“Vania Aurellyn Meyrinka.”
Sebuah suara bernada tegas berhasil menghentikan
langkah Aurin. Pada dasarnya Aurin tidak sedang berniat untuk membandingkan
ketua kelasnya itu dengan ular. Sorot matanya sih mungkin mirip, pikir Aurin
iseng. Hanya saja sepertinya gadis berusia 17 tahun itu menjadi teramat yakin
kalau ketua kelasnya itu berkesempatan untuk menggigitnya, bisanya akan lebih
beracun dari ular!
Aurin menghembuskan napas dengan kesal. Kenapa
juga tadi dia harus berpapasan dengan cowok rese itu. Entah mengapa, Ryan selalu
memanggilnya dengan nama lengkap. Seakan belum cukup menyebalkan, Ryan juga
selalu bisa membuatnya terjebak bersamanya. Kali ini apalagi kalau bukan untuk
mengerjakan tugas dari salah satu gurunya, Pak Rahmat. Mereka diminta untuk mengembalikan
berbagai karya sastra yang mereka pinjam saat pelajaran bahasa tadi.
“Kau tidak sedang pura-pura lupa tugasmu kan?”
tanya anak cowok berkaca mata itu sengit.
Aurin memilih mendengus sebal ketimbang
menjawabnya. Heran deh, kok bisa sih ni anak begitu konsisten dengan tingkah
sok kuasa menyebalkannya itu, pikir Aurin. Dan kenapa juga dia senang sekali
mem-bully ku? Bukannya biasanya anak pindahan itu diperlakukan lebih istimewa
ya?
“Kapan kau sampai di perpustakaan kalau kau
melamun seperti orang bodoh begitu?” lagi Ryan menyindirnya dengan ketus.
Sabar Aurin. Sabar Aurin. Sabar Aurin. Sebut Aurin
dalam hati sembari menata novel-novel dan mengikuti langkah kaki ketua kelasnya
itu. Setelah mengembalikan semua novel Aurin segera kabur terebih dahulu.
Terlalu malas untuk pulang bersamaan dengan Ryan. Karena terlalu terburu-buru,
aurin tidak memperhatikan jalan didepannya yang ternyata sedikit bolong.
Pavingnya hilang entah kemana.
“Aakkhh..” dirasakannya sakit yang menjalar saat
ia berusaha menggerakkan kakinya. Oh God.. what a perfect day! rutuknya dalam
hati. Rina sahabat dekatnya, yang juga teman sebangkunya sudah pulang duluan
karena harus mengantarkan beberapa proposal untuk acara ulang tahun sekolah
mereka bulan depan. Dengan tertatih, sembari menahan sakit ia pun mulai
melangkah pelan.
Tidak lama. Karena beberapa siswi tiba-tiba datang
menghadangnya. Aurin memicingkan mata. Mau apa Bella cs menghadangnya seperti
ini? tanyanya dalam hati.
“Inget ya Aurin, jangan sampai kamu berurusan sama
Bella dan anak buahnya. Mereka itu center of power-nya sekolah ini. Mending
cepat-cepat pergi deh, daripada jadi bulan-bulanan mereka selama sekolah di
sini.”
Aurin teringat salah satu wanti-wanti Rina saat ia
menceritakan seluk-beluk sekolahnya. Then, gimana caranya aku bisa cepat-cepat
pergi dengan kaki terkilir kek gini coba? Aurin menghembuskan napas berat.
“Ada apa ya?” tanyanya.
“Kamu Aurin kan? Murid pindahan yang sok
keganjenan gitu sama Ryan.”
Aurin melongo. What? Ryan? Mereka ini dapat info
darimana sih? Kok bisa aku ganjen sama Ryan? Yang ada juga aku tuh gedek sama
tu anak, pikirnya.
“Keknya kalian salah deh.. aku..” belum sempat
Aurin menyelesaikan kalimatnya. Salah seorang teman Bella mendorongnya. Meski dapat
mempertahankan keseimbangannya, Aurin merasakan sakit yang bertambah-tambah di
kaki kanannya.
“Halahh..nggak usah banyak alesan deh.” Tukasnya. Wajah
putih mulusnya terlihat garang.
“Jangan main dorong dong.. kita
bisa ngomong baik-baik kan?” tanya Aurin sambil menahan emosi.
“Eh, malah ngelunjak ni anak. Keknya
perlu diajarin tuh mulut.” Bella maju dan bersiap mengangkat tangannya. Aurin
bukan gadis lemah, kalau saja kakinya dalam keadaan sehat wal afiat sudah pasti
mudah untuknya mengelak. Karenanya satu-satunya hal yang dapat di lakukannya adalah
bersiap menerima tamparan dari Bella.
Tapi ternyata tangan Bella
tertahan oleh tangan lain.
“Apa yang kalian lakukan di
sini?” tanya pemilik tangan itu. Dingin.
Aurin menoleh. Pemilik suara dan
tangan itu adalah Ryan! Si ketua kelas rese-nya. Penilaian negatifnya secepat
angin mulai berterbangan.
“Ryan.. kami cuma mau ngobrol
kok sama Aurin.” Jawab Bella dengan manis. Terlalu manis malahan.
Aurin melipat dahinya. Ajaib
sekali pasal kehadiran ketua kelasnya itu. Kakak-kakak kelas yang tadinya
nampak begitu garang dan sangar langsung berubah begitu imut. Hampir-hampir
menyerupai Ruru. Kucing Anggora berbulu putih miliknya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ryan
kali ini padanya. Tidak dengan ketus. Nada memerintah. Suara menghardik. Atau membentak
seperti biasanya. Aurin menatap sepasang mata hitam dibalik lensa Essilor Ryan.
Ia terpana. Ada yang berbeda dengan mata itu. Nampak.. mengingatkannya pada
semburat sinar matahari pagi yang menenangkan.
google image |
Wake up Aurin! It’s not like
your self to be so poetic about eyes! Aurin mengerjapkan matanya.
“Ya.. aku nggak apa-apa kok.”
jawabnya cepat.
Ryan kembali mengarahkan
pandangannya pada para kakak kelas yang kini wajahnya kembali masam.
“Sorry, kita mau pulang. Kalau
nggak ada urusan lagi, bisa minggir nggak?” kali ini suara Ryan kembali ketus.
Keajaiban kedua, tiba-tiba saja
mereka dengan suka rela memberi jalan. Walau dengan setengah hati sih. Dengan wajah
meringis menahan sakit ia pun melangkah pelan. Ryan mengikutinya dengan tenang.
Masih terdengar gerutuan. Untung saja mereka tak punya kekuatan mata laser seperti
Scott Summers di film X-Men, kalau tidak bisa jadi punggungnya sudah bolong dari
tadi. Terkena paparan tatapan bengis mereka yang diyakininya masih mengikuti
langkahnya itu.
Setelah agak jauh, Aurin berhenti. Mencoba mengurangi rasa sakit. Ryan
mensejajari posisinya dan menekukkan lengan kanan. Tangan kirinya membenarkan
letak kaca mata minusnya. Walau nampak seperti kutu buku, sebenarnya Ryan bisa
dimasukkan dalam kategori cowok kece. Dengan kulit bersih, tubuh jangkung, dan otak
cerdasnya, pantas saja kakak-kakak kelas juga dibuatnya terpesona. Tanpa sikap
menyebalkannya, sudah pasti Aurin juga akan dengan senang hati memasukkannya
dalam kategori 10 cowok kece yang dikenalnya selama hidup di panet ini. Lalu mencoret nama Ryan dari list nomor satu dari
10 cowok yang mesti dibumi hanguskan dari peradaban dunia.
Ragu-ragu Aurin menggamit lengan Ryan. Kali ini ia bisa berjalan sedikit
lebih leluasa.
“Mhmm.. makasih ya untuk yang tadi.” Lirih Aurin. Kikuk.
“Kau masih saja belum bisa mengingatku?”
“Hah? Emang kita pernah kenal sebelumnya ya?” tanya Aurin polos. Perasaan di
sekolahnya yang dulu dia memang tidak pernah bertemu dengan mahluk semacam Ryan
deh.
Ryan menghela napas. Wajahnya nampak tak karuan. Campuran dari sepertiga
sebal, sepertiga gemas dan sepertiganya lagi jengkel. Tangan kirinya yang
bebas, terangkat mendaratkan sebuah jitakan kecil di kepala Aurin.
“Aduh.” Aurin menjerit tertahan. Lalu memandang Ryan dengan tatapan protes.
“Aku Tama! Heran, bagaimana bisa kamu segitu lupanya denganku. Apa aku
segitu nggak berartinya ya?”
“Hah??” Tama? Tama? Tama? Otak Aurin bekerja dengan kecepatan penuh. Satu-satunya
temannya yang bernama Tama itu teman SD nya yang gendut, penakut, dan cengeng.
Tama yang selalu berdiri di belakangnya saat melewati rumah tetangga mereka yang
memiliki anjing galak yang suka menyalak sembarangan. Karena rumah mereka
berdekatan mereka memang biasa berangkat ke sekolah atau bermain bersama. But
wait, kok Tama bisa jadi Ryan sih? Otaknya masih berusaha mencerna. Meskipun ia
pindah sekolah dan sudah bertahun-tahun tidak pulang ke kota kelahirannya ini,
tapi membayangkan Tama teman SD-nya telah bertransformasi menjadi cowok sekeren
Ryan itu menjadi keajaiban ketiganya hari ini.
“Kok bisa sih?” kali ini kalimatnya tercetus.
“Pletak” kali ini jitakan kedua kembali melayang.
“Aduh.” Aurin mengelus kepalanya. Mentang-mentang lebih tinggi seenak udel
aja dia main jitak, awas saja nanti, Aurin menatapnya dengan sengit.
“Namaku Ryan Aditama! Kenapa? Kamu heran karena aku jadi keren begini?
Cepetan jalannya. Ku antar pulang.”
Aurin bingung apakah harus senang karena bertemu sahabat masa kecilnya atau
harus kembali sebal dengan sikap rese Tama. Tapi tak urung tetap melangkah
bersama ketua kelasnya itu. Harusnya setelah ia minta maaf, Tama akan bersikap
baik lagi padanya kan?
Catatan :
- sebenarnya saya membaca berbagai macam novel dengan berbagai genre sih. tapi tulisan di atas referensinya dari Orizuka (lupa judulnya, hehe) dan A Very Yuppy Wedding-nya Ika Natasha
- nggak tau deh gaya nulisnya mirip apa nggak.. :D
#TugasKelasFiksi6
Keren.....
BalasHapusDikritik apa dikasih masukan gitu loh mbak.
HapusDikasih es krim juga boleh deh...😂😂😂
Cocok dg duniamu hai anak muda
BalasHapusMakasih sudah berkenan mampir di sini pak.. ^_^
HapusTeenlite,udah ok kakak
BalasHapusMakasih sudah berkenan mampir di sini mbak.. ^_^
HapusAsiik asikk
BalasHapusMakasih sudah berkenan mampir di sini mas.. ^_^
HapusKenapa kayak nama anaknya pak Esen lah? 😂
BalasHapusEmang.. Hahahaha jangan kasih tau pak esen.. Kalo beliau minta royalti kan berabe..😂😂😂
Hapus