“Waah.. aku tak menyangka kalau kau seorang murid teladan.” Anak perempuan
berambut panjang, berlesung pipi dengan mata indah itu tiba-tiba telah duduk di
sampingku. Ia menyeringai riang. Aku pun menutup buku yang baru saja ku baca.
Merapikan alat tulis. Lalu berdiri menggeser kursi. Ini jam istirahat pertama.
Perpustakaan nyaris kosong melompong.
“Kenapa?” tanya anak perempuan itu dengan wajah tak mengerti.
“Terlalu berisik.” Desisku.
“Ayo kita berteman.” Senyum anak perempuan itu, manis. Ia mengulurkan tangannya,
mengabaikan desisanku.
“Aku tak ingin berteman denganmu.” Jawabku. Membiarkan tangan putihnya
menggantung.
“Kenapa tidak?” Kali ini keningnya berlipat. Heran.
“Aku tak ingin berteman dengan orang picik.”
“Aku?? Picik?? Kenapa aku picik?”, ia menunjuk dirinya sendiri.
“Kenapa kau membolos?”, aku balik bertanya.
“Karena membosankan.” Ia mengangkat bahunya.
“Karena itulah kau picik!!”
“Apa maksudmu??” anak perempuan berdiri. Kini kami sempurna saling
berhadapan. Ia menatapku tajam. Wajahnya menyiratkan ketidaksukaan atas
kalimatku sebelumnya.
“Kau pasti berpikir kau adalah orang paling malang sedunia kan? Kau selalu
menderita. Dan menurutmu itu tidak adil. Kau juga pasti menganggap tidak ada
seorang pun di dunia ini yang mengerti perasaaanmu!” serangku ketus.
“Memangnya kau tahu apa hah??” bentaknya. Wajahnya memerah. Perasaannya
campur aduk antara marah, kaget, dan sakit hati yang ditanggungnya.
“Asal kau tahu. Di dunia ini, orang-orang malang tidak terhitung jumlahnya.
Anggap saja kau menderita karena orang tuamu dan orang-orang yang menghujatmu,
tapi itu tak bisa membenarkanmu melakukan apapun semaumu. Aku sungguh muak
dengan sumpah serapah orang yang hidup dengan perut kenyang di istana yang
mewah.”
“Aku tidak pernah meminta pendapat, bantuan ataupun pertolongan darimu.”
“Bahkan meskipun kau memintanya, tidak akan ku pertimbangkan.” Jawabku sembari berlalu. Sudah seminggu ini
aku selalu bertemu dengan anak perempuan itu di perpustakaan. Dia sekelas
denganku. Tapi saat pelajaran dia justru memilih untuk tidur di perpustakaan.
Menyebalkan sekali. Dasar anak orang kaya.
***
“Buuk.” Aku menangkap bola yang melayang ke
arahku. Untung saja aku sempat melihatnya. Jika tidak sudah barang tentu bola
itu akan mengenai kepalaku. Karena bertemu anak perempuan itu di perpustakaan,
aku pun memutuskan untuk membaca bukuku di tepi lapangan. Seharusnya jarakku
sudah cukup jauh dari jangkauan bola seandainya mereka benar-benar bermain.
“Hei anak baru, kau mau main?” seorang anak
laki-laki sebayaku mendekat. Apa dia yang sengaja mengarahkan bolanya padaku,
batinku berbisik. Di papan namanya tertulis, Ammar Mahendra. Ah, dia lah orang
yang diceritakan Rezki semalam. Tentang anak seorang kepala jaksa yang
paling berpengaruh di kota ini. Cerdas,
tampan, berbakat di bidang olahraga, kaya lalu kemudian pada suatu hari menemui
kebosanan.
“Dia mendadak berubah dari murid teladan menjadi
pemimpin geng yang di segani di sekolah ini” jelas Rezki saat kami makan siang
di kantin.
Bahkan kakak kelas maupun guru-guru pun tak berani
menyentuhnya. Mencari masalah dengannya sama saja harus bersiap-siap mencari
sekolah baru. Dan itu artinya di luar kota. Karena siapapun yang dikeluarkan
dengan tidak hormat dari sekolah elit ini, tidak akan pernah diterima sekolah
lain di kota ini.
Aku menarik napas perlahan. Hufh, tak bisa kah aku
menjalani hari-hariku dengan damai di sekolah ini? Aku sudah berusaha sebisa
mungkin tidak menarik perhatian. Satu-satunya yang ku inginkan adalah belajar
sebaik mungkin untuk mempertahankan beasiswaku. Bahkan jika bisa, aku ingin
mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah nanti. Nama besar sekolah ini tentu
akan sangat membantu nantinya. Meski sepertinya itu sedikit sulit karena proses
seleksinya sangat ketat.
“Aku tidak mau main.” Jawabku akhirnya sembari
melemparkan bola kembali padanya.
“Kulihat kau bisa berkelahi. Reflekmu pun cukup
bagus. Apa kau tidak terpikir untuk jadi pengikutku?” tanya Ammar.
Pasti karena kejadian semalam. Ada beberapa kakak
kelas yang membully Rezki. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba saja aku berada
dalam perkelahian dengan mereka. Aku benar-benar benci melihat sekelompok orang
merasa pantas merendahkan orang lain hanya karena dia tidak seperti orang itu.
Selama bertahun-tahun aku mengalaminya. Seorang anak pembantu miskin. Itu julukanku. Namun, alih-alih menjadi korban
dan kalah, aku lebih suka melawan meski itu dengan jalan berkelahi. Syukurlah selama ini guru-guru tidak pernah
melihatku berkelahi sehingga nilai-nilaiku tetap aman.
“Tidak.” Aku berdiri. Bersiap meninggalkan tempat
itu. Aku tak punya satu alasan pun untuk menjadi pengikutnya.
“Kenapa? Karena aku picik?”
Aku terperangah. Apa Ammar mendengarnya saat aku berbicara
dengan anak perempuan itu?
“Sejenis itu.” Aku bersiap. Kalau-kalau dia akan
menyerangku seperti kakak kelas semalam.
“Hahahahaha. Ammar tertawa. Kalian berdua memang
benar-benar mirip. Kau dengan Jihan.”
“Apa maksudmu?” Aku menatapnya tak mengerti.
Bagaimana bisa aku mirip dengan anak perempuan itu.
“Namaku Ammar” dia mengulurkan tangannya.
“Aku tahu.” Jawabku sembari menjabat tangannya. Setidaknya
dia tidak mengajakku berkelahi, pikirku.
***
Aku menatap pagar yang menjulang tinggi di
hadapanku. Sudah seminggu, tapi aku tidak juga terbiasa. Aku membuka pagar dan
melangkah masuk. Sebuah taman yang luas lengkap dengan kolam air mancur yang
cantik di tengah-tengahnya menyambutku. Rumah besar itu nampak sepi. Sebenarnya
memang selalu sepi. Baru ramai ketika Tuan Bramantyo pulang dengan pakaian
kusut dan mabuk yang kemudian disambut nyonya Vivian dengan amarah. Biasanya
saat jam 2-3 pagi.
Aku membelok saat berada di depan rumah itu.
Menuju rumah mungil yang berada persis disamping rumah besar tersebut. Aku
mengucapkan salam lalu mendorong pintu.
“Kau sudah pulang Lintang? Ganti bajumu dan
makanlah.” kulihat ibu sedang menyiapkan makanan.
“Iya Ibu.” Aku masuk ke kamar. Meletakkan tas lalu
berganti baju.
“Hari ini Lingga ada les di sekolah. Setelah
selesai makan kau jemput dia ya. Ibu masih harus kembali ke dapur.” kata ibu
lagi setelah aku duduk di hadapannya. Bersiap untuk makan.
“Ibu tidak makan dulu?”
“Sudah nak, seharian ibu di dapur yang penuh
makanan.” Ibu tersenyum. Aku tak yakin ibu sempat makan dengan baik saat keluarga
Bramantyo akan menggelar pesta seperti saat ini.
“Bukankah hubungan Tuan Bram dengan istrinya tidak
pernah baik Ibu? Untuk apa pesta perayaan ulang tahun pernikahan ini
diselenggarakan? Toh Tuan Bram lebih memilih nona sekertaris itu daripada
Nyonya Vivian.”
“Hush! Jaga mulutmu Lintang. Biarkan saja itu
menjadi urusan mereka. Kita harus bersyukur Tuan Bram memberi ibu kesempatan untuk bekerja di sini. Dan bisa menempati
rumah ini.” ibu mulai mengomeliku.
Aku mengangkat bahu. Meneruskan makan.
***
Faded-nya
Alan Walker membuatku terhenti mengerjakan 15 soal PR Matematika yang diberikan
pak Santoso. Ku raih ponselku.
“Hallo”
“Lintang dimana kau?! Nona Jihan hilang! Kau harus
mencarinya. Kau satu kelas dengannya kan? Kau pasti tahu teman-temannya. Aku
takut terjadi sesuatu dengannya.” Suara Ibu terdengar panik.
“Bukannya dia tadi ada di rumahnya bu? Dia ikut
pestanya kan? Aku ada di perpustakaan sekarang.” Jawabku sembari merapikan
barang-barang di atas meja dengan cepat.
“Dia tadinya memang di sini. Tapi pestanya
dibatalkan karena Nyonya Vivian pergi. Ia memutuskan untuk bercerai dengan Tuan
Bram. Kau carilah di tempat-tempat yang biasanya didatanginya. Ia pasti sedang
sedih sekali sekarang”.
Aku menarik napas perlahan. Dimana aku harus
mencarinya? Lagipula bukankah dia anak perempuan yang kuat? Setidaknya demikianlah
yang terlihat. Sulit sekali membayangkan Jihan Bramantyo menangis sesenggukan
di suatu tempat. Jihan yang selalu berani meninggalkan kelas meski guru sedang
mengajar. Jihan yang rela berkelahi dengan kakak kelas karena melihat temannya
di-bully. Jihan yang selalu bisa membalas siswa iseng yang mengejeknya karena isu
perselingkuhan ayahnya yang telah diketahui khalayak ramai. Meskipun aku tidak
menyukai sikap soknya itu, aku mengakui jihan adalah gadis pemberani. Dia kuat.
Jangan-jangan itu hanya perkiraanku saja?
Sekali lagi ponselku berdering.
“Lintang, dia tidak ada di sekolah! Cobalah pergi
ke villa keluarganya. Akan ku sms-kan alamatnya. Aku akan mencoba mencari rumah
teman-temannya. Ku harap dia tidak berbuat bodoh. Meski selama ini nampak tak
bisa diatur sebenarnya dialah yang paling terluka dengan keputusan tante Vivian
ini.” jelas Ammar dengan cepat.
“Ammar, kenapa kau memberitahuku semua ini? bukan
kah kau tahu aku tidak menyukai anak-anak kaya seperti kalian? Aku pun tidak
berteman baik dengan Jihan.”
“Karena kalian mirip. –aku mendengar helaan napas
Ammar. Meski aku telah mengenal Jihan sejak kecil, aku tidak pernah bisa
mengusiknya saat ia terluka. Seakan ia menciptakan sebuah dinding pembatas yang
tak bisa ku runtuhkan. Meski ia selalu tersenyum padaku, aku tahu dia sedang
sedih dan kesepian. Tadinya aku tidak menyukaimu yang terang-terangan menyerangnya
secara frontal, tapi kau berbeda Lintang. Kau satu-satunya orang yang berhasil
membuatnya tetap di kelas saat pelajaran berlangsung.”
“Aku pikir dia hanya bosan tidur di perpustakaan.”
Karena meskipun dia ada di kelas, yang dilakukannya hanya tidur.
Ammar tertawa lirih. “Percayalah sobat tidak ada yang
pernah berhasil membuatnya tetap bertahan di kelas selama jam pelajaran.”
Apakah rasa benciku pada anak-anak kaya yang selama ini suka menggangguku,
telah membuatku bersikap tak adil padanya? Berbagai pikiran berkecamuk di
kepalaku.
***
“Bagaimana bisa kau menemukanku di sini?” tanyanya
heran.
Tak ada air mata. Seperti dugaanku, dia tak
menangis. Tapi melihatnya duduk di tepi kolam renang dengan tatapan kosong
memang membuatnya terlihat begitu sedih dan kesepian. Gaun putihnya nampak
sedikit kusut. Aku ikut duduk di sebelahnya. Dinginnya air kolam menyentuh
kakiku.
“Apa yang kau lakukan di sini? semua orang sedang
sibuk mencarimu.”
“Bukankah kau bahkan tidak akan mempertimbangkan
jika aku meminta tolong? Kenapa kau mencariku?”
“Aku sedang menjalankan perintah ibuku. Dan aku
membantu Ammar.” Jawabku sekenanya.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Semburat jingga
di ufuk barat terlihat begitu indah. Villa bertingkat dengan desain minimalis
ini berhadapan langsung dengan laut. Aku bahkan bisa mendengar deru ombak dari
tempatku duduk.
google picture |
“Aku minta maaf” kataku lirih.
“Untuk apa?”
“Apapun itu?” jawabku lagi. Aku tak pandai
berkata-kata manis pada seorang gadis.
Kami terdiam kembali.
“Ibuku pergi..” lirih Jihan.
Aku menghembuskan napas perlahan.
“Dia akan kembali”, aku masih menatap langit
senja.
“Entah mengapa aku tahu dia tidak akan kembali. Sejak
lama aku tahu kalau suatu hari ibuku pasti akan pergi dan meninggalkanku.” Matanya
berkaca-kaca.
“Ada bayak hal di dunia ini yang berada di luar
kendali kita. Ada satu titik dimana kita tak punya pilihan selain melakukan
yang bisa kita lakukan. Seperti senja. Kita tak bisa menahan senja pergi meski ia teramat indah", aku menatapnya sungguh-sungguh.
"Aku tidak ingin kau menderita karena hal yang tak bisa
kau ubah, Jihan.”
Dan akhirnya ia pun menangis sesenggukan.
Palangkaraya, 15 Juli 2017
#tantangankelasfiksi1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar