Sabtu, 21 April 2018

Lakuna #2


google image

“Evelyn ...”

Gadis pemilik nama itu memilih untuk membisu. Mengabaikan kegusaran yang teraut sempurna di wajah laki-laki berkemeja putih yang memanggilnya itu. 

“Evelyn, maafkan aku ...”

“Nggak,” potong Evelyn cepat.

Rama tersenyum. Setidaknya hari ini ia langsung menjawab perkataanku, pikirnya senang.

“Sudah tiga hari kamu marah dan mendiamkanku seperti ini. Kamu nggak kasihan sama aku?”

“Nggak,” sahut Evelyn lagi. Setelah berhasil menjadikanku bahan tontonan orang-orang di Mall itu, kamu mau minta maaf gitu aja hahh? batinnya sinis.

Diletakkannya kotak tempat makan ikan yang dipegangnya, kemudian berlalu mengacuhkan keberadaan Rama. 

“Jangan mengikutiku Rama. Aku masih marah denganmu!” hardik Evelyn saat mendengar langkah kaki yang mengikutinya.

Rama tersenyum, lalu mendekati Evelyn. 

“Aku tidak mengikutimu nona. Aku hanya ingin pergi minum kopi yang dibikinkan Mbok Nah kok,” jawab Rama kalem, melewati Evelyn. Aroma vanila yang lembut disusul keharuman woody yang maskulin menyapa hidung Evelyn. 

Selera parfumnya bagus, pikir Evelyn yang segera dienyahkannya. Evelyn menekuk wajah. Aargh, sebenarnya ini rumah siapa sih? Bisa-bisanya tiap hari dia sarapan di sini? sungutnya lagi dalam hati. Selama setahun terakhir, Ritual Evelyn setiap pagi adalah memberi makan ikan koi peliharaannya yang berenang dengan semangat di sebuah kolam kecil di samping rumahnya. Setelah itu, ia akan duduk dengan tenang. Mendengarkan suara kecipak air jatuh dari beberapa undakan di salah satu sudut kolam yang didesain sendiri oleh Ayahnya. Lalu membiarkan pikirannya melayang, meniti setiap kenangan bersama Ayahnya. Laki-laki pertama yang selalu memperlakukannya bak seorang putri dan melimpahinya dengan kasih sayang tak bersyarat. 

Dulu, Evelyn adalah siswa yang populer. Ia mudah bergaul dan aktif menjadi anggota OSIS juga mengikuti beberapa kegiatan ekskul. Karenanya tak jarang ia pulang sekolah saat matahari pun hendak kembali ke peraduannya. Dan ayahnya mendukung saja kegiatan putri semata wayangnya itu, asalkan ia pulang bersama Rama. Anak tetangga depan rumah yang menjadi sahabat dekatnya sejak SMP sekaligus dipercaya ayahnya untuk menjaganya.

Lamunan gadis setinggi 160 cm itu baru akan berakhir saat ia tiba pada kenangan menyanyitkan akan kejadian malam itu. Fragmen-fragmen yang menggambarkan kejadian itu kerap kali datang menghantui tidurnya. Tidak sesering dulu memang, tapi masih membuatnya terbangun kesakitan dengan perasaan bersalah yang menggunung. Bercampur aduk dengan kemarahan, ketakutan, juga kesedihan. Karena meskipun ia terbangun, dunianya masih saja menampilkan kegelapan absolut. 

Tak ada yang tau, kadang ia menahan isak tangisnya dengan menekankan wajahnya ke bantal kuat-kuat.  Takut membangunkan Bunda yang pasti akan langsung tergopoh-gopoh mendatanginya dengan khawatir. Seperti saat malam-malam awal ia kehilangan penglihatannya.

Namun beberapa hari terakhir ritualnya itu terganggu oleh kedatangan Rama. Sebelum pergi ke kantornya, Rama selalu menyempatkan dirinya untuk mampir ke rumah ini. Evelyn mendengar gelak tawa Rama dan Bunda di ruang makan. Ah, dia masih Rama yang dulu. Rama yang dapat dengan mudah memikat orang-orang disekitarnya dengan keramahan tulus yang menyenangkan di wajahnya. Hanya aku yang berbeda, sekarang Evelyn hanyalah gadis cacat tak berguna, pikirnya perih.

***

“Apa Evelyn masih sering bermimpi buruk Tante?” tanya Rama lalu meminum jus jeruk favoritnya. Mengikuti saran Tante Alika, Bundanya Evelyn, Rama masih selalu mampir ke rumah Evelyn setiap pagi sebelum berangkat ke kantor. Selain karena tak ada siapa-siapa di rumahnya untuk membuatkannya sarapan, ini juga salah satu upayanya untuk memperbaiki hubungannya dengan Evelyn. Walaupun yah, Rama tau betul bagaimana keras kepalanya gadis itu. 

Saat mereka sekolah dulu, Rama juga pernah tak sengaja pulang duluan dan meninggalkan Evelyn sendirian di sekolah. Itu murni karena dia berpikir Evelyn sudah pulang duluan dijemput Om Rio, ayah Evelyn. Keesokan harinya tentu saja Evelyn marah. Tapi marahnya Evelyn sunyi. Ia hanya mendiamkannya. Menganggapnya tak ada. Selama berhari-hari. Menolak berbicara dengannya. Menolak pulang bersama. Rama yang sudah geregetan dengan sikapnya itu akhirnya mengkonfrontasi Evelyn secara langsung. Memaksa Evelyn untuk duduk. Lalu menyuruhnya mendengarkan penjelasannya. Dan Rama berniat melakukannya lagi kali ini, kalau Evelyn masih saja mendiamkannya.

Tante Alika menghembuskan napas berat.

“Meski tak lagi berteriak dalam mimpinya, Evelyn masih sering terbangun di tengah malam. Dia memang tak pernah menceritakannya, tapi terkadang Tante melihatnya yang sedang menahan tangisnya.”

Rama diam mendengarkan.

 “Tante tau, dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun termasuk Tante. Tapi entah mengapa, Tante justru merasa gagal menjadi ibu yang baik untuk Evelyn. Bagaimna bisa puteri tante satu-satunya memilih untuk menyembunyikan kesedihan dan kesakitannya dari ibunya sendiri? Apakah dia tidak cukup percaya pada Tante? Apakah Tante terlihat begitu lemah sehingga anak itu memilih untuk menangis diam-diam?” kata perempuan dengan rambut sebahu itu, sendu.

“Tante Alika, itu nggak benar. Tante nggak boleh berpikiran seperti itu, Tante Alika adalah seorang ibu yang hebat untuk Evelyn. Rama yakin, Evelyn hanya tidak ingin membuat Tante sedih, makanya dia memilih untuk menangis sendiri.”

Tante Alika terdiam. Rama lalu meraih tangan perempuan berwajah sedih itu dengan kedua tangannya lalu menepuk-nepuknya pelan. 

“Tante, Rama ingin tahu jawaban Tante tentang apa yang sudah Rama ungkapkan kemarin,” ujar Rama pelan, tenang, tanpa ragu.

Tante Alika terperangah.

“Jadi kamu serius Ram?” Tante Alika menatap langsung kedua manik  mata Rama yang bersinar  cemerlang.

***

*to be continued ini ceritanya... :D
 
#OneDayOnePost
#KelasFiksi
#TantanganMbakWid

4 komentar:

10 Aktivitas Yang Bisa Kalian Coba #dirumahaja Selain Rebahan.

Hi Gaes. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tetap   selalu sehat dan berbahagia bersama orang-oarang tersayang di rumah. Well, hari...