Ada sebuah foto koran yang isi beritanya
mengenai batalnya pengelolaan SMA dan SMK di bawah naungan Pemerintah Provinsi,
yang kini sedang viral beredar di antara guru-guru. Foto itu entah mengapa
tiba-tiba muncul diberbagai grup WA Guru yang juga saya ikuti. Bahkan ada guru
yang sengaja mengirimnya secara japri kepada saya langsung.
Foto itupun tidak jelas koran apa dan
terbitnya kapan. Tapi, viralnya foto tersebut berhasil mengundang berbagai
reaksi yang berbeda dari para guru. Karena isi dari berita tersebut adalah tentang putusan MK yang
seolah-olah telah memenangkan gugatan terhadap UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah Pasal 15 Ayat 1 dan 2 serta Lampiran huruf A tentang
Pembagian Urusan Pemerintaha Bidang Pendidikan dalam sub urusan Manajemen
Pendidikan.
Tujuan utama dari gugatan yang diajukan oleh
Ketua Komite SMAN 4 Surabaya, SMPN 1 Surabaya, dan beberapa wali murid SMAN 5
Surabaya pada tanggal 7 Maret 2016 tersebut adalah, menolak pengalihan wewenang
pengelolaan SMA dan SMK dari Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Provinsi. Padahal,
jika kita menilik kecenderungan guru-guru SMA dan SMK (termasuk saya pribadi), mereka lebih suka pengelolaan SMA dan SMK ini
memang dialihkan kepada Pemerintah Provinsi saja. Alasan paling mendasar
tentunya harapan akan peningkatan kesejahteraan para guru ini. Karena kemampuan
Provinsi untuk memberikan tunjangan daerah lebih (jauh) besar dari yang mampu
diberikan oleh pemerintah Kabupaten itu sendiri. Seperti yang ada di Provinsi
Kalimantan Tengah ini misalnya, ada beberapa daerah yang penerimaan APBD-nya
sangat kecil sehingga membuat Pemerintah Kabupaten hanya mampu memberikan Tunjangan
Daerah sebesar Rp. 250.000 atau bahkan tidak memberi sama sekali. Sedangkan
Kabupaten yang “kaya” bahkan mampu memberikan setengah dari gaji pokok pegawai
golongan IV. Terlihat sekali ketimpangannya bukan? Meski memang benar,kita
tidak bisa mengharapkan kaya secara materi dengan menjadi guru. Tapi bukan berarti
lantas kesejahteraan para guru ini dinihilkan bukan?
Alasan yang kedua, adalah kurangnya optimalisasi pelayanan dari pihak
Dinas Pendidikan Kabupaten terhadap guru-guru SMA dan SMK. Diantaranya adalah
kurang meratanya akses informasi mengenai kesempatan peningkatan
profesionalitas dan karir guru.
Mungkin saja Surabaya mampu mengcover 2
masalah mendasar di atas. Penerimaan APBD-nya besar dan political will
pemerintah kotanya dalam mengelola SMA dan SMK juga dinilai telah sangat
memadai. Hanya saja, Indonesia itu tidak hanya tentang Surabaya bukan?
Hendaknya MK mampu mempertimbangkan segala keputusannya sesuai dengan kondisi
di masing-masing daerah. Sehingga tidak ada guru SMA dan SMK yang merasa tidak
diperlakukan dengan adil. Yang nantinya akan berimbas pada pembangunan
pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar