruntung karena tak perlu menganggur lama setelah menyelesaikan S1-nya. Tidak
seperti teman-teman seangkatannya yang lain.
Tapi sekolah penempatannya yang terbilang berada
di desa kecil sedikit banyak telah mengecewakannya. Ia begitu bersemangat untuk
mengaplikasikan konsep-konsep pendidikan yang telah ia dapatkan selama duduk di
universitas. Hanya saja realita di lapangan ternyata begitu jauh berbeda.
“Kau itu mudah sekali dibaca. Kau akan tertawa
lepas saat bahagia. Dan cemberut saat ada hal yang tak kau senangi. Ekspresimu
itu jujur sekali Rani.” Jawab Reza kemudian.
Rani melongo. Ini anak ngomong apa sih? Aneh
banget.
“Mhmm.. sekarang begini coba kita pikirkan
pelan-pelan jika kita mencantumkan nilai asli siswa di rapot tentunya sebagai
guru kita dianggap gagal dalam mendidik siswa. Guru yang tidak memiliki
kompetensi dan kualifikasi yang baik. Yang nantinya juga akan berimbas pada
sekolah kita. Padahal kita tahu memang siswa kita yang belum bisa menangkap
pelajaran dengan baik karena keadaannya masing-masing yang belum memungkinkan.”
Rani diam mendengarkan laki-laki yang mengenakan
kaus berwarna putih itu. Rani mengenal Reza saat pembekalan calon pegawai
negeri sipil yang diselenggarakan pemprov setempat beberapa bulan yang lalu.
Mereka satu kelompok dan menjadi dekat setelah mengetahui sama-sama berasal
dari Banjarmasin. Dan ternyata mereka juga ditempatkan di sekolah yang sama.
Diam-diam Rani bersyukur punya teman di sekolah
itu.
“Bukan nilainya yang penting tapi bagaimana kita
menjalankan tugas untuk mendidik siswa-siswa kita dengan baik. Iya kan?” tanya
Reza lagi meminta persetujuan.
Rani diam. Meski Reza lebih muda darinya. Rani tak
bisa memungkiri bahwa Reza memiliki pemikiran lebih dewasa darinya. Pembawaannya
tenang tak seperti Rani yang tak sabaran.
“Tapi Za, sekolah kita itu nggak bakal bisa maju
kalau yang sadar tugas itu cuma guru-guru baru kayak kita. Sudahlah siswanya
yang seperti kau jelaskan tadi, ditambah guru-guru senior yang kolot yang susah
sekali disuruh memperbaharui pola pikir dan pembelajaran mereka, yang bahkan
datang ke sekolah pun dapat dihitung dengan jari dalam sebulan. Apa lagi Pak
Hery. Dia itu hanya muncul beberapa menit di sekolah setiap kali waktunya
gajian.” Jawab Rani sebal.
“Iya aku pun menyayangkan sikap Pak Hery dan
beberapa guru senior lainnya yang ada di sekolah kita itu. Tapi Rani, tahukah
kamu istri Pak Hery menderita stroke? Sedangkan anak beliau satu-satunya sedang
kuliah di Jawa. Gaji beliau sebagai PNS yang sudah dipotong setengahnya untuk
membayar angsuran pinjaman bank-nya tentu tidak akan mencukupi untuk biaya
sehari-hari sekaligus biaya berobat. Makanya beliau mencari pekerjaan lain dan
tidak pernah ke sekolah. Dan aku percaya Kepala Sekolah kita juga tentunya
mempertimbangkan keadaan beliau. Itu sebabnya beliau tidak melaporkan Pak Hery
ke Diknas Kabupaten. Bukannya bersikap tidak adil. Hanya saja beliau tentu
harus bijak memutuskan masalah tersebut.”
Baru kali ini Rani mendengar tentang istri Pak
Hery. Ia pun menundukkan kepalanya. Merasa bersalah karena selama ini telah
berprasangka buruk pada pak Hery yang dianggapnya makan gaji buta. Ahh.. ini
pelik sekali, pikirnya.
***
“Waahh.. ada apa ini Bu Rani sampai bawa kue segala..”
kata Pak Agus saat Rani memotong bolu gulung mocca yang sengaja dibawanya ke
sekolah.
“Ahh.. nggak ada apa-apa kok pak. Semalam saya
iseng buat kue ini untuk dimakan sama-sama di sini.” jawab Rani.
Sebenarnya ia sengaja membawa kue itu sebagai
usahanya berbaikan dengan guru-guru yang lain terutama dengan pak Wira yang
semalam dengan frontal didebatnya dalam forum rapat kenaikan kelas semalam. Setelah
mendengarkan cerita Reza, Rani pun akhirnya menyadari betapa sempitnya
pemikiran dan prasangkanya selama ini terhadap guru-guru senior di sekolahnya
itu. Jika yang tua bisa mengayomi yang muda, bukankah sudah seharusnya yang
muda berusaha memaklumi dan menghormati? Suatu hari kelak ia pun akan menua dan
menjadi guru senior. Bisa jadi ia bahkan menjadi lebih keras kepala, lebih kolot
dan lebih kaku dari guru-guru di sini.
Rani pun memutuskan ia akan menjadi guru yang baik
untuk siswanya. Tak peduli serendah apapun nilai mereka dalam pelajarannya, ia
akan tetap berusaha mengajarkan berbagai ilmu yang dimilikinya. Oh ya tentu
saja berbagai hal baik lainnya. Agar kelak siswa-siswanya itu menjadi manusia
yang sebenar-benarnya. Itulah tekadnya saat ini. Yah.. meskipun sepertinya itu
bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Tapi bukankah menjadi guru adalah sebuah
everlasting dedication ? sebuah
dedikasi abadi.
“Owh.. saya kira ini merayakan hari jadiannya Bu
Rani dan Pak Reza..” kata kepala sekolah
yang sebentar lagi pensiun itu sambil lalu.
Wajah Rani memerah. Sedangkan Reza yang sedang
duduk di kursinya, tersedak kopi yang baru saja diminumnya. Demi melihat respon
keduanya Pak Agus terkekeh. Senang mendapatkan kesempatan untuk menggoda dua
guru muda yang baru 6 bulan mengajar di sekolahnya itu.
“Siapa bilang pak.. kami nggak jadian kok. itu
nggak benar.” Cepat-cepat Rani mengklarifikasi.
“Ahh.. benar juga nggak apa-apa kok. Kan Bu Rani
sama Pak Reza masih sama-sama sendiri. Iya kan Pak Wira?” goda pak Agus lagi.
“Iya pak, benar itu. oh ya, kemaren waktu saya ke
Palangkaraya sepertinya saya lihat ada yang makan bakso berdua. Siapa ya. Sepertinya
asyik sekali sampai-sampai tak melihat saya lewat.” sahut pak Wira.
Tak terlihat tatapan benci maupun meremehkannya. Yang
ada hanya wajah ramahnya. Ahh, Rani baru tahu kalau ternyata Pak Wira begitu
mudah memaafkan dan melupakan kejadian semalam. wajah Rani semakin memerah.
“Raninya nggak mau sama saya pak..” tiba-tiba Reza
menimpali. Rani melongo. Beberapa guru yang lain menatapnya geli.
Aarrgghh.. itu anak sampai kapan mau main
kode-kode begitu..rutuk Rani dalam hati. Sebentar, apakah itu artinya kau
bersedia mendedikasikan hidupmu untuk laki-laki itu Ran? Tanyanya lagi dalam
hati.
***
Pulang Pisau
Renyahh banget bacanya, aku sampai tidak melewatkan satu katapun...
BalasHapusAaaa... Lope-lope ka raida.. 😍😍😍😂
HapusSukaaaa... asyik bacanya.
BalasHapusAseeekkk mbak denik suka... 😀😀😀
BalasHapusAku bersedia kok A REZA. #eh bukan aku ya. Soo sweet
BalasHapus😂😂😂 ehem ntar digetok masmu mbak..
HapusSo sweet.....
BalasHapusMak piniiiiihhhhh..... 😍😍😍
Hapus