Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Kamu cemburu ya Evelyn?” tebaknya.
Seketika pipi Evelyn pun bersemu merah. Rama
tersenyum.
“Ti.. tidak. Aku tak mengenal perempuan itu
mengapa aku harus cemburu?”
“Kamu uring-uringan setelah Arisa kemari. Padahal
dia kan hanya sekretarisku. Dia kemari untuk mengambil dokumen yang terbawa
olehku. Ayolah Eve, baru kemarin aku bisa membuatmu memaafkanmu. Masa kamu tega
mendiamkanku lagi?” Rama mendramatiskan suara memelasnya.
Evelyn melengoskan wajah.
“Tenang saja, aku tidak mungkin menyukai perempuan
gendut, galak, jerawatan seperti Arisa,” kata Rama mantap.
“Jangan membodohiku Rama Dirgantara! Aku tau pasti
Arisa bukan perempuan gendut, galak, jerawatan seperti katamu,” bantahnya
sebal. Walaupun ia buta, ia bisa merasakan bagaimana anggun dan menariknya
suara ramah Arisa, meski bisa saja itu hanya sekedar protokol sopan santunnya
sebagai bawahan Rama.
Rama masih tersenyum melihat perubahan ekspresi Evelyn.
“Kita nikah aja yuk Eve ... biar aku bisa langsung
meluk kamu kalo lagi imut gini ...” kata Rama pelan, tenang, jelas.
Uhukk ... Evelyn tersedak jus wortel yang
diminumnya. Rama membantunya meraih tisu. Untuk beberapa saat Evelyn melongo.
Ini anak ngajakin nikah udah kek ngajakin beli cilok di depan rumah aja,
pikirnya konyol.
“Kenapa kamu belum berangkat kerja? Ini sudah jam
berapa coba?” tanya Evelyn.
“Aku tak kerja hari ini.” jawab Rama singkat.
“Kenapa?”
“Aku tak mau kau bersedih karena berpikir yang
tidak-tidak tentang aku dan Arisa, lagipula Tante Alika eh, Bunda memintaku
untuk menemanimu.”
Evelyn cemberut.
“Aishh ... aku bukan anak kecil yang perlu
ditemani. Kerja sana.”
“Aku kan presdirnya aku bisa kerja kapanpun aku
mau.” Jawab Rama santai.
“Bekerja Rama! Jangan sok! Perusahaanmu kan baru
dirintis ... berikan contoh yang baik untuk karyawanmu.”
“Kenapa kau tak menjawab lamaranku?”
“Kau sebut itu sebagai lamaran?”
“Apa kau sedang menyangsikan keseriusanku?” tanya
Rama tajam.
Evelyn menghembuskan napas perlahan.
“Jawabanku, tidak!” Ia pun berdiri hendak berlalu.
Rama menahan lengannya.
“Apa karena kau adalah gadis buta sehingga kau
merasa tidak pantas untukku?”
“Jangan mengkonfrontasiku Rama!” desis Evelyn. Ia
berusaha melepaskan lengannya. Rama mengeratkan cengkramannya.
“Itu satu-satunya cara yang ku tahu untuk
menghadapi keras kepalamu!”
Evelyn bisa merasakan gelembung kemarahan
membengkak dalam dadanya.
“Lepaskan tanganku!” ia menghentakkan tangannya.
Tapi Rama menolak melepasnya.
“Kau selalu seperti ini. Memilih pergi dan
bersembunyi. Kemana Evelyn yang dulu yang selalu berani dan memiliki keyakinan
yang kuat? Jangan bilang kecelakaan itu telah mengubahmu menjadi pengecut yang
payah!” sinis Rama.
“Tau apa kau tentangku? Orang-orang yang
berpikiran picik sepertimu selalu mengecam sesuatu yang tidak mereka pahami!”
sengit Evelyn. Ia memejamkan mata. Menahan air mata yang hendak tumpah. Ia
takut, jika mulai menangis, ia takkan bisa berhenti hingga tubuhnya mengerut. Bayangan
dari kecelakaan malam itu kembali memenuhi benaknya.
“Eve ... Om Rio tidak meninggal karenamu. Kecelakaan
itu bukan salah siapa-siapa. Aku tidak tahan melihatmu yang terus-terusan
menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Rama terdengar lebih lembut.
Bagaimana mungkin itu bukan salahku? Batin Evelyn.
Ia mengingat dengan baik betapa tenangnya ayahnya meski kepalanya terus
mengucurkan darah segar. Dengan tegas, tanpa ragu, tanpa memikirkan pilihan
lainnya, ayahnya meminta agar Evelyn yang lebih dahulu di tolong. Hal terakhir
yang dilihatnya malam itu adalah senyum samar ayahnya yang seolah mengatakan,
“ayah tak apa, kau akan baik-baik saja puteriku.”
Ada malam-malam diamana Evelyn selalu memikirkan kata
‘seandainya’, ‘bagaimana jika’, atau ‘seharusnya’ tiap kali ia terbangun dari
mimpi-mimpi buruknya. Lalu ia pun menyadari bahwa hidupnya terhenti pada satu
titik. Jauh, dari apapun. Dari siapapun.
“Eve ... aku, bunda, kami sangat menyanyangimu.
Sedikit pun, baik aku maupun Bunda, tidak pernah merasa harus mengasihanimu
karena kebutaanmu. Beri kami kesempatan untuk membuktikan hal itu kepadamu. Kau
bisa berbagi kesedihanmu, kemarahanmu, dengan kami.”
Bahu Evelyn berguncang, lalu terdengar isakan.
“Evelyn, kau pasti tahu kan sejak dulu aku telah
menyukaimu? Kau mungkin tak tahu bagaimana hancurnya hatiku saat akhirnya aku
mengetahui keadaanmu. Tapi aku tetap bahagia, oh, akhirnya aku menemukanmu,
lakunaku. Ayo, menikahlah denganku Evelyn ... “ ujar Rama dengan nada mendesak,
pelan, dan dekat.
Mari kita akan saling mengingatkan bahwa kehidupan
selalu bisa kita nikmati dengan cara yang lebih baik, Eve ... lanjut Rama dalam
hati.
***
#KelasFiksi#OneDayOnePost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar