google image |
“Evelyn ...”
Gadis pemilik nama itu memilih untuk membisu.
Mengabaikan kegusaran yang teraut sempurna di wajah laki-laki berkemeja putih
yang memanggilnya itu.
“Evelyn, maafkan aku ...”
“Nggak,” potong Evelyn cepat.
Rama tersenyum. Setidaknya hari ini ia langsung menjawab
perkataanku, pikirnya senang.
“Sudah tiga hari kamu marah dan mendiamkanku
seperti ini. Kamu nggak kasihan sama aku?”
“Nggak,” sahut Evelyn lagi. Setelah berhasil
menjadikanku bahan tontonan orang-orang di Mall itu, kamu mau minta maaf gitu
aja hahh? batinnya sinis.
Diletakkannya kotak tempat makan ikan yang
dipegangnya, kemudian berlalu mengacuhkan keberadaan Rama.
“Jangan mengikutiku Rama. Aku masih marah
denganmu!” hardik Evelyn saat mendengar langkah kaki yang mengikutinya.
Rama tersenyum, lalu mendekati Evelyn.
“Aku tidak mengikutimu nona. Aku hanya ingin pergi
minum kopi yang dibikinkan Mbok Nah kok,” jawab Rama kalem, melewati
Evelyn. Aroma vanila yang lembut disusul keharuman woody yang maskulin
menyapa hidung Evelyn.
Selera parfumnya bagus, pikir Evelyn yang segera
dienyahkannya. Evelyn menekuk wajah. Aargh, sebenarnya ini rumah siapa
sih? Bisa-bisanya tiap hari dia sarapan di sini? sungutnya lagi dalam hati. Selama
setahun terakhir, Ritual Evelyn setiap pagi adalah memberi makan ikan koi peliharaannya
yang berenang dengan semangat di sebuah kolam kecil di samping rumahnya. Setelah
itu, ia akan duduk dengan tenang. Mendengarkan suara kecipak air jatuh dari beberapa
undakan di salah satu sudut kolam yang didesain sendiri oleh Ayahnya. Lalu membiarkan
pikirannya melayang, meniti setiap kenangan bersama Ayahnya. Laki-laki
pertama yang selalu memperlakukannya bak seorang putri dan melimpahinya dengan
kasih sayang tak bersyarat.
Dulu, Evelyn adalah siswa yang populer. Ia mudah
bergaul dan aktif menjadi anggota OSIS juga mengikuti beberapa kegiatan ekskul.
Karenanya tak jarang ia pulang sekolah saat matahari pun hendak kembali ke
peraduannya. Dan ayahnya mendukung saja kegiatan putri semata wayangnya itu,
asalkan ia pulang bersama Rama. Anak tetangga depan rumah yang menjadi sahabat
dekatnya sejak SMP sekaligus dipercaya ayahnya untuk menjaganya.
Lamunan gadis setinggi 160 cm itu baru akan
berakhir saat ia tiba pada kenangan menyanyitkan akan kejadian malam itu.
Fragmen-fragmen yang menggambarkan kejadian itu kerap kali datang menghantui
tidurnya. Tidak sesering dulu memang, tapi masih membuatnya terbangun kesakitan
dengan perasaan bersalah yang menggunung. Bercampur aduk dengan kemarahan,
ketakutan, juga kesedihan. Karena meskipun ia terbangun, dunianya masih saja
menampilkan kegelapan absolut.
Tak ada yang tau, kadang ia menahan isak tangisnya
dengan menekankan wajahnya ke bantal kuat-kuat.
Takut membangunkan Bunda yang pasti akan langsung tergopoh-gopoh
mendatanginya dengan khawatir. Seperti saat malam-malam awal ia kehilangan
penglihatannya.
Namun beberapa hari terakhir ritualnya itu terganggu
oleh kedatangan Rama. Sebelum pergi ke kantornya, Rama selalu menyempatkan
dirinya untuk mampir ke rumah ini. Evelyn mendengar gelak tawa Rama dan Bunda
di ruang makan. Ah, dia masih Rama yang dulu. Rama yang dapat dengan mudah
memikat orang-orang disekitarnya dengan keramahan tulus yang menyenangkan di
wajahnya. Hanya aku yang berbeda, sekarang Evelyn hanyalah gadis cacat tak
berguna, pikirnya perih.
***
“Apa Evelyn masih sering bermimpi buruk Tante?”
tanya Rama lalu meminum jus jeruk favoritnya. Mengikuti saran Tante Alika,
Bundanya Evelyn, Rama masih selalu mampir ke rumah Evelyn setiap pagi sebelum
berangkat ke kantor. Selain karena tak ada siapa-siapa di rumahnya untuk
membuatkannya sarapan, ini juga salah satu upayanya untuk memperbaiki
hubungannya dengan Evelyn. Walaupun yah, Rama tau betul bagaimana keras
kepalanya gadis itu.
Saat mereka sekolah dulu, Rama juga pernah tak
sengaja pulang duluan dan meninggalkan Evelyn sendirian di sekolah. Itu murni
karena dia berpikir Evelyn sudah pulang duluan dijemput Om Rio, ayah Evelyn. Keesokan
harinya tentu saja Evelyn marah. Tapi marahnya Evelyn sunyi. Ia hanya mendiamkannya.
Menganggapnya tak ada. Selama berhari-hari. Menolak berbicara dengannya. Menolak
pulang bersama. Rama yang sudah geregetan dengan sikapnya itu akhirnya
mengkonfrontasi Evelyn secara langsung. Memaksa Evelyn untuk duduk. Lalu
menyuruhnya mendengarkan penjelasannya. Dan Rama berniat melakukannya lagi kali
ini, kalau Evelyn masih saja mendiamkannya.
Tante Alika menghembuskan napas berat.
“Meski tak lagi berteriak dalam mimpinya, Evelyn
masih sering terbangun di tengah malam. Dia memang tak pernah menceritakannya,
tapi terkadang Tante melihatnya yang sedang menahan tangisnya.”
Rama diam mendengarkan.
“Tante tau,
dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun termasuk Tante. Tapi entah
mengapa, Tante justru merasa gagal menjadi ibu yang baik untuk Evelyn. Bagaimna
bisa puteri tante satu-satunya memilih untuk menyembunyikan kesedihan dan
kesakitannya dari ibunya sendiri? Apakah dia tidak cukup percaya pada Tante? Apakah
Tante terlihat begitu lemah sehingga anak itu memilih untuk menangis diam-diam?”
kata perempuan dengan rambut sebahu itu, sendu.
“Tante Alika, itu nggak benar. Tante nggak boleh
berpikiran seperti itu, Tante Alika adalah seorang ibu yang hebat untuk Evelyn.
Rama yakin, Evelyn hanya tidak ingin membuat Tante sedih, makanya dia memilih
untuk menangis sendiri.”
Tante Alika terdiam. Rama lalu meraih tangan
perempuan berwajah sedih itu dengan kedua tangannya lalu menepuk-nepuknya
pelan.
“Tante, Rama ingin tahu jawaban Tante tentang apa
yang sudah Rama ungkapkan kemarin,” ujar Rama pelan, tenang, tanpa ragu.
Tante Alika terperangah.
“Jadi kamu serius Ram?” Tante Alika menatap
langsung kedua manik mata Rama yang
bersinar cemerlang.
***
*to be continued ini ceritanya... :D
#OneDayOnePost
#KelasFiksi
#TantanganMbakWid
Ayo mba ditunggu lanjutannya
BalasHapusnantikan kelanjutannya ya mbak.. hehehe
HapusWuah... tidak ingin berspekulasi, jadi nunggu lanjutannya aja ah ^_^
BalasHapusPadahal aku pengen tau spekulasimu Yuk Nia..😊
Hapus