Sabtu, 15 Juli 2017

Senja

“Waah.. aku tak menyangka kalau kau seorang murid teladan.” Anak perempuan berambut panjang, berlesung pipi dengan mata indah itu tiba-tiba telah duduk di sampingku. Ia menyeringai riang. Aku pun menutup buku yang baru saja ku baca. Merapikan alat tulis. Lalu berdiri menggeser kursi. Ini jam istirahat pertama. Perpustakaan nyaris kosong melompong.

“Kenapa?” tanya anak perempuan itu dengan wajah tak mengerti.

“Terlalu berisik.” Desisku.

“Ayo kita berteman.” Senyum anak perempuan itu, manis. Ia mengulurkan tangannya, mengabaikan desisanku.

“Aku tak ingin berteman denganmu.” Jawabku. Membiarkan tangan putihnya menggantung.

“Kenapa tidak?” Kali ini keningnya berlipat. Heran.

“Aku tak ingin berteman dengan orang picik.”

“Aku?? Picik?? Kenapa aku picik?”, ia menunjuk dirinya sendiri.

“Kenapa kau membolos?”, aku balik bertanya.

“Karena membosankan.” Ia mengangkat bahunya.

“Karena itulah kau picik!!”

“Apa maksudmu??” anak perempuan berdiri. Kini kami sempurna saling berhadapan. Ia menatapku tajam. Wajahnya menyiratkan ketidaksukaan atas kalimatku sebelumnya.

“Kau pasti berpikir kau adalah orang paling malang sedunia kan? Kau selalu menderita. Dan menurutmu itu tidak adil. Kau juga pasti menganggap tidak ada seorang pun di dunia ini yang mengerti perasaaanmu!” serangku ketus.

“Memangnya kau tahu apa hah??” bentaknya. Wajahnya memerah. Perasaannya campur aduk antara marah, kaget, dan sakit hati yang ditanggungnya.

“Asal kau tahu. Di dunia ini, orang-orang malang tidak terhitung jumlahnya. Anggap saja kau menderita karena orang tuamu dan orang-orang yang menghujatmu, tapi itu tak bisa membenarkanmu melakukan apapun semaumu. Aku sungguh muak dengan sumpah serapah orang yang hidup dengan perut kenyang di istana yang mewah.”

“Aku tidak pernah meminta pendapat, bantuan ataupun pertolongan darimu.”

“Bahkan meskipun kau memintanya, tidak akan ku pertimbangkan.”  Jawabku sembari berlalu. Sudah seminggu ini aku selalu bertemu dengan anak perempuan itu di perpustakaan. Dia sekelas denganku. Tapi saat pelajaran dia justru memilih untuk tidur di perpustakaan. Menyebalkan sekali. Dasar anak orang kaya.

***

“Buuk.” Aku menangkap bola yang melayang ke arahku. Untung saja aku sempat melihatnya. Jika tidak sudah barang tentu bola itu akan mengenai kepalaku. Karena bertemu anak perempuan itu di perpustakaan, aku pun memutuskan untuk membaca bukuku di tepi lapangan. Seharusnya jarakku sudah cukup jauh dari jangkauan bola seandainya mereka benar-benar bermain.

“Hei anak baru, kau mau main?” seorang anak laki-laki sebayaku mendekat. Apa dia yang sengaja mengarahkan bolanya padaku, batinku berbisik. Di papan namanya tertulis, Ammar Mahendra. Ah, dia lah orang yang diceritakan Rezki semalam. Tentang anak seorang kepala jaksa yang paling  berpengaruh di kota ini. Cerdas, tampan, berbakat di bidang olahraga, kaya lalu kemudian pada suatu hari menemui kebosanan.

“Dia mendadak berubah dari murid teladan menjadi pemimpin geng yang di segani di sekolah ini” jelas Rezki saat kami makan siang di kantin.

Bahkan kakak kelas maupun guru-guru pun tak berani menyentuhnya. Mencari masalah dengannya sama saja harus bersiap-siap mencari sekolah baru. Dan itu artinya di luar kota. Karena siapapun yang dikeluarkan dengan tidak hormat dari sekolah elit ini, tidak akan pernah diterima sekolah lain di kota ini.

Aku menarik napas perlahan. Hufh, tak bisa kah aku menjalani hari-hariku dengan damai di sekolah ini? Aku sudah berusaha sebisa mungkin tidak menarik perhatian. Satu-satunya yang ku inginkan adalah belajar sebaik mungkin untuk mempertahankan beasiswaku. Bahkan jika bisa, aku ingin mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah nanti. Nama besar sekolah ini tentu akan sangat membantu nantinya. Meski sepertinya itu sedikit sulit karena proses seleksinya sangat ketat.

“Aku tidak mau main.” Jawabku akhirnya sembari melemparkan bola kembali padanya.

“Kulihat kau bisa berkelahi. Reflekmu pun cukup bagus. Apa kau tidak terpikir untuk jadi pengikutku?” tanya Ammar.

Pasti karena kejadian semalam. Ada beberapa kakak kelas yang membully Rezki. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba saja aku berada dalam perkelahian dengan mereka. Aku benar-benar benci melihat sekelompok orang merasa pantas merendahkan orang lain hanya karena dia tidak seperti orang itu. Selama bertahun-tahun aku mengalaminya. Seorang anak pembantu miskin.  Itu julukanku. Namun, alih-alih menjadi korban dan kalah, aku lebih suka melawan meski itu dengan jalan berkelahi.  Syukurlah selama ini guru-guru tidak pernah melihatku berkelahi sehingga nilai-nilaiku tetap aman.

“Tidak.” Aku berdiri. Bersiap meninggalkan tempat itu. Aku tak punya satu alasan pun untuk menjadi pengikutnya. 

“Kenapa? Karena aku picik?”

Aku terperangah. Apa Ammar mendengarnya saat aku berbicara dengan anak perempuan itu?

“Sejenis itu.” Aku bersiap. Kalau-kalau dia akan menyerangku seperti kakak kelas semalam.

“Hahahahaha. Ammar tertawa. Kalian berdua memang benar-benar mirip. Kau dengan Jihan.”

“Apa maksudmu?” Aku menatapnya tak mengerti. Bagaimana bisa aku mirip dengan anak perempuan itu. 

“Namaku Ammar” dia mengulurkan tangannya.

“Aku tahu.” Jawabku sembari menjabat tangannya. Setidaknya dia tidak mengajakku berkelahi, pikirku.

***

Aku menatap pagar yang menjulang tinggi di hadapanku. Sudah seminggu, tapi aku tidak juga terbiasa. Aku membuka pagar dan melangkah masuk. Sebuah taman yang luas lengkap dengan kolam air mancur yang cantik di tengah-tengahnya menyambutku. Rumah besar itu nampak sepi. Sebenarnya memang selalu sepi. Baru ramai ketika Tuan Bramantyo pulang dengan pakaian kusut dan mabuk yang kemudian disambut nyonya Vivian dengan amarah. Biasanya saat jam 2-3 pagi.

Aku membelok saat berada di depan rumah itu. Menuju rumah mungil yang berada persis disamping rumah besar tersebut. Aku mengucapkan salam lalu mendorong pintu.

“Kau sudah pulang Lintang? Ganti bajumu dan makanlah.” kulihat ibu sedang menyiapkan makanan.

“Iya Ibu.” Aku masuk ke kamar. Meletakkan tas lalu berganti baju.

“Hari ini Lingga ada les di sekolah. Setelah selesai makan kau jemput dia ya. Ibu masih harus kembali ke dapur.” kata ibu lagi setelah aku duduk di hadapannya. Bersiap untuk makan.

“Ibu tidak makan dulu?”

“Sudah nak, seharian ibu di dapur yang penuh makanan.” Ibu tersenyum. Aku tak yakin ibu sempat makan dengan baik saat keluarga Bramantyo akan menggelar pesta seperti saat ini. 

“Bukankah hubungan Tuan Bram dengan istrinya tidak pernah baik Ibu? Untuk apa pesta perayaan ulang tahun pernikahan ini diselenggarakan? Toh Tuan Bram lebih memilih nona sekertaris itu daripada Nyonya Vivian.”

“Hush! Jaga mulutmu Lintang. Biarkan saja itu menjadi urusan mereka. Kita harus bersyukur Tuan Bram memberi ibu kesempatan  untuk bekerja di sini. Dan bisa menempati rumah ini.” ibu mulai mengomeliku.

Aku mengangkat bahu. Meneruskan makan.

***

 Faded-nya Alan Walker membuatku terhenti mengerjakan 15 soal PR Matematika yang diberikan pak Santoso. Ku raih ponselku.

“Hallo”

“Lintang dimana kau?! Nona Jihan hilang! Kau harus mencarinya. Kau satu kelas dengannya kan? Kau pasti tahu teman-temannya. Aku takut terjadi sesuatu dengannya.” Suara Ibu terdengar panik.

“Bukannya dia tadi ada di rumahnya bu? Dia ikut pestanya kan? Aku ada di perpustakaan sekarang.” Jawabku sembari merapikan barang-barang di atas meja dengan cepat.

“Dia tadinya memang di sini. Tapi pestanya dibatalkan karena Nyonya Vivian pergi. Ia memutuskan untuk bercerai dengan Tuan Bram. Kau carilah di tempat-tempat yang biasanya didatanginya. Ia pasti sedang sedih sekali sekarang”.

Aku menarik napas perlahan. Dimana aku harus mencarinya? Lagipula bukankah dia anak perempuan yang kuat? Setidaknya demikianlah yang terlihat. Sulit sekali membayangkan Jihan Bramantyo menangis sesenggukan di suatu tempat. Jihan yang selalu berani meninggalkan kelas meski guru sedang mengajar. Jihan yang rela berkelahi dengan kakak kelas karena melihat temannya di-bully. Jihan yang selalu bisa membalas siswa iseng yang mengejeknya karena isu perselingkuhan ayahnya yang telah diketahui khalayak ramai. Meskipun aku tidak menyukai sikap soknya itu, aku mengakui jihan adalah gadis pemberani. Dia kuat. Jangan-jangan itu hanya perkiraanku saja?

Sekali lagi ponselku berdering.

“Lintang, dia tidak ada di sekolah! Cobalah pergi ke villa keluarganya. Akan ku sms-kan alamatnya. Aku akan mencoba mencari rumah teman-temannya. Ku harap dia tidak berbuat bodoh. Meski selama ini nampak tak bisa diatur sebenarnya dialah yang paling terluka dengan keputusan tante Vivian ini.” jelas Ammar dengan cepat.

“Ammar, kenapa kau memberitahuku semua ini? bukan kah kau tahu aku tidak menyukai anak-anak kaya seperti kalian? Aku pun tidak berteman baik dengan Jihan.”

“Karena kalian mirip. –aku mendengar helaan napas Ammar. Meski aku telah mengenal Jihan sejak kecil, aku tidak pernah bisa mengusiknya saat ia terluka. Seakan ia menciptakan sebuah dinding pembatas yang tak bisa ku runtuhkan. Meski ia selalu tersenyum padaku, aku tahu dia sedang sedih dan kesepian. Tadinya aku tidak menyukaimu yang terang-terangan menyerangnya secara frontal, tapi kau berbeda Lintang. Kau satu-satunya orang yang berhasil membuatnya tetap di kelas saat pelajaran berlangsung.”

“Aku pikir dia hanya bosan tidur di perpustakaan.” Karena meskipun dia ada di kelas, yang dilakukannya hanya tidur.

Ammar tertawa lirih. “Percayalah sobat tidak ada yang pernah berhasil membuatnya tetap bertahan di kelas selama jam pelajaran.” 

Apakah rasa benciku pada anak-anak kaya yang selama ini suka menggangguku, telah membuatku bersikap tak adil padanya? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.

***
“Bagaimana bisa kau menemukanku di sini?” tanyanya heran.

Tak ada air mata. Seperti dugaanku, dia tak menangis. Tapi melihatnya duduk di tepi kolam renang dengan tatapan kosong memang membuatnya terlihat begitu sedih dan kesepian. Gaun putihnya nampak sedikit kusut. Aku ikut duduk di sebelahnya. Dinginnya air kolam menyentuh kakiku. 

“Apa yang kau lakukan di sini? semua orang sedang sibuk mencarimu.”

“Bukankah kau bahkan tidak akan mempertimbangkan jika aku meminta tolong? Kenapa kau mencariku?”

“Aku sedang menjalankan perintah ibuku. Dan aku membantu Ammar.” Jawabku sekenanya.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Semburat jingga di ufuk barat terlihat begitu indah. Villa bertingkat dengan desain minimalis ini berhadapan langsung dengan laut. Aku bahkan bisa mendengar deru ombak dari tempatku duduk.


google picture


“Aku minta maaf” kataku lirih.

“Untuk apa?”

“Apapun itu?” jawabku lagi. Aku tak pandai berkata-kata manis pada seorang gadis.
Kami terdiam kembali.

“Ibuku pergi..” lirih Jihan.

Aku menghembuskan napas perlahan.

“Dia akan kembali”, aku masih menatap langit senja.

“Entah mengapa aku tahu dia tidak akan kembali. Sejak lama aku tahu kalau suatu hari ibuku pasti akan pergi dan meninggalkanku.” Matanya berkaca-kaca.

“Ada bayak hal di dunia ini yang berada di luar kendali kita. Ada satu titik dimana kita tak punya pilihan selain melakukan yang bisa kita lakukan. Seperti senja. Kita tak bisa menahan senja pergi meski ia teramat indah", aku menatapnya sungguh-sungguh. 

"Aku tidak ingin kau menderita karena hal yang tak bisa kau ubah, Jihan.” 

Dan akhirnya ia pun menangis sesenggukan.


Palangkaraya, 15 Juli 2017
#tantangankelasfiksi1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...