Google Image |
Agustus selalu menjadi bulan yang begitu istimewa, begitu sakral bagi seluruh rakyat indonesia. Pasalnya 71 tahun lalu, pada tanggal 17 bulan inilah, bangsa ini mengikrarkan diri. Melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat atas wilayah nya. Berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka.
Mengingat begitu panjangnya perjuangan para pahlawan untuk mewujudkan
kemerdekaan bangsa ini, sudah sewajarnyalah rakyat indonesia begitu gembira
setiap merayakan hari kemerdekaan. Bendera dikibarkan.Umbul-umbul dipasang. Ornamen-ornamen
bernuansa merah putih pun turut menghiasi . Tentunya tidak ketinggalan, lomba-lomba
yang diadakan guna menyemarakkan kemeriahan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.
Seluruh bangsa bersuka cita. Larut dalam kebahagiaan. Meskipun, waktu kecil
aku benar-benar tak mengerti apa hubungan menggigit sendok yang diatasnya telah
diletakkan kelereng dengan perjuangan kemeredekaan Indonesia yang terdengar
penuh aksi heroik yang mengharukan itu.
“Ini nasionalisme!” seru orang-orang dewasa.
Tentu saja, saat itu saya tidak mengerti apa itu nasionalisme. Lalu
terendaplah kata itu di dasar pikiran.
Kini, berpuluh tahun kemudian, terdengarlah kabar bahwa Presiden Joko
Widodo memberhentikan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, yang juga merupakan
alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), Arcandra Tahar. Pemberhentian ini
menyusul isu dwi kewarganegaraan yang dimilikinya.
Kemudian polemik kewarganegaraan ini juga dialami Gloria, seorang siswi SMA
di Depok yang gagal menjadi pasukan Paskibraka dalam perhelatan akbar perayaan
kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Merdeka, karena diketahui memiliki
paspor Perancis. Meski kabarnya sore ini Gloria telah mendapatkan izin dari Presiden untuk upacara penurunan bendera.
Lalu tiba-tiba, banyak yang berkomentar tentang nasionalisme terkait dua
kasus di atas. Sebenarnya apakah nasionalisme itu? Terlepas dari semua isu yang
berkembang terkait kasus ini, menurut saya pribadi, rasanya tidak adil sekali melihat
seorang anak bangsa tak dapat membaktikan dirinya pada Ibu Pertiwi karena
terganjal kewarganegaraan.
Di luar sana ada banyak anak bangsa yang terpaksa beralih kewarganegaraan
karena berbagai alasan. Bukan karena
sekedar ‘ingin’. Meski demikian, banyak diatara mereka yang tetap merasa masih
memiliki ikatan dengan Indonesia. Mereka berkumpul, berkomunitas, lalu
menggelar atau menghadiri acara-acara yang berbau ke-Indonesia-an. Tak bisa kah ini disebut sebagai nasionalisme?
Semoga pemerintah segera memiliki solusi untuk masalah ini hingga di masa
yang akan datang tak ada lagi Archandra Tahar maupun Gloria lainnya. Dengan semangat
kemerdekaan, mari membaktikan diri kepada negeri dengan prestasi.
Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
#ALUMNI_SEKOLAHPEREMPUAN
Palangkaraya
17 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar