“Mana Rapotmu Lia?” tanya Ust. Haris. Malam itu pondok
sepi. Para santri banyak yang pulang ke rumah mereka masing-masing untuk
menghabiskan liburan semester. Hanya aku dan beberapa teman yang memang tidak
punya pilihan untuk pulang yang masih bertahan di pondok. Well, rumahku di
Kalimantan sana. Aku baru pulang saat liburan puasa Ramadhan. Begitu juga Susi
temanku dari Lombok. Kalau Maramitha sih rumahnya dekat sekali dari pondok,
karena malas saja, makanya dia memutuskan untuk tidak pulang. Bingung mau ngapain,
kami pun memutuskan untuk leyeh-leyeh di serambi pondok. Saat itulah Ust. Haris
datang. Membawa gorengan. Dengan mata berpendar, kami pun menyambut beliau
dengan riang gembira. Sepertinya Ustadz kami yang baik hati itu tahu betul kami
bakal keleleran di pondok.
Demi mendengar pertanyaan beliau aku langsung berlari
menuju kamarku lantai dua. Mengambil rapot yang baru saja ku terima tadi pagi
di kelas.
“Nilai-nilaimu cukup bagus Lia.” Ust. Haris berujar
sembari menekuri lembar- demi lembar dari rapotku.
“Tapi pak, saya masih belum bisa menguasai Bahasa Arab
dengan benar. Ahh.. Faroidh. Itu
benar-benar membuat frustasi.” Keluhku panjang lebar pada laki-laki kelahiran
Sumenep di hadapanku itu. Mumpung kewajiban menggunakan lughoh tidak aktif, dan tidak ada yang men-ta’zir.
“Kamu dari SMP umum kan? Dan ini tahun pertamamu belajar
Bahasa Arab. Wajar saja jika kamu belum
begitu lancar berbahasa Arab. Tapi menurut bapak ini awal yang bagus, kamu bisa
di peringkat tujuh.” Kata beliau lagi.
Walaupun hati senang karena telah dipuji guru favoritku
itu, aku tetap memasang wajah cemberut. Owh, ayolah, apa bagusnya perigkat
tujuh? Saat SMP aku biasa selalu masuk 3 besar. Tapi Ustadz Haris dengan
ketenangan dan keteduhannya mampu menasehatiku dengan cara yang sangat cantik. Dengan
cerita. Aku bahkan bersedia duduk lama-lama demi mendengarkan beliau bercerita
saat berkesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Mesir selama satu
tahun. Padahal saat itu beliau pun belum pandai benar berbahasa Arab. Masih sebatas
“huwa- humaa- hum” kata beliau. Waahh..
semakin terkagumlah aku kepada beliau.
Suatu hari entah bagaimana Ust. Haris memintaku mengikuti
lomba penulisan karya ilmiah yang diselenggarakan Woman Crisis Center Kab.
Jombang bersama dua temanku yang lain. Maka dimulailah penderitaanku. Ust.
Haris meminta kami membaca banyak sekali buku. Padahal asal kalian tahu, meski
aku suka sekali membaca, aku itu lebih suka membaca novel atau komik. Mana suka
aku membaca buku tentang perempuan. Ya please deh, aku perempuan. Disuruh baca
buku tentang perempuan.
Tapi sekali lagi, Ust. Haris bisa membuatku tak punya
pilihan lain selain melahap buku-buku yang beliau sodorkan itu. Kami pun banyak
berdiskusi. Dan ternyata aku malah ketagihan. Semakin banyak buku yang ku baca
mengenai perempuan, semakin banyak juga pertanyaan bermunculan di otakku. Hingga
bahkan pertanyaan itu malah terlihat sepele dan konyol. Ini memang kebiasaanku
sejak kecil.
Saat SD, aku bahkan sering mendatangi guruku yang sedang
piket untuk bertanya -karena saking penasarannya-, “Bu guru, kenapa setiap
wilayah negara punya batasnya masing-masing?” atau “Kenapa negara kita diberi
nama Indonesia?” Bahkan aku bertanya, kenapa pohon itu disebut pohon?” Parah. Hahaha..
Semoga guru SD ku itu diberi kemuliaan oleh Allahu Rabbi.
Tapi Ustadzku itu alih-alih menertawakanku, beliau justru
memberiku buku baru untuk dibaca. Ya Salaaam... padahal aku yakin sekali dengan
keluasan ilmu beliau, adalah hal yang gampang untuk beliau menjelaskannya
dengan gamblang kepadaku.
Namun semua itu tidak sia-sia. Setelah semua diskusi,
semua perdebatan, juga gorengan dan es teh, karya tulis kami pun dianggap layak
oleh Ust. Haris. Kami pun berangkat dengan kepercayaan diri yang tinggi. Sayangnya,
kepercayaan diri kami itu pun meleleh setiba kami di tempat lomba. Sekolah-sekolah
yang lain sudah menggunakan laptop sebagai media presentasi mereka. Sedangkan kami
hanya menenteng buku-buku. Saat itu memang kami tidak tahu kalau presentasinya
akan digelar secara terbuka seperti itu, karena memang tidak ada pemberitahuan
dari pihak panitia.
“Tunggu ustadz di sini.”kata Ust. Haris, yang kemudian
berlalu sebelum kami sempat menjawab.
Tak berapa lama beliau datang dengan membawa gulungan
karton putih dan spidol dan beberapa minuman mineral.
“Kalian presentasi pakai ini saja.” Ujar beliau sembari
menyerahkan bawaannya itu.
Jadilah kami presentasi dengan karton itu. Meski nampak
menggenaskan, alhamdulillah kami bisa membawa pulang gelar juara tiga. Sungguh sebuah
moment yang membahagiakan.
Sebenarnya banyak sekali hal yang bisa ku ceritakan
tentang guruku itu. Beliau itu tempat curhat yang asyik. Seperti dengan orang
tua sendiri. Pun di lain waktu bisa menjelma menjadi teman debat ngalor-ngidul.
Tempat aku mempresentasikan mimpi-mimpi dan idealisme yang sekarang jika aku
mengingatnya, aku bakal ketawa sendiri karena sadar betapa naifnya aku dulu.
Ah, setelah dipikir-pikir lagi, Allah itu sungguh teramat
baik padaku. Ia memertemukanku dengan orang-orang hebat seperti guru-guruku
itu. sungguh aku berharap, semoga aku bisa menjadi seperti beliau-beliau itu. Menjadi
pribadi- pribadi yang menginspirasi.
Semoga Allah selalu memuliakan Ust. Haris dan semua
guru-guruku yang lain. Aamiin.
Ust. Haris dan Mr. Mukhit |
*ODOP Challenge
*Tantangan Mbak Dymar
Amiin
BalasHapus